JIMAT TALI MAYAT
Written by David Khanz
Bagian (3)
--------------------- o0o ---------------------
Dua hari setelah ketibaan Basri lalu, suasana di rumah keluarga itu mulai dirasa berubah. Bau busuk menyengat sering tiba-tiba menyeruak memualkan di sekitar ruangan. Gangguan-gangguan kecil kerap diterima Lastri saat hendak menunaikan kewajiban beribadahnya. Entah berupa aliran air mendadak kering ketika bermaksud berwudu atau juga kain mukena sulit ditemukan waktu akan digunakan.
"Eh, kenapa tanya aku, Bu?" jawab Basri tatkala ditanyai istrinya. "Aku, 'kan, gak pernah pake mukena. Mungkin kamunya saja yang lupa naroh, Bu."
Lastri menggaruk-garuk kepalanya, pusing. Berusaha mengingat keras terakhir kali menaruh mukenanya sehabis salat Asar tadi. "Aku biasanya ngegantungin mukena di belakang pintu kamar, Pak," ujar perempuan itu meyakinkan. "Tapi kenapa sekarang pas mau make buat salat Magrib gak ada di sana? Aneh banget." Pikirnya lagi, di rumah itu hanya ada dia dan suaminya. Tidak pernah ada satu pun orang lain atau tetangga sekalipun yang bertamu. Namun dicari-cari hingga kesemua penjuru ruangan, perangkat salat khusus perempuan tersebut belum kunjung ditemukan.
Akhirnya Lastri memutuskan untuk ….
"Kalo begitu, aku ikut salat Magrib di musala saja, deh, Pak."
"Hah?" Basri terkejut.
Imbuh perempuan itu kembali, "Iya, sekalian minjem mukena di sana, Pak. 'Gimana? Daripada nyari-nyari tapi gak ketemu, entar malah kehabisan waktu Magrib."
Laki-laki tersebut malah tercengang bengang. Dia bingung. Jika mengizinkan istrinya ke musala, itu berarti Basri pun harus ikut melakukan ibadah salat Magrib. Lantas bagaimana dengan pesan Ki Jarok sebelumnya yang meminta dia untuk menjauhi ritual keagamaan. Belum lagi kebiasaan berbohong selama dua hari ini pada Lastri. Pamit ke musala, malah melipir ke warung kopi.
"A-apa gak ada cara lain, Bu? Misalnya … ngikut salat di rumah tetangga." Basri mencoba memberi saran. Setidaknya berusaha mencegah agar Lastri tidak sampai mengetahui belangnya. Perempuan itu menggeleng, lantas menjawab, "Gak enak, Pak. Mendingan ikut salat di musala saja, deh. Lagian gak jauh ini, kok."
Basri angkat tangan. Terpaksa dia mengizinkan istrinya ikut ke musala. Tentu saja sambil berpikir bagaimana tindakan dia selanjutnya di sana. Sementara anak-anak mereka sudah terlebih dahulu berangkat sekalian persiapan mengikuti pelajaran mengaji.
"Ngopi dulu, Bang," ucap seorang laki-laki di sebuah warung waktu Basri dan Lastri tengah berjalan berdua menuju musala. Laki-laki bertubuh kerempeng itu memberi isyarat dengan beberapa kali kedipan mata pada sosok tadi, memintanya untuk diam.
"Makasih, Bang," balas Basri berpura-pura. "Kami mau salat Magrib dulu. He-he." Dia segera menarik tangan istrinya agar lekas mempercepat langkah. Tidak lain demi menghindari obrolan susulan sosok di warung tadi.
"Lah, tumben-tumbenan dia salat," ujar laki-laki tadi seraya mencibir. "Biasanya juga tiap kali Magrib ama Isya, dia numpang ngopi di mari."
Pemilik warung menimpali, "Emang baiknya begitu, Bang. Salat, 'kan, kewajiban. Abang sendiri kenapa masih di sini? Udah azan Magrib, tuh."
"Ah, elu, Mpok. Nyamber aja kalo orang ngomong, ya?" semprot laki-laki tersebut keki.
"Yee, si Abang ini. Saya, 'kan, cuma ngingetin doangan, Bang. Gak usah ngegas 'gitu juga 'ngkali."
"Terus, Mpok sendiri kenapa belom siap-siap salat?"
"Lah, saya, 'kan, lagi libur, Bang," jawab pemilik warung berkilah. "Biasalah, tamu bulanan kaum perempuan, Bang. Hi-hi."
"Etdah, dasar lu, Mpok!"
Sementara itu Basri dan Lastri sudah tiba di tempat tujuan. Beralasan hendak berwudu, laki-laki kerempeng itu menyuruh istrinya untuk masuk terlebih dahulu.
"Aku juga belum wudu, Pak," ucap Lastri. "Di rumah, airnya sering macet. Tadi aja gak ngalir lagi, Pak. Aneh, deh."
"Kita sering telat bayar tagihan 'ngkali, Bu, atau PDAM lagi ada perbaikan saluran,," balas Basri memberi alasan. Timpal Lastri, "Ah, enggak, Pak. Aku tanya sama tetangga, aliran air mereka lancar-lancar saja, tuh. Cuma di rumah kita saja yang akhir-akhir ini sering bermasalah."
Basri tidak menjawab. Dia bergegas menuju tempat wudu khusus laki-laki. Begitu juga dengan Lastri. Mulanya tidak terjadi apa-apa. Namun begitu laki-laki itu mulai memasuki ruang musala dan ikut bergabung dengan jemaah lain, tiba-tiba saja dia merasa kegerahan. Sekujur badannya mendadak panas, diikuti dera pusing mengujam seisi kepala.
'Ada apa ini?' tanya Basri mulai limbung. Penglihatannya bergoyang-goyang memualkan. 'Ya, Allah! Apa yang terjadi padaku?' Dia memegangi kepala. Rasa gerah itu kian menyiksa hingga sekujur tubuhnya berpeluh basah. Kemudian perlahan-lahan dia mundur sempoyongan dari barisan salat. 'S-suara itu … suara itu sungguh menyakitkan!' jeritnya seraya menutup lubang telinga.
Basri berlari ke luar musala disertai napas terengah-engah. Sekujur badannya benar-benar seperti dibakar bara panas. Untuk beberapa saat, berdiri pun tidak mampu. Terpaksa duduk bersimpuh di halaman bangunan suci tersebut sambil tetap menutup pendengaran. 'Sial! Baru kali ini aku merasa tersiksa dengan kalimat-kalimat yang dibacakan imam salat itu! Panas sekali … panas … panas! Ah, aku harus segera menjauh dari sini!'
Susah payah Basri berusaha berdiri dan menyeret langkahnya menjauhi tempat tersebut. Berbarengan dengan itu, perlahan-lahan rasa panas itu pun mulai mereda. Dia mampu kembali berdiri kokoh dan mengayun enteng kakinya.
'Benar apa yang dikatakan dukun tua itu,' gumam Basri beberapa waktu kemudian, 'aku memang harus menghindari diri dari ritual ibadah keagamaanku. Kalau tidak, hal yang lebih mengerikan mungkin bisa saja terjadi daripada tadi. Huh, sialan!'
Laki-laki itu terpaksa menunggu di luar hingga istrinya muncul mendekat. "Bapak ke mana tadi? Aku cari-cari di musala, kok, gak ketemu?"
Basri mengekeh sendiri sekadar untuk menutupi gugupnya dan menjawab, "A-aku tadi kebelet pengen kencing, Bu. Makanya begitu beres solat, langsung ke luar. He-he."
Lastri mengerutkan kening.
"Toilet musala, 'kan, ada di sana," kata perempuan itu seraya menunjuk tempat wudu tadi. "Terus kenapa Bapak malah ada di sini? Aneh-aneh saja kamu ini, ah, Pak. Mana bajumu lembab begini." Dia mengusap-usap pakaian suaminya yang masih basah bekas keringat tadi.
"Keran toiletnya bocor, Bu. Tadi sampe nyemprot ke bajuku. Duh!" Lagi-lagi Basri terpaksa harus berbohong. Kejadian tadi tidak boleh sampai diketahui istrinya. Lantas, drama-drama dusta lain pasti akan semakin banyak dia buat demi menutupi rahasia kelam laki-laki tersebut di lain kesempatan. Hal apalagi kalau bukan tentang persekutuannya dengan Ki Jarok.
Keanehan lain yang kerap muncul di rumah adalah terkait aroma busuk menyengat itu. Anehnya lagi, hanya Basri seorang yang membaui. Tidak begitu dengan Lastri dan anak-anak mereka. Seperti pada waktu pertama kali laki-laki kerempeng tersebut di datangi sosok makhluk menyeramkan berwujud pocong saat hendak makan malam lalu.
'Sukaesih ….' gumam Basri terkejut dan mundur menjauh.
"Pak, kenapa, Pak?" tanya Lastri terheran-heran melihat raut wajah suaminya mendadak seperti ketakutan. "Ada apa?" Perempuan itu menoleh ke arah Basri terbelalak memandang. Tentu saja di mata istrinya, sosok mengerikan tadi sama sekali tidak terlihat.
Basri memejamkan mata sesaat. Cepat-cepat dia bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. "G-gak ada apa-apa, Bu," jawabnya berusaha bersikap tenang. "A-aku hanya … hanya mendadak teringat anak-anak. Iya, inget sama anak-anak."
"Kok, muka Bapak kayak kaget begitu?" Lastri tidak lantas memercayai ucapan suaminya. Berkali-kali dia menoleh ke arah tadi. Tetap saja tidak terlihat apa pun di sana.
Basri pura-pura menunduk. Menghindari tatapan makhluk mengerikan itu memelototi dirinya. "Ya, tiba-tiba inget saja, Bu," katanya berkilah. "Di saat kita makan enak seperti ini, anak-anak gak ikut menikmati. Jadi … aku kayak ngelihat anak-anak muncul di sana tadi, Bu."
"Oohh, begitu," ucap Lastri seraya mengangguk-angguk paham. "Kirain apaan. Kamu ini bikin kaget saja, ah, Pak. He-he."
Basri bersyukur, istrinya tidak lagi banyak bertanya. Hanya saja, sosok mengerikan itu masih saja berdiri memandanginya disertai bau busuk yang tidak kunjung hilang. Aroma serupa sebagaimana laki-laki itu membongkar kuburan Sukaesih beberapa waktu sebelumnya.
"Mau ke mana, Pak?" tanya Lastri begitu Basri beranjak dari tempat duduknya sambil memegangi perut. Jawab laki-laki tersebut, "Mual, Bu. Mungkin masuk angin."
Padahal rasa mual itu diakibatkan bau busuk dari makhluk menyeramkan tadi.
"Ya, sudah. Aku kerokin, ya, Pak?"
"Beresin saja dulu makanmu, Bu," jawab Basri sebelum bergegas ke belakang untuk menghindari wujud makhluk tersebut. "Aku ke kamar kecil dulu, deh," imbuhnya kembali beralasan.
"Iya, Pak."
Basri masuk ke dalam kamar mandi, mengunci diri, dan diam berjongkok sambil memandangi sudut-sudut ruangan.
'S-semoga makhluk sialan itu tidak mengikutiku ke mari,' membatin Basri di antara rasa takutnya. 'Bedebah, ternyata si Kesih tidak merelakan tali pocongnya aku ambil dan aku harus segera menemui Ki Jarok perihal ini.'
Tok! Tok! Tok!
"Astaga!" pekik Basri terkejut.
Dari balik pintu terdengar suara Lastri memanggil-manggil. "Pak, lama amat, sih, di dalam. Bapak gak kenapa-kenapa, 'kan?"
'Oh, syukurlah! Ternyata Lastri. Kupikir makhluk—'
"Pak, buka pintunya!"
Tok! Tok! Tok!
Jawab Basri masih dalam keterkejutannya, "I-iya, Bu. A-aku keluar sekarang." Lantas, perlahan-lahan lelaki itu membuka pintu. Ada rasa takut jika yang muncul bukanlah Lastri. Namun ….
"Bapak sakit?" tanya perempuan itu begitu pintu kamar mandi terkuak. Basri mengangguk pelan, walaupun sebenarnya bukan itu yang sedang dia rasa. "Yuk, aku kerokin, deh, di kamar," ajak Lastri seraya menarik lengan suaminya.
Sungguh, jikalau ingin berkata jujur, sebenarnya Basri merasa sangat lapar sekali. Namun untuk sementara dia tahan dulu. Membiarkan Lastri mengurus dirinya hingga perempuan itu jatuh terlelap dalam kelelahan. Lantas diam-diam Basri mengendap-endap menuju ruang makan. Mengambil sepiring nasi dan juga potongan daging ayam yang sudah dingin. Saat hendak menyuapkan ke mulut, tiba-tiba bau busuk itu kembali datang menyengat.
'Ya, Tuhan! Apakah ini pertanda makhluk itu akan muncul kembali?' tanya Basri seraya melirik-lirik tempat dimana makhluk berwujud pocong tadi muncul. Kali ini tidak ada. Hanya baunya saja yang masih tersisa dan perlahan-lahan menghilang begitu potongan daging ayam tersebut dia letakan kembali di wadahnya semula. 'Aneh, perasaan waktu tadi pun begitu. Sekarang juga sama. Apakah ini berarti ….'
Basri bergegas ke dapur hendak mengambil garam. Kali ini dia makan nasi hanya dengan bumbu tersebut. Tidak terjadi apa-apa. Bau busuk maupun penampakan makhluk menyeramkan itu tidak lagi ada. Bahkan hingga perutnya terisi kenyang.
'Hhmmm, sialan!' gerutu Basri kemudian. 'Jadi maksud dari semua tadi itu … aku tidak diperbolehkan makan-makan enak? Begitu? Haram jadah! Percuma saja aku mencari kekayaan, kalau tidak bisa turut kunikmati. Benar-benar bangsat banget! Huh!'
Basri berniat untuk bertanya-tanya tentang hal itu pada Ki Jarok suatu hari nanti. Ada banyak kejadian-kejadian lain yang luput dari penjelasan dukun tua tersebut. Sedikit ada penyesalan jika memang jalan hidupnya akan pahit seperti itu, tapi bayangan kemiskinan keluarganya kembali menguar. Tatapan pengharapan anak-istri akan kehidupan yang mapan, serta cibiran tetangga mengenai status sosial mereka yang terhinakan.
'Tidak!' gumam Basri bertekad bulat. 'Keluargaku harus berubah! Istri dan anak-anak berhak mendapatkan kebahagiaan! Biarlah walaupun harus aku sendiri yang menjadi tumbal atas mimpi-mimpi mereka itu!'
Seringai pun terulas dari bibir laki-laki kerempeng ini. Dia mulai paham bagaimana aturan main sebenarnya dengan perjanjian persekutuan dirinya dengan Ki Jarok tersebut. Kekayaan yang dimiliki dari jalan hitam dan instan seperti itu, bersifat bukan untuk memanjakan pelaku akan kenikmatan kemilau dunia, akan tetapi semata-mata hanya untuk pamer belaka. Maknanya sosok seperti Basri ini tidak akan pernah diberikan kesempatan menikmati hidup, terkecuali diberi tugas menuai bibit-bibir riya saja.
Dengan kondisi perut terisi penuh, Basri pun bermaksud menyusul Lastri menuju alam peraduan. Namun begitu memasuki kamar, hasrat kelelakiannya tiba-tiba saja mencuat hebat. Nanar mata lelaki ini menatap kemolekan tubuh istrinya dari singkapan selimut yang terkuak bebas di bagian pangkal utama. Seketika itu pula dia mulai merayap, menyebadani panjang badan Lastri, kemudian bermain-main sesuai kehendak tunutan binalnya.
Lastri terbangun girang dan menyambut hangat undangan gelora dari suaminya. Lantas mulai menggaduhkan seisi kamar dengan liukan eksotis disertai suara-suara seirama dan dengkusan napas-napas beruap hawa panas.
Tanpa disadari, sepanjang perjalanan ritual khusus pemenuhan biologis tersebut, beberapa sosok tidak kasat mata turut melenguh dengan lidah berluyutan.
--------------------- o0o ---------------------
Dua hari pada keesokannya tersiar kabar hingga menembus alam perkampungan tempat dimana Basri tinggal, tentang pembongkaran sebuah makam di Kampung Sirnagalih. Warga setempat ikut gempar dan sibuk menduga-duga. Tidak terkecuali di lumbung gosip warung milik Bariah.
"Eh, sssttt … ada Mbak Lastri datang," bisik Bariah begitu melihat kedatangan istri Basri tersebut di warungnya, pada beberapa pelanggan yang tengah berkerumun berbelanja.
Serempak kumpulan ibu-ibu rumah tangga itu mendadak diam menutup mulut, tapi sudut mata mereka tetap sibuk mencari-cari bias jawaban dari raut wajah Lastri yang kian terlihat ceria.
"Ssttt … jangan sampai kita-kita menyinggungnya, Ibu-ibu," ujar salah seorang perempuan di sana memperingatkan. " … atau nanti dia bakal menumbalkan kita."
"Hiiyyy, takut!" timpal yang lain.
"Eh, ssttt! Diamlah. Nanti dia curiga."
"Ih, jadi serem."
"Hiiyyy!"
BERSAMBUNG
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (4)-------------------------- o0o --------------------------Seorang lelaki berlari-lari panik menyusuri jalanan tanah perkampungan yang masih becek. Napasnya terengah-engah disertai bias raut wajah pucat seperti ketakutan. "Tolooonnggg!" teriak sosok yang masih terlihat muda itu disepanjang langkah. Dia berusaha mencari-cari seseorang di sekitarnya. Namun waktu sepagi itu jalanan masih tampak lengang. Belum banyak orang berlalu-lalang untuk memulai beraktivitas."Ada apa, Sarkim?" Seseorang akhirnya menghampiri begitu mendengar teriakan lelaki muda tadi. Dia pun menoleh lega, lantas segera mendekat. "Ada apa? Sepagi ini kamu teriak-teriak minta tolong?" Imbuh sosok tadi kembali bertanya.Sarkim, begitu laki-laki muda itu dipanggil, berhenti seraya mengatur napas. Tidak lantas menjawab, tapi menunjuk-nunjuk sebuah arah di belakangnya tadi. "M-akam Sukaesih … m-makam Sukaesih, Pak," katan
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (5)-------------------------- o0o --------------------------Juragan Juanda duduk berdampingan dengan Kepala Kampung Mbah Jarwo di hadapan para tetamu undangannya di sebuah gubuk sederhana. Tempat yang sengaja dibangun di sebuah lahan perkebunan miliknya, tidak berapa jauh dari kediaman mewah orang terkaya di Kampung Sirnagalih tersebut."Terima kasih saya haturkan kepada Bapak-bapak yang telah berkenan menerima undangan saya untuk turut hadir di sini," ujar laki-laki perlente itu mulai membuka percakapan. Sejenak dia melirik dan menepuk lengan tetua kampung di sampingnya, lantas lanjut berkata, "Terutama kepada yang saya hormati Mbah Jarwo atas bantuannya yang sangat berharga."Juragan Juanda berhenti sesaat sambil menundukkan kepala. Tampak sekali raut sedih menghiasi wajahnya yang masih terlihat gagah di usia menjelang senja."Mengenai kejadian semalam yang menimpa kuburan almarhumah
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (6)-------------------------- o0o --------------------------Siang itu, Basri dan Lastri baru saja tiba di rumah kedua orang tua laki-laki kerempeng itu untuk menjemput anak-anak mereka, Aryan dan Maryam. Disambut hangat oleh sesosok wanita tua, Emak Sari, dengan lemparan seulas senyum manis pada anak dan menantunya tersebut."Assalamu'alaikum, Mak," ucap Basri uluk salam seraya meraih tangan tua itu dan menciumnya takzim, diikuti oleh Lastri. Jawab sosok itu penuh kerinduan, "Wa'alaikumussalaam, Nak."Tanya Lastri kemudian sambil melongok ke dalam rumah, "Bagaimana kabar Ambu dan Abah? Sehat? Iyan dan Iyam ke mana, Ambu?""Alhamdulillah, Emak dan Abah sehat, Nak. Anak-anak tadi pada main di belakang," jawab ibunya Basri masih menyertainya dengan senyuman yang sama. "Masuklah. Emak bawain minum dulu, ya?""Gak usah, Ambu." Cepat-cepat Lastri mencegah. "Biar sama Elas saja, ya."
JIMAT TALI MAYATWritten by David KhanzBagian (7)-------------------------- o0o --------------------------Sepulang dari warung Bariah, Lastri menghempaskan diri ke atas kursi di ruang depan. Sudah lapuk, keras, dan dibeberapa bagian alasnya pun sudah koyak dengan corak warna memudar. Itu adalah tempat duduk milik yang punya rumah. Sengaja tidak diangkut dan dibiarkan teronggok di sana, sejak awal pasangan Basri dan Lastri mulai menempati kontrakan tersebut beberapa tahun lalu."Pake aja, Mbak Las," tutur pemilik rumah kala itu. "Lagian kalo dibawa pun, bingung narohnya di mana. Rumah saya yang baru sekarang, sudah penuh sama barang-barang rumah tangga. Hi-hi."Perempuan itu masih ingat sekali, awal datang di Kampung Cijèngkol dulu sewaktu usia Aryan baru beberapa bulan. Sekarang anak laki-laki itu sudah duduk di kelas 5 SD. Berarti hampir 11 tahun lamanya mereka mengontrak rumah tersebut. Di sana pula anak kedua, Maryam, lahir. Han
JIMAT TALI MAYAT Written by David Khanz Bagian (8) -------------------------- o0o -------------------------- Basri menatap sedih istrinya. Perlahan dia usap wajah perempuan itu, kemudian berkata penuh kelembutan, "A-aku jadi ngerasa berat buat ninggalin kamu dan anak-anak, Bu." Sejenak laki-laki tersebut menarik napas untuk sekadar melonggarkan dadanya yang mendadak sesak. "Aku ngekhawatirin kalian semua. Tapi … walau bagaimanapun juga, aku harus tetap pergi, 'kan, Bu? Kalo enggak, aku bakal makin ngerasa berdosa, karena gak bisa menuhin kebutuhan keluarga. Kalian bertiga." Sejujurnya bukanlah itu yang terselip di dalam hati Basri. Kabar tentang pembongkaran kuburan Sukaesih akhirnya sampai juga di telinga Lastri. Perempuan itu jadi ikut merasa ketakutan. Entah tentang isu arwah gentayangan, mungkin, atau bisa pula terhadap pelaku pencurian tali mayat itu sendiri. Basri sadar, cepat atau lambat, kabar
JIMAT TALI MAYAT (The Series)Written by David KhanzBagian (9)----------------------- o0o -----------------------Kepergian Basri seperti biasa untuk menunaikan tugasnya sebagai kepala rumah tangga, kali ini --tentu saja-- dengan tujuan tidak seperti biasa. Berpamitan hendak menjalankan bisnis dengan teman, nyatanya kali ini tidak demikian. Lelaki berbadan kurus kering tersebut mendatangi tempat-tempat perjudian di kota-kota besar. Berbekal seutas tali pengikat mayat yang tersimpan di dalam jahitan celana pangsinya, dia selalu optimis memenangkan taruhan demi taruhan setiap permainan yang diikuti. Namun untuk menjaga kecurigaan, Basri tidak pernah mengikuti pertaruhan di tempat yang sama. Selalu berpindah-pindah usai mendapatkan uang yang banyak. Begitu dan begitu seterusnya, dia melanglangbuana meraup keuntungan besar dalam sekali main. Itu pun tidak pernah berlama-lama, cukup beber
JIMAT TALI MAYAT (The Series) Written by David Khanz Bagian (10) --------------------- o0o --------------------- Basri dan kedua anaknya, Aryan dan Maryam, serempak mempercepat langkah sepulang dari musala. Mereka berlari-lari kecil begitu melihat kondisi rumah dalam keadaan gelap gulita. “Lho ... kok, lampu depan gak dinyalain, Pak?” tanya Aryan seraya menengok ke arah Basri yang berlari di belakang. “Apa Ibu lupa nyalain lampu?” Bukan hanya lampu depan, nyatanya begitu tiba di beranda rumah, hal yang sama pun terjadi di dalamnya. “Bapak sendiri gak tahu, Yan,” jawab lelaki tersebut sembari mengintip celah kain gorden jendela. Pekat menggulita. “Mungkin KWH-nya ngejepret atau Ibu ketiduran,” imbuhnya kembali was-was. Segera memeriksa meteran listrik yang berada tepat di samping atas pintu akses utama keluar-masuk rumah. Normal. Masih dalam kondisi semest
JIMAT TALI MAYAT (The Series) Written by David Khanz Bagian (11) --------------------- o0o --------------------- Alunan musik dangdut menggema hingar memenuhi ruangan temaram dengan cahaya warna-warni. Basri hanya duduk-duduk menatap layar televisi berukuran besar, ikut berdendang pelan sambil membaca rangkaian lirik lagu yang tersuguh. Sementara dua temannya asyik bernyanyi mengikuti ketukan irama, ditemani dua perempuan pemandu karaoke berpakaian minim dan ketat. Sesekali tangan-tangan mereka bergerilya menyentuh bagian-bagian tubuh sensitif masing-masing, lantas disambut cekikik nakal dari keempatnya. Belasan lagu sudah mereka lewati, tapi hanya beberapa yang benar-benar diikuti dengan saksama. Sisanya bercampur aktivitas lain sambil menikmati sajian minuman khas beraroma menyengat. Sesaat Basri menatap empat sosok di sampingnya sembari memijit-mijit kening. Sedikit te