Share

Part (3)

JIMAT TALI MAYAT

Written by David Khanz

Bagian (3)

--------------------- o0o ---------------------

Dua hari setelah ketibaan Basri lalu, suasana di rumah keluarga itu mulai dirasa berubah. Bau busuk menyengat sering tiba-tiba menyeruak memualkan di sekitar ruangan. Gangguan-gangguan kecil kerap diterima Lastri saat hendak menunaikan kewajiban beribadahnya. Entah berupa aliran air mendadak kering ketika bermaksud berwudu atau juga kain mukena sulit ditemukan waktu akan digunakan.

"Eh, kenapa tanya aku, Bu?" jawab Basri tatkala ditanyai istrinya. "Aku, 'kan, gak pernah pake mukena. Mungkin kamunya saja yang lupa naroh, Bu."

Lastri menggaruk-garuk kepalanya, pusing. Berusaha mengingat keras terakhir kali menaruh mukenanya sehabis salat Asar tadi. "Aku biasanya ngegantungin mukena di belakang pintu kamar, Pak," ujar perempuan itu meyakinkan. "Tapi kenapa sekarang pas mau make buat salat Magrib gak ada di sana? Aneh banget." Pikirnya lagi, di rumah itu hanya ada dia dan suaminya. Tidak pernah ada satu pun orang lain atau tetangga sekalipun yang bertamu. Namun dicari-cari hingga kesemua penjuru ruangan, perangkat salat khusus perempuan tersebut belum kunjung ditemukan.

Akhirnya Lastri memutuskan untuk ….

"Kalo begitu, aku ikut salat Magrib di musala saja, deh, Pak."

"Hah?" Basri terkejut.

Imbuh perempuan itu kembali, "Iya, sekalian minjem mukena di sana, Pak. 'Gimana? Daripada nyari-nyari tapi gak ketemu, entar malah kehabisan waktu Magrib."

Laki-laki tersebut malah tercengang bengang. Dia bingung. Jika mengizinkan istrinya ke musala, itu berarti Basri pun harus ikut melakukan ibadah salat Magrib. Lantas bagaimana dengan pesan Ki Jarok sebelumnya yang meminta dia untuk menjauhi ritual keagamaan. Belum lagi kebiasaan berbohong selama dua hari ini pada Lastri. Pamit ke musala, malah melipir ke warung kopi.

"A-apa gak ada cara lain, Bu? Misalnya … ngikut salat di rumah tetangga." Basri mencoba memberi saran. Setidaknya berusaha mencegah agar Lastri tidak sampai mengetahui belangnya. Perempuan itu menggeleng, lantas menjawab, "Gak enak, Pak. Mendingan ikut salat di musala saja, deh. Lagian gak jauh ini, kok."

Basri angkat tangan. Terpaksa dia mengizinkan istrinya ikut ke musala. Tentu saja sambil berpikir bagaimana tindakan dia selanjutnya di sana. Sementara anak-anak mereka sudah terlebih dahulu berangkat sekalian persiapan mengikuti pelajaran mengaji.

"Ngopi dulu, Bang," ucap seorang laki-laki di sebuah warung waktu Basri dan Lastri tengah berjalan berdua menuju musala. Laki-laki bertubuh kerempeng itu memberi isyarat dengan beberapa kali kedipan mata pada sosok tadi, memintanya untuk diam.

"Makasih, Bang," balas Basri berpura-pura. "Kami mau salat Magrib dulu. He-he." Dia segera menarik tangan istrinya agar lekas mempercepat langkah. Tidak lain demi menghindari obrolan susulan sosok di warung tadi.

"Lah, tumben-tumbenan dia salat," ujar laki-laki tadi seraya mencibir. "Biasanya juga tiap kali Magrib ama Isya, dia numpang ngopi di mari."

Pemilik warung menimpali, "Emang baiknya begitu, Bang. Salat, 'kan, kewajiban. Abang sendiri kenapa masih di sini? Udah azan Magrib, tuh."

"Ah, elu, Mpok. Nyamber aja kalo orang ngomong, ya?" semprot laki-laki tersebut keki.

"Yee, si Abang ini. Saya, 'kan, cuma ngingetin doangan, Bang. Gak usah ngegas 'gitu juga 'ngkali."

"Terus, Mpok sendiri kenapa belom siap-siap salat?"

"Lah, saya, 'kan, lagi libur, Bang," jawab pemilik warung berkilah. "Biasalah, tamu bulanan kaum perempuan, Bang. Hi-hi."

"Etdah, dasar lu, Mpok!"

Sementara itu Basri dan Lastri sudah tiba di tempat tujuan. Beralasan hendak berwudu, laki-laki kerempeng itu menyuruh istrinya untuk masuk terlebih dahulu.

"Aku juga belum wudu, Pak," ucap Lastri. "Di rumah, airnya sering macet. Tadi aja gak ngalir lagi, Pak. Aneh, deh."

"Kita sering telat bayar tagihan 'ngkali, Bu, atau PDAM lagi ada perbaikan saluran,," balas Basri memberi alasan. Timpal Lastri, "Ah, enggak, Pak. Aku tanya sama tetangga, aliran air mereka lancar-lancar saja, tuh. Cuma di rumah kita saja yang akhir-akhir ini sering bermasalah."

Basri tidak menjawab. Dia bergegas menuju tempat wudu khusus laki-laki. Begitu juga dengan Lastri. Mulanya tidak terjadi apa-apa. Namun begitu laki-laki itu mulai memasuki ruang musala dan ikut bergabung dengan jemaah lain, tiba-tiba saja dia merasa kegerahan. Sekujur badannya mendadak panas, diikuti dera pusing mengujam seisi kepala.

'Ada apa ini?' tanya Basri mulai limbung. Penglihatannya bergoyang-goyang memualkan. 'Ya, Allah! Apa yang terjadi padaku?' Dia memegangi kepala. Rasa gerah itu kian menyiksa hingga sekujur tubuhnya berpeluh basah. Kemudian perlahan-lahan dia mundur sempoyongan dari barisan salat. 'S-suara itu … suara itu sungguh menyakitkan!' jeritnya seraya menutup lubang telinga. 

Basri berlari ke luar musala disertai napas terengah-engah. Sekujur badannya benar-benar seperti dibakar bara panas. Untuk beberapa saat, berdiri pun tidak mampu. Terpaksa duduk bersimpuh di halaman bangunan suci tersebut sambil tetap menutup pendengaran. 'Sial! Baru kali ini aku merasa tersiksa dengan kalimat-kalimat yang dibacakan imam salat itu! Panas sekali … panas … panas! Ah, aku harus segera menjauh dari sini!'

Susah payah Basri berusaha berdiri dan menyeret langkahnya menjauhi tempat tersebut. Berbarengan dengan itu, perlahan-lahan rasa panas itu pun mulai mereda. Dia mampu kembali berdiri kokoh dan mengayun enteng kakinya.

'Benar apa yang dikatakan dukun tua itu,' gumam Basri beberapa waktu kemudian, 'aku memang harus menghindari diri dari ritual ibadah keagamaanku. Kalau tidak, hal yang lebih mengerikan mungkin bisa saja terjadi daripada tadi. Huh, sialan!'

Laki-laki itu terpaksa menunggu di luar hingga istrinya muncul mendekat. "Bapak ke mana tadi? Aku cari-cari di musala, kok, gak ketemu?"

Basri mengekeh sendiri sekadar untuk menutupi gugupnya dan menjawab, "A-aku tadi kebelet pengen kencing, Bu. Makanya begitu beres solat, langsung ke luar. He-he."

Lastri mengerutkan kening.

"Toilet musala, 'kan, ada di sana," kata perempuan itu seraya menunjuk tempat wudu tadi. "Terus kenapa Bapak malah ada di sini? Aneh-aneh saja kamu ini, ah, Pak. Mana bajumu lembab begini." Dia mengusap-usap pakaian suaminya yang masih basah bekas keringat tadi. 

"Keran toiletnya bocor, Bu. Tadi sampe nyemprot ke bajuku. Duh!" Lagi-lagi Basri terpaksa harus berbohong. Kejadian tadi tidak boleh sampai diketahui istrinya. Lantas, drama-drama dusta lain pasti akan semakin banyak dia buat demi menutupi rahasia kelam laki-laki tersebut di lain kesempatan. Hal apalagi kalau bukan tentang persekutuannya dengan Ki Jarok.

Keanehan lain yang kerap muncul di rumah adalah terkait aroma busuk menyengat itu. Anehnya lagi, hanya Basri seorang yang membaui. Tidak begitu dengan Lastri dan anak-anak mereka. Seperti pada waktu pertama kali laki-laki kerempeng tersebut di datangi sosok makhluk menyeramkan berwujud pocong saat hendak makan malam lalu.

'Sukaesih ….' gumam Basri terkejut dan mundur menjauh.

"Pak, kenapa, Pak?" tanya Lastri terheran-heran melihat raut wajah suaminya mendadak seperti ketakutan. "Ada apa?" Perempuan itu menoleh ke arah Basri terbelalak memandang. Tentu saja di mata istrinya, sosok mengerikan tadi sama sekali tidak terlihat.

Basri memejamkan mata sesaat. Cepat-cepat dia bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. "G-gak ada apa-apa, Bu," jawabnya berusaha bersikap tenang. "A-aku hanya … hanya mendadak teringat anak-anak. Iya, inget sama anak-anak."

"Kok, muka Bapak kayak kaget begitu?" Lastri tidak lantas memercayai ucapan suaminya. Berkali-kali dia menoleh ke arah tadi. Tetap saja tidak terlihat apa pun di sana.

Basri pura-pura menunduk. Menghindari tatapan makhluk mengerikan itu memelototi dirinya. "Ya, tiba-tiba inget saja, Bu," katanya berkilah. "Di saat kita makan enak seperti ini, anak-anak gak ikut menikmati. Jadi … aku kayak ngelihat anak-anak muncul di sana tadi, Bu."

"Oohh, begitu," ucap Lastri seraya mengangguk-angguk paham. "Kirain apaan. Kamu ini bikin kaget saja, ah, Pak. He-he."

Basri bersyukur, istrinya tidak lagi banyak bertanya. Hanya saja, sosok mengerikan itu masih saja berdiri memandanginya disertai bau busuk yang tidak kunjung hilang. Aroma serupa sebagaimana laki-laki itu membongkar kuburan Sukaesih beberapa waktu sebelumnya.

"Mau ke mana, Pak?" tanya Lastri begitu Basri beranjak dari tempat duduknya sambil memegangi perut. Jawab laki-laki tersebut, "Mual, Bu. Mungkin masuk angin."

Padahal rasa mual itu diakibatkan bau busuk dari makhluk menyeramkan tadi.

"Ya, sudah. Aku kerokin, ya, Pak?"

"Beresin saja dulu makanmu, Bu," jawab Basri sebelum bergegas ke belakang untuk menghindari wujud makhluk tersebut. "Aku ke kamar kecil dulu, deh," imbuhnya kembali beralasan.

"Iya, Pak."

Basri masuk ke dalam kamar mandi, mengunci diri, dan diam berjongkok sambil memandangi sudut-sudut ruangan.

'S-semoga makhluk sialan itu tidak mengikutiku ke mari,' membatin Basri di antara rasa takutnya. 'Bedebah, ternyata si Kesih tidak merelakan tali pocongnya aku ambil dan aku harus segera menemui Ki Jarok perihal ini.'

Tok! Tok! Tok!

"Astaga!" pekik Basri terkejut.

Dari balik pintu terdengar suara Lastri memanggil-manggil. "Pak, lama amat, sih, di dalam. Bapak gak kenapa-kenapa, 'kan?"

'Oh, syukurlah! Ternyata Lastri. Kupikir makhluk—'

"Pak, buka pintunya!"

Tok! Tok! Tok!

Jawab Basri masih dalam keterkejutannya, "I-iya, Bu. A-aku keluar sekarang." Lantas, perlahan-lahan lelaki itu membuka pintu. Ada rasa takut jika yang muncul bukanlah Lastri. Namun ….

"Bapak sakit?" tanya perempuan itu begitu pintu kamar mandi terkuak. Basri mengangguk pelan, walaupun sebenarnya bukan itu yang sedang dia rasa. "Yuk, aku kerokin, deh, di kamar," ajak Lastri seraya menarik lengan suaminya.

Sungguh, jikalau ingin berkata jujur, sebenarnya Basri merasa sangat lapar sekali. Namun untuk sementara dia tahan dulu. Membiarkan Lastri mengurus dirinya hingga perempuan itu jatuh terlelap dalam kelelahan. Lantas diam-diam Basri mengendap-endap menuju ruang makan. Mengambil sepiring nasi dan juga potongan daging ayam yang sudah dingin. Saat hendak menyuapkan ke mulut, tiba-tiba bau busuk itu kembali datang menyengat. 

'Ya, Tuhan! Apakah ini pertanda makhluk itu akan muncul kembali?' tanya Basri seraya melirik-lirik tempat dimana makhluk berwujud pocong tadi muncul. Kali ini tidak ada. Hanya baunya saja yang masih tersisa dan perlahan-lahan menghilang begitu potongan daging ayam tersebut dia letakan kembali di wadahnya semula. 'Aneh, perasaan waktu tadi pun begitu. Sekarang juga sama. Apakah ini berarti ….' 

Basri bergegas ke dapur hendak mengambil garam. Kali ini dia makan nasi hanya dengan bumbu tersebut. Tidak terjadi apa-apa. Bau busuk maupun penampakan makhluk menyeramkan itu tidak lagi ada. Bahkan hingga perutnya terisi kenyang.

'Hhmmm, sialan!' gerutu Basri kemudian. 'Jadi maksud dari semua tadi itu … aku tidak diperbolehkan makan-makan enak? Begitu? Haram jadah! Percuma saja aku mencari kekayaan, kalau tidak bisa turut kunikmati. Benar-benar bangsat banget! Huh!'

Basri berniat untuk bertanya-tanya tentang hal itu pada Ki Jarok suatu hari nanti. Ada banyak kejadian-kejadian lain yang luput dari penjelasan dukun tua tersebut. Sedikit ada penyesalan jika memang jalan hidupnya akan pahit seperti itu, tapi bayangan kemiskinan keluarganya kembali menguar. Tatapan pengharapan anak-istri akan kehidupan yang mapan, serta cibiran tetangga mengenai status sosial mereka yang terhinakan.

'Tidak!' gumam Basri bertekad bulat. 'Keluargaku harus berubah! Istri dan anak-anak berhak mendapatkan kebahagiaan! Biarlah walaupun harus aku sendiri yang menjadi tumbal atas mimpi-mimpi mereka itu!' 

Seringai pun terulas dari bibir laki-laki kerempeng ini. Dia mulai paham bagaimana aturan main sebenarnya dengan perjanjian persekutuan dirinya dengan Ki Jarok tersebut. Kekayaan yang dimiliki dari jalan hitam dan instan seperti itu, bersifat bukan untuk memanjakan pelaku akan kenikmatan kemilau dunia, akan tetapi semata-mata hanya untuk pamer belaka. Maknanya sosok seperti Basri ini tidak akan pernah diberikan kesempatan menikmati hidup, terkecuali diberi tugas menuai bibit-bibir riya saja.

Dengan kondisi perut terisi penuh, Basri pun bermaksud menyusul Lastri menuju alam peraduan. Namun begitu memasuki kamar, hasrat kelelakiannya tiba-tiba saja mencuat hebat. Nanar mata lelaki ini menatap kemolekan tubuh istrinya dari singkapan selimut yang terkuak bebas di bagian pangkal utama. Seketika itu pula dia mulai merayap, menyebadani panjang badan Lastri, kemudian bermain-main sesuai kehendak tunutan binalnya.

Lastri terbangun girang dan menyambut hangat undangan gelora dari suaminya. Lantas mulai menggaduhkan seisi kamar dengan liukan eksotis disertai suara-suara seirama dan dengkusan napas-napas beruap hawa panas.

Tanpa disadari, sepanjang perjalanan ritual khusus pemenuhan biologis tersebut, beberapa sosok tidak kasat mata turut melenguh dengan lidah berluyutan. 

--------------------- o0o ---------------------

Dua hari pada keesokannya tersiar kabar hingga menembus alam perkampungan tempat dimana Basri tinggal, tentang pembongkaran sebuah makam di Kampung Sirnagalih. Warga setempat ikut gempar dan sibuk menduga-duga. Tidak terkecuali di  lumbung gosip warung milik Bariah.

"Eh, sssttt … ada Mbak Lastri datang," bisik Bariah begitu melihat kedatangan istri Basri tersebut di warungnya, pada beberapa pelanggan yang tengah berkerumun berbelanja.

Serempak kumpulan ibu-ibu rumah tangga itu mendadak diam menutup mulut, tapi sudut mata mereka tetap sibuk mencari-cari bias jawaban dari raut wajah Lastri yang kian terlihat ceria.

"Ssttt … jangan sampai kita-kita menyinggungnya, Ibu-ibu," ujar salah seorang perempuan di sana memperingatkan. " … atau nanti dia bakal menumbalkan kita."

"Hiiyyy, takut!" timpal yang lain.

"Eh, ssttt! Diamlah. Nanti dia curiga."

"Ih, jadi serem."

"Hiiyyy!"

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status