Share

Chap 2 - Pertemuan Pertama

“Argh! Sial! Sial! Bisa-bisanya aku hampir terlambat ke bandara,” Avery mengutuk dirinya sendiri, ia berlari secepat kilat setelah turun dari taksi yang mengangkutnya menuju ke pintu masuk bandara Frankfurt, Jerman. Tiga puluh menit lagi, pesawat yang ia akan tumpangi akan take off.  

Avery segera menyerahkan tiket dan paspornya ke bagian check-in. Untungnya ia tidak membawa banyak barang, hanya backpack saja berisi beberapa pakaian, sehingga tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mengurus bagasi. Avery berpikir, ia tidak akan lama berada di Indonesia, ia pun tidak ingin terlalu lama berada di Indonesia karena pekerjaannya sangat banyak di Jerman.

Waktu sudah tidak terlalu banyak, ia segera berlari ke bagian pengecekan oleh sekuriti selanjutnya ke bagian imigrasi. Selesai melakukan foto dan cap jari di bagian imigrasi, ia berlari lagi ke boarding gate tujuannya. Nafasnya terengah-engah karena berlarian sejak tadi.  Bandara Frankfurt lumayan besar untuk dijelajahi dengan kecepatan tinggi seperti yang dilakukan Avery saat ini. 

“Aduh, capek banget,” keluh Avery sambil menghentikan langkahnya. Ia mencoba mengatur nafasnya yang sudah tidak teratur. Nafas saat ini sudah terasa habis. 

Pintu masuk ke pesawat sudah terbuka sejak sepuluh menit yang lalu. Dengan semua sisa tenaga, Avery berlari memasuki pesawat korean-air. Ia segera mencari tempat duduk yang terdaftar atas namanya.

“Fiuh, akhirnya aku bisa duduk di pesawat. Untung tidak terlambat. Jika tidak, uangku akan melayang sia-sia,” keluh Avery dalam hati. Ia menyeka keringat di wajahnya. “Hari ini seperti sedang lari marathon. Jika bukan karena Rosalind, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki ke Jakarta terutama ke rumah pria tua playboy itu!” ucap Avery dalam hati. Ia mematikan segala perangkat elektroniknya saat pesawat hendak take off. 

Kebetulan Avery mendapatkan tempat duduk di samping jendela, sehingga ia bisa melihat pemandangan langit yang sudah gelap, bahkan sangat gelap. Matanya seakan tidak mau berkompromi, sehingga ia tertidur.

Waktu yang dibutuhkan dari Frankfurt ke bandara Soekarno-hatta adalah sekitar 18 jam 45 menit karena harus transit terlebih dahulu di Incheon International Airport, Korea Selatan. Waktu masih menunjukkan pukul 14.00 waktu korea selatan. Ia masih harus menunggu satu jam lagi untuk melanjutkan penerbangan ke Indonesia. Tubuhnya sangat lelah, sudah lebih dari sepuluh jam ia berada di pesawat dalam kondisi duduk. Dikarenakan sedang transit, ia berniat untuk meninggalkan pesawat terlebih dahulu. Mungkin sekedar mencari oleh-oleh untuk Rosalind, ia pasti sangat senang karena Rosalind adalah pecinta K-pop maupun K-drama. Cita-cita Rosalind adalah berjalan-jalan ke korea bersamanya.

Karena waktu sangat mepet, Avery cepat-cepat menuju tempat penjualan souvenir.

BRUK!

Avery menabrak seseorang di depannya dan jatuh ke lantai. Tangan dan bokongnya sangat sakit karena membentur lantai.

“I’m sorry,” ucap Avery masih tertunduk melihat ke lantai. Avery memegangi bokongnya yang terasa nyeri.

“Ah, it’s ok,” ucap pria yang ditabrak Avery dingin. “Can you get up?” tanya pria itu sambil mengulurkan tangan kanannya untuk menolong Avery yang masih terduduk di lantai.

“Sure, thanks.” Avery mengambil uluran tangan yang diberikan pria itu.

Avery terpesona pada pandangan pertama kepada pria yang ada di hadapannya saat ini. Ia tersenyum melihat ketampanan pria di depannya, wajahnya seperti blasteran entah blasteran dari mana yang pasti alis matanya tebal, mata biru, hidung mancung, bibir agak sedikit tebal, rahang yang tegas, bahu yang tegak, dan tinggi tubuh pria ini mungkin sekitar 180 cm.

"Sudah selesai memandangi wajahku dan memegangi tanganku?" goda pria itu sambil tersenyum.

Avery sadar dan segera melepaskan jabatan tangannya dengan pria yang baru menolongnya itu.

"Maaf ..." Avery menunduk malu karena ketahuan terpesona kepada pria di hadapannya.

"It's ok." Pria itu mengedipkan matanya.

Tiba-tiba Avery mendengar ada peringatan bahwa pesawat akan segera take off lagi, Avery akhirnya membatalkan mencari souvenir. “Ampun, masa ketinggalan pesawat lagi?” protes Avery menepuk keningnya. Tadi saat mencari souvenir, Avery tersesat. Bahkan karena tidak tahu bahasa Korea Selatan, maka ia semakin bingung untuk bertanya.

“Hei, kamu orang Indonesia?” tanya pria itu sambil tersenyum. Ia sangat senang ternyata wanita yang menabraknya tadi ternyata setanah air dengannya.

“Iya, kamu juga orang Indonesia?” tanya Avery penasaran

“Sorry ya, tadi aku menabrak kamu, dan sekarang aku harus ke pesawat segera. Sudah mau take off. Tapi aku bingung, dimana gate yang harus aku masukki.” Avery menggaruk kepalanya sendiri. 

“Kamu mau kemana dan menggunakan pesawat apa?” tanya pria itu ingin membantu.

“Aku mau ke Indonesia, pesawat yang aku naiki Korean-Air.”

“Ah, sama denganku. Ayo kita pergi bersama. Waktu hampir habis,” pria itu menarik tangan Avery. Mereka berlarian ke boarding gate dan untungnya mereka tidak terlambat untuk masuk ke dalam pesawat. Nafas mereka sama-sama beradu, terengah-engah karena lelah berlarian.

“Kamu seat berapa?” Pria itu mencoba mencarikan nomor seat tempat duduk Avery.

“31 A,” jawab Avery.

“Ah, itu dia tempatnya.” Pria itu ingin mengantarkan Avery ke tempat duduknya.

Setelah sampai di tempat duduk Avery, Pria itu baru mau mengajak berkenalan.

“Siapa nama kamu?” tanya pria itu sambil mengulurkan tangannya untuk berjabatan.

“Belle. Kamu?” 

“Jayden.”

“Kamu duduk dimana?” tanya Avery penasaran. Ia melihat pria itu tidak duduk sama sekali.

“Aku? Sebentar ...” Jayden mencari pramugari untuk memberitahukan kepada penumpang yang berada di seat 31 B agar bisa berpindah ke tempat duduk prestige suite miliknya. Ia ingin duduk bersama dengan Avery saat ini.

Setelah bernegosiasi dengan pramugari, akhirnya Jayden datang kembali ke seat milik Avery dan langsung duduk di sebelahnya, yaitu seat nomor 31 B.

“Hei, kamu di sini?” tanya Avery bingung.

“Ya. Aku tadi lupa nomor seat-ku sendiri, jadi aku bertanya pada pramugari itu,” jelas Jayden sambil tersenyum manis. Ia segera mendaratkan bokongnya di tempat duduk di samping Avery.

“Baiklah.” Avery hanya bisa tersenyum sekaligus bahagia, karena di sebelahnya ada pria tampan, setidaknya perjalanannya ke Indonesia tidaklah membosankan. Jika tidak ada kata-kata yang bisa diucapkan, setidaknya ia bisa memandangi wajah Jayden yang sangat tampan.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Jayden yang sedang memakai sabuk pengamannya.

“Aku hanya transit di sini.” Avery juga memakai sabuk pengamannya karena pesawat hendak take off. 

“Ah, jadi sebelumnya kamu dari mana? Apakah kamu sedang pulang ke Indonesia?” tanya Jayden penasaran.

“Aku dari Jerman. Aku bekerja di sana, dan ya, aku dalam rencana pulang ke Indonesia. Masalah keluarga. Bagaimana dengan kamu?” Avery tersenyum manis, sementara Jayden mengarahkan duduknya ke arah Avery.

“Ah, aku. Ya, sebagai pegawai yang harus keluar negeri karena pekerjaan dari bos besar.” Jayden mengedikkan bahunya.

“Haha … Aku mengerti." Avery menertawakan Jayden. "Nasib pegawai yang masih memerlukan gaji.” ledek Avery.

“Ya, begitulah. Jadi apa pekerjaanmu di Jerman?” tanya Jayden penasaran.

“Aku seorang seniman.”

“Wow.” Jayden terkejut dengan pekerjaan Avery. 

“Kenapa?” tanya Avery heran dengan perilaku Jayden, “Apakah menurutmu pekerjaanku tidak bermasa depan karena banyak orang yang berkata seperti itu?” goda Avery.

“Tidak, bukan itu. Aku kagum dengan orang yang mau berprofesi sebagai seniman. Bakat mereka luar biasa,” Jayden berdecak kagum.

“Kamu berlebihan.” Avery tersipu malu. 

“Tentu saja tidak.” Jayden sangat senang berbicara santai dengan Avery. Baginya tidak ada beban untuk berbicara dengan orang yang tidak mengenal siapa dirinya sebagai Xavier Jayden Vladimir, seorang CEO dan pemilik berbagai macam perusahaan multinasional yang saat ini berusia 29 tahun.

Tidak terasa sudah hampir tujuh jam mereka bersama, tujuan bandara Soekarno-Hatta sudah terlihat dari pesawat yang mereka tumpangi. Tertawa, makan bersama bahkan saling meledek membuat mereka semakin dekat.

“Hei, Belle. Bolehkah aku meminta alamatmu tinggal selama di Jakarta?” tanya Jayden bersemangat saat mereka sudah di depan bilik imigrasi.

“Boleh. Aku tuliskan di kertas ini ya.” Avery menuliskan alamatnya di selembar kertas.

“Apakah kamu tidak memiliki nomor telepon?” tanya Jayden penasaran. Ia melihat hanya alamat saja yang tercantum di kertas itu.

“Ah, aku tidak memiliki nomor telepon di Indonesia saat ini. Mungkin nanti aku akan membelinya,” ucap Avery menepuk dahinya.

“Baiklah, coba hubungi aku saat kamu sudah memiliki nomor telepon Indonesia.” Jayden mencatat nomor teleponnya di selembar kertas memo dan memberikannya pada Avery.

“Terima kasih.” Avery membaca catatan di kertas memo yang diberikan oleh Jayden. Mencoba menghafalnya.

“Bagaimana jika aku mengantarmu pulang?” tawar Jayden.

“Tidak usah, ayahku sudah menungguku di depan. Selamat tinggal Jayden.” Avery mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Jayden.

“Bukan selamat tinggal, tapi sampai bertemu lagi, Belle,” ucap Jayden sambil mendekatkan diri ke telinga Avery.

“Baiklah, sampai jumpa, Jayden.” Avery melepaskan jabatan tangannya dan memberikan jarak dari tubuh Jayden. “Aku pergi dulu.” Avery melambaikan tangannya ke arah Jayden.

“Hati-hati, Belle ...” Jayden melambaikan tangannya ke arah Avery melihat wanita itu memasuki sebuah mobil yang terbilang mewah..

“Aku pasti akan mencarimu dan mendapatkanmu, Belle,” ucap Jayden sambil melihat catatan alamat yang diberikan oleh Avery.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status