Share

Bab 3

Memang, sikap simpatik dan tutur kata Aditya, mengingatkanku pada Hermawan. Hermawan adalah cinta pertamaku sejak SMA dulu. Kesanku bersama dengan Hermawan sangat sulit aku lupakan. Rasanya sangat sulit bagiku untuk mencari pengganti dirinya. Hermawan  jebolan Teknik elektro USU Medan dan dia menjabat sebagai manager operasional PT. BANGUN CIPTA MAKMUR Cabang Medan. Hermawan itu dulu selalu memperlakukan aku dengan hati-hati. Dia selalu memanjakanku, menuruti semua kemauanku, membimbingku dan sangat memperhatikan keadaanku. Kami telah sepakat setamat aku dari SMA dulu, kami akan menikah. Tetapi menjelang detik-detik pernikahan kami, peristiwa tragis menimpa Hermawan. Hermawan tewas dalam kecelakaan mobil di jalan tol Belmera Medan. Peristiwa itu menghancurkan semua impianku. Sampai kini aku sulit melupakan peristiwa tersebut dan aku sangat berharap Hermawan dapat hidup kembali mendampingiku.

Sesaat kemudian aku sadar. Aku tak boleh bersikap melankolis dan membeberkan masalah masa laluku ini, walau terhadap Aditya sekalipun. Biarlah masalah itu menjadi rahasia pribadiku dan tak seorangpun boleh tau akan hal itu. Aku tak ingin membuat Aditya menjadi bayang-bayang personifikasi Hermawan. Aditya tidak boleh tau itu, nanti dia menjadi tersinggung. Aku berusaha untuk mengembangkan senyumku dan menatap mata Aditya, sembari menerima kertas tissu pemberian Aditya untuk menyeka airmata yang membasahi pipiku.

“Terima kasih Aditya. Maaf, aku sedikit melankolis dan terharu menyambut perkataanmu tadi Aditya.”

“Saya maklum kok, Ana. Setiap manusia tentu selalu punya masalah pribadi dan kadangkala masalah itu terus menjadi beban dan membelenggu. Sehingga di saat-saat tertentu, jika ada yang mengungkit atau menyentuh masalah tersebut, maka perasaan kita  menjadi sangat sensitif. Tanpa kita sadari, air mata kita pun langsung mengalir sebagai ungkapan jiwa kita yang sedang mengalami goncangan.”

Akupun menjadi tertarik juga untuk tau melepas kesedihan hati ini.

“Jika benar pendapatmu, Dit. Lantas untuk melepaskan diri dari masalah tersebut, bagaimana kita harus bersikap?” 

               Adityapun melanjutkan penjelasannya. “Jalan keluar untuk membebaskan diri dari tekanan psikis tersebut, kita harus dapat menerima realita secara ikhlas atas apa yang terjadi atau yang akan terjadi.”

Aku mengernyitkan keningku. “Kita harus siap menerima secara ikhlas terhadap suatu kejadian atau sesuatu yang akan terjadi menimpa kita! Itu kan sangat sulit dan berat, Dit?”

Aditya memahami kesulitanku, lalu dia lanjutkan paparannya. “Ya, memang sih sangat sulit dan berat, Ana. Karena setiap kejadian telah direncanakan oleh Allah dan mungkin Allah pun punya maksud lain dengan kejadian tersebut terhadap kita. Tapi yakinlah Allah tidak akan memberi cobaan pada seseorang diluar kemampuan orang tersebut. Oleh karena itu, kita harus berusaha, agar diri kita tidak terbebani dan hanyut  dalam penghayatan keresahan dan ketidakrelaan. Waktu kitapun habis hanya disibukkan oleh keresahan yang tidak merubah keadaan menjadi seperti sedia kala.”

 “Oh, Lantas?”

“Waktu sangat berharga, Ana. Makanya jangan biarkan jiwa dan raga kita hanyut dalam mimpi dan berharap ada keajaiban atau mengharapkan datangnya dewa penolong untuk mengeluarkan kita dari masalah. Yang jelas, diri kita sendirilah yang dapat menolong kita. Ingat jangan biarkan masalah yang terpendam itu menjadi borok dalam hati dan menghancurkan kita secara perlahan-lahan. Cara mengatasinya, kita harus berani mengambil keputusan menentukan sikap maupun perbuatan sesegera mungkin. Jika kita telah dapat menerima realita secara ikhlas, maka tentu akan terbuka pikiran untuk mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah yang timbul. Begitu juga, ketika kita dalam proses belajar, masalah tekanan psikis yang selalu menjadi pengganggu tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu, Ana…”  

               Aku menjadi begitu terpana dengar tuturan Aditya yang cukup jelas dan riil. Pertemuanku dengan Aditya memang membawa keberuntungan ganda bagiku. Selama ini untuk mengatasi rasa sedihku selalu kuselesaikan dengan cara mencari kompensasi. Namun apa yang aku lakukan itu sifatnya hanya mampu melepaskan diriku dari himpitan masalah sesaat saja. Kali ini aku benar-benar menyadari dan terbimbing untuk mendapatkan problem solving atas masalah pribadiku plus bahan paperku secara komplit dari Aditya. Semakin kagum diriku terhadap luasnya wawasan Aditya, membuat hatiku benar-benar terpana dibuatnya.

               “Terima kasih banyak ya, Aditya atas bantuanmu. Aku benar-benar sangat terbantu oleh pandangan-pandanganmu tadi. Tugasku pun menjadi semakin ringan dan mudah untuk aku selesaikan nanti,” ujarku, sembari menyodorkan tangan untuk mengucapkan terima kasih.

               “Sama-sama Ana. Toh, sudah kewajiban kita untuk saling membantu, bukan? Mungkin lain waktu, giliranku mohon bantuan dari dirimu,” jawab Aditya, sambil menjabat tanganku erat-erat. Aditya tidak ingin melepaskan pandangannya dari wajahku. Seolah-olah dirinya tidak ingin berpisah lagi denganku. Kamipun saling pandang dan saling senyum.

               Kemudian, akupun melontarkan pertanyaan padanya, “Tapi kamu tidak keberatan kan Dit, jika sewaktu-waktu aku membutuhkan bantuanmu lagi?”  Lalu aku meringkas buku-buku yang hendak aku pinjam dari Perpustakaan Kampus.

               “Oh tentu, Ana. Aku siap dan senang dapat menjadi teman diskusimu. Oke, nanti kita ketemu lagi ya,” janji Aditya, begitu dilihatnya aku meringkas buku-buku yang hendak kupinjam. Diapun memahami kalau aku hendak mengikuti perkuliahan berikutnya.         Sementara itu, hatiku berdegup, berbunga-bunga menyambut pernyataan janji Aditya itu. Apalagi sorot mata Aditya itu emh, emh, emh… tersirat menyatakan sesuatu loh! So pasti, aku tidak akan menolak untuk bertemu kembali dengan Aditya. Memang itu yang sangat aku harapkan. Akhirnya, kami bersama-sama keluar dari perpustakaan menuju kelas masing-masing untuk mengikuti perkuliahan. Sebelum berpisah, sesaat kami saling pandang kembali dan saling tersenyum.   

               “Eh, jangan Grrr gitulah kamu, Ana! Belum tentu Aditya itu tertarik pada dirimu. Toh, wajar kan dia menunjukkan sikap penuh perhatian. Aku yakin kepada setiap orang dia akan berlaku sama. Kalau nggak begitu, bukan aktivis namanya,” komentar Ratna sinis.

               “Eh, kamu kok sirik begitu Ratna? Dari tadi nada bicaramu sinis terus, atau kamu cemburu kali, aku dekat dengan Aditya?”

               “Mengapa aku harus cemburu padamu? Aku hanya kasihan saja sama kamu. Nanti kamu patah hati lagi dibuat Aditya. Aditya itu beda banget dengan Andrew atau Gilang. Aditya itu milik publiknya kampus USU, loh!” balas Ratna, sembari memonyongkan bibirnya.

               “Tidaklahyaouuu… Coba lihat saja nanti. Ana gitu loh,” sahutku, sembari berkacak pinggang dan memicingkan mataku, menggoda Ratna. Aku tau Ratna begitu kesal, jika aku berbicara soal cowok karena dia masih menjomblo terus. Padahal paras Ratna cukup cantik, namun hanya badannya saja yang bongsor.

               “Huuu…! Entar kamu kena batunya, baru kamu rasa,” dengus Ratna, sambil membalikkan badannya dan mengambil kembali novelnya.

               Belum lama Ratna berkata, tiba-tiba di depan pintu kamar pemondokanku muncul induk semangku, sembari menyeletuk.

               “ He… Ana, jangan kamu lupa temui cucuku di Medan Plaza ya!” 

               “Ya, Amang…kalau aku sempat nanti,” jawabku singkat. Tanpa menoleh, aku langsung menghidupkan komputer untuk memulai mengerjakan tugasku.  Dalam hati, aku menggerutu juga melihat sikap induk semangku itu. Emangnya sekarang masih zaman Siti Nurbaya, kaum tua selalu memaksakan kehendaknya tanpa mau tau gejolak perasaan yang muda.

               “Apa kamu bilang, kalau kamu sempat nanti? Jangan begitu kamu Ana. Cucuku kurang apa lagi dia? Bukankah dia sudah sangat baik padamu? Dia itu sangat pantas menjadi pendampingmu, tau!”hardik induk semangku.

               Dengan terpaksa aku menoleh menatap induk semangku yang berdiri di depan pintu kamar pemondokanku. Aku berusaha tersenyum dan membujuknya, agar dia mau mengerti dan tidak memaksakan kehendaknya semata. “Bukan begitu maksudku Amang. Aku banyak pekerjaan. Hari ini aku harus menyelesaikan tugas membuat paper. Paper ini harus  aku serahkan besok pagi Amang. Kalau tidak, alamatlah mata kuliah psikologiku gagal, Amang. Itu kan berarti, aku menyia-nyiakan waktuku Amang.  Amang tentu tidak ingin melihat aku gagal kuliah kan?”

               “Ah, jangan banyak alasanlah kamu. Aku tak mau tau, yang penting kamu senangkanlah hati cucuku itu,” gerutu induk semangku, sembari mengibaskan tangannya. Diapun cepat berbalik, lalu cepat-cepat dia meninggalkanku.

 Aku terdiam dan tersenyum kecut melihat reaksi negatif induk semangku itu. Rasanya sia-sia saja aku menjelaskan pada induk semangku ini. Dia terlalu egois sama percis, seperti cucunya itu. Tak mau menghargai orang lain. Emangnya aku ini cewek apaan. Huuu enaknya saja dia main perintah. Rada harus dituruti segala perintahnya lagi. Tak usah yeee…

               “Rasain kamu, Ana. Baru kamu tau rasa, bukan? Jangan macam-macam lagi lah kamu. Kamu itu seperti sudah diikatnya, ibaratnya kamu itu sudah seperti kerbau dicucuk hidungnya, tau…” ejek Ratna, sembari ketawa kecekikikan melihat aku menjadi keki dibuat induk semangku. Lanjutnya, “ Salah dirimu sendiri sih… Memberi peluang sama si Andrew itu.”

               “Sompret kamu…! Emangnya aku pikiri!!!”lengusku. Kemudian aku pun menyibukkan diri untuk mempersiapkan paperku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status