Share

Chap 3 - Semua Pria Sama Saja

“Non, nanti langsung pulang ke mansion ya, bapak sudah menunggu di sana,” ucap sopir yang sudah lama mengikuti Jordan selama ini, namanya pak Sarmin.

“Iya, Pak,” ucap Avery lembut. Ia sangat menghormati Sarmin walaupun Sarmin hanya sopir di rumahnya saja. Sarmin sudah Avery anggap sebagai keluarganya sendiri. 

“Sudah lama bapak tidak bertemu dengan, Non. Bagaimana kabar Non di Jerman?” tanya Sarmin memulai pembicaraan dengan antusias.

“Semua baik-baik saja, Pak,” balas Avery singkat.

“Bagaimana kabar Nyonya Veronica di sana?”

“Mama sudah meninggal,” ucap Avery lirih.

“Maaf, Non, bapak tidak tahu,” Sarmin menurunkan nada bicaranya, tidak seantusias pembicaraan awalnya. Ia juga turut bersedih karena nyonya besarnya sudah meninggal. Selama ini, Veronica selalu membantu keluarga Sarmin, bahkan menyekolahkan anaknya hingga kuliah. Ia merasa sangat berhutang budi pada Veronica yang baik hati.

“Santai saja, Pak. Banyak orang yang bahagia akan kematian ibu,” ucap Avery sinis.

“Maaf, Non.” Sarmin hanya bisa menurun kepalanya. Ia tahu siapa yang sedang dibicarakan Avery.

“Bukan salah bapak.” Avery menghapus air mata yang tiba-tiba meleleh ke pipinya.

Avery mengalihkan pandangannya ke kaca jendela mobil. Ia hanya menikmati pemandangan yang ia lewati ditemani dengan lagu-lagu nostalgia kesukaannya. Hari ini jalanan begitu lengang, mungkin karena sudah jam 21.30, tidak ada aktivitas perkantoran lagi. Jalanan antara bandara Soekarno-Hatta dengan rumahnya di daerah Menteng sudah tidak ada kemacetan lagi.  

Terus terang, Avery sangat malas bertemu dengan ayah kandungnya saat ini. Jika ia melihat wajah ayahnya, yang ia rasakan hanya kenangan masa lalu yang terus menerus berputar kembali di hadapannya seperti kaset rusak yang enggan berhenti dan hal itu sangat mengganggu batin Avery.

Butuh sekitar tiga puluh menit bagi Avery untuk sampai ke mansionnya. Ia berjalan gontai menyusuri taman yang biasa ia tanami bunga dengan ibu dan adiknya. Kenangan kebahagiaan menyeruak di setiap langkah yang ia lalui. Mawar berwarna-warni masih tumbuh subur di taman ini. Ia mencium wangi bunga mawar yang sedang bermekaran di taman kesayangannya dahulu. Tidak terasa ia sudah sampai di pintu utama. Dengan enggan ia memencet bel rumah.

Tet! Tet! Tet!

Tidak membutuhkan waktu lama bagi Avery untuk menunggu di depan pintu, seseorang telah membukakan pintu untuknya.

Ceklek

“Hai, Nak. Bagaimana perjalananmu?” tanya Jordan memaksakan senyumnya dan berbasa-basi kepada Avery yang baru masuk ke dalam rumah.

“Ya begitulah.” Avery sudah sangat lelah dalam perjalanannya yang sangat jauh. Ia sudah tidak mau berbasa-basi dengan Jordan sehingga ia melewati Jordan begitu saja. Sekilas, Avery melihat ayahnya sudah berbeda dari tujuh tahun lalu. Rambut ayahnya sudah dipenuhi uban, wajahnya kusut tidak terawat, mungkin terlalu memikirkan Rosalind atau wanita lain yang menjadi mainannya.

"Apakah kamu lapar?" tanya Jordan perlahan.

"Tidak. Aku sudah makan di pesawat." balas Avery singkat.

“Baiklah. Av, istirahatlah di kamarmu, bi Indah sudah merapikannya,” ucap Jordan pelan. Ia sangat senang Avery bersedia pulang ke rumah walaupun wajahnya tetap tidak bersahabat seperti biasanya. Avery tetaplah anak yang paling ia sayangi selain Rosalind.

“Ya. terima kasih,” balas Avery kaku. Ia berlalu meninggalkan Jordan yang masih berdiri di ujung tangga lantai satu. Avery tidak mau terlalu banyak bicara dengan ayahnya yang sudah mulai terlihat renta itu. Ia menyadari, bahwa ia sedikit keterlaluan pada ayahnya, tapi kekesalan pada hati Avery belum bisa terhapuskan begitu saja. Ia masih memendam kepahitan di dalam dirinya atas semua perbuatan yang dilakukan oleh Jordan.

Avery melihat sekelilingnya tapi tidak tampak batang hidung Frecia di rumahnya. "Apakah wanita itu sudah tidur? Semoga aku tidak perlu bertemu dengan wanita itu," ujar Avery di dalam hati. Ia sangat tidak berharap menemukan Frecia di dalam rumahnya karena rumah itu adalah kenangan akan ibunya. Ia tidak mau kenangan itu dirusak oleh wanita pelakor seperti Frecia.

Avery memasuki kamarnya yang berada di lantai dua. Dekorasinya masih sama seperti dahulu, semua penataan dan wallpaper masih sama, warna monokrom dan tidak banyak hiasan di dalamnya. Avery adalah orang yang tidak terlalu suka nuansa warna-warni di dalam kamarnya. Ia lebih suka tipe simpel saja.

Avery mendekati meja rias dan rak bukunya, barang-barang masih ditata sama seperti Avery terakhir melihatnya, tepatnya lebih rapi karena Avery menghancurkan barang-barang sebelum ia pergi dari mansion ini. 

Avery menyusuri setiap sudut kamarnya, terdapat foto keluarganya yang bahagia di atas nakas di sebelah tempat tidurnya. Ia memandangi foto keluarganya yang saat itu sedang berlibur di pantai. Terlihat raut bahagia di foto itu, semua senyuman terasa tulus. Hari itu adalah hari yang paling bahagia untuk Avery karena ayahnya menyediakan waktu untuk bersantai bersama, walaupun hanya dua jam dan setelah itu, ayahnya harus kembali meeting dengan para klien. Avery sangat memaklumi kesibukan ayahnya sebagai pebisnis multi company.

Tidak terasa air mata Avery mengalir di pipinya, kebahagiaan di foto yang ia cetak hanya bertahan satu minggu karena ayahnya tertangkap basah sedang beradegan panas dengan wanita lain di sebuah hotel, tepatnya di hotel miliknya. 

Avery ingin segera membersihkan diri dari peluhnya dan lelahnya selama hampir dua puluh jam perjalanan.

Ia melepaskan jaketnya karena panas tapi tiba-tiba memo dari pria bernama Jayden meluncur dari saku jaketnya.

“Cih ... Semua pria sama. Baik di awal, buruk di belakang. Apalagi jika sudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Tidak ada kata setia dalam hidupnya. Sampah! Semua pria brengsek! Mungkin termasuk kamu," hina Avery sinis sambil melihat memo yang ia dapatkan dari Jayden. 

"Maaf, perjumpaan kita cukup sampai di bandara saja. Selebihnya aku tidak memerlukan kamu dan kita tidak akan pernah berjumpa lagi," ucap Avery sinis. Ia merobek memo itu dan membuangnya ke tempat sampah.

oooOOOooo

“Selamat malam, Tuan Xavier,” ucap Aris, kepala pelayan di mansion Xavier membukakan pintu masuk untuk Xavier.

“Malam. Aku sangat lelah, aku ingin istirahat tanpa diganggu oleh siapapun,” ucap Xavier tegas. Ia berlalu dari hadapan Aris dan segera masuk ke kamarnya untuk membersihkan diri. Rasa lelah mendera dirinya. Jika bukan karena sepupunya yang bernama Jonathan sedang berbuat ulah dengan membuat keributan di Korea Selatan, ia tidak mungkin akan pergi ke negara itu dengan rute bolak-balik, sungguh melelahkan. 

Xavier membuka pakaiannya dan tiba-tiba memo dari Avery terjatuh ke lantai.

“Oh, memo dari Belle,” ucap Xavier sambil tersenyum melihat memo itu. Walaupun ia merasa sangat lelah, tapi ia juga sangat bahagia karena perjalanannya tidak sia-sia. Ia sangat bahagia bertemu dengan seorang wanita bernama Belle yang tidak memandang dirinya sebagai Xavier Jayden Vladimir seorang Ceo dan pemilik Vladimir corp. Belle hanya mengetahui dirinya sebagai Jayden, seorang karyawan sebuah perusahaan saja.

Xavier sangat terpesona dengan segala pengetahuan, keramahan dan obrolannya dengan Belle. Tidak pernah ia bertemu wanita sepintar dan sebaik Belle. Semua wanita yang ia temui selalu mendekatinya untuk urusan proyek atau karena uang saja. Bahkan mantan kekasihnya meninggalkan dirinya untuk menikah dengan pria lain setelah mendapatkan banyak properti dan uang dari Xavier.

Sejak pengkhianatan yang dilakukan oleh mantan pacarnya, Xavier jadi takut untuk mendekati apalagi mencintai seorang wanita. Hanya kali ini saja, ia terpesona oleh seorang wanita yang bernama Belle yang sama sekali tidak mengenalnya.

“Aku pasti akan mencarimu besok, kita akan bertemu lagi dan akan kujadikan kamu sebagai pendamping hidupku selamanya,” ucap Xavier tersenyum bahagia melihat memo berisi alamat wanita yang ia sukai. Ia menaruh kertas memo dari Belle di dalam dompetnya dan segera membersihkan diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status