Memang, sikap simpatik dan tutur kata Aditya, mengingatkanku pada Hermawan. Hermawan adalah cinta pertamaku sejak SMA dulu. Kesanku bersama dengan Hermawan sangat sulit aku lupakan. Rasanya sangat sulit bagiku untuk mencari pengganti dirinya. Hermawan jebolan Teknik elektro USU Medan dan dia menjabat sebagai manager operasional PT. BANGUN CIPTA MAKMUR Cabang Medan. Hermawan itu dulu selalu memperlakukan aku dengan hati-hati. Dia selalu memanjakanku, menuruti semua kemauanku, membimbingku dan sangat memperhatikan keadaanku. Kami telah sepakat setamat aku dari SMA dulu, kami akan menikah. Tetapi menjelang detik-detik pernikahan kami, peristiwa tragis menimpa Hermawan. Hermawan tewas dalam kecelakaan mobil di jalan tol Belmera Medan. Peristiwa itu menghancurkan semua impianku. Sampai kini aku sulit melupakan peristiwa tersebut dan aku sangat berharap Hermawan dapat hidup kembali mendampingiku.
Sesaat kemudian aku sadar. Aku tak boleh bersikap melankolis dan membeberkan masalah masa laluku ini, walau terhadap Aditya sekalipun. Biarlah masalah itu menjadi rahasia pribadiku dan tak seorangpun boleh tau akan hal itu. Aku tak ingin membuat Aditya menjadi bayang-bayang personifikasi Hermawan. Aditya tidak boleh tau itu, nanti dia menjadi tersinggung. Aku berusaha untuk mengembangkan senyumku dan menatap mata Aditya, sembari menerima kertas tissu pemberian Aditya untuk menyeka airmata yang membasahi pipiku.
“Terima kasih Aditya. Maaf, aku sedikit melankolis dan terharu menyambut perkataanmu tadi Aditya.”
“Saya maklum kok, Ana. Setiap manusia tentu selalu punya masalah pribadi dan kadangkala masalah itu terus menjadi beban dan membelenggu. Sehingga di saat-saat tertentu, jika ada yang mengungkit atau menyentuh masalah tersebut, maka perasaan kita menjadi sangat sensitif. Tanpa kita sadari, air mata kita pun langsung mengalir sebagai ungkapan jiwa kita yang sedang mengalami goncangan.”
Akupun menjadi tertarik juga untuk tau melepas kesedihan hati ini.
“Jika benar pendapatmu, Dit. Lantas untuk melepaskan diri dari masalah tersebut, bagaimana kita harus bersikap?”
Adityapun melanjutkan penjelasannya. “Jalan keluar untuk membebaskan diri dari tekanan psikis tersebut, kita harus dapat menerima realita secara ikhlas atas apa yang terjadi atau yang akan terjadi.”
Aku mengernyitkan keningku. “Kita harus siap menerima secara ikhlas terhadap suatu kejadian atau sesuatu yang akan terjadi menimpa kita! Itu kan sangat sulit dan berat, Dit?”
Aditya memahami kesulitanku, lalu dia lanjutkan paparannya. “Ya, memang sih sangat sulit dan berat, Ana. Karena setiap kejadian telah direncanakan oleh Allah dan mungkin Allah pun punya maksud lain dengan kejadian tersebut terhadap kita. Tapi yakinlah Allah tidak akan memberi cobaan pada seseorang diluar kemampuan orang tersebut. Oleh karena itu, kita harus berusaha, agar diri kita tidak terbebani dan hanyut dalam penghayatan keresahan dan ketidakrelaan. Waktu kitapun habis hanya disibukkan oleh keresahan yang tidak merubah keadaan menjadi seperti sedia kala.”
“Oh, Lantas?”
“Waktu sangat berharga, Ana. Makanya jangan biarkan jiwa dan raga kita hanyut dalam mimpi dan berharap ada keajaiban atau mengharapkan datangnya dewa penolong untuk mengeluarkan kita dari masalah. Yang jelas, diri kita sendirilah yang dapat menolong kita. Ingat jangan biarkan masalah yang terpendam itu menjadi borok dalam hati dan menghancurkan kita secara perlahan-lahan. Cara mengatasinya, kita harus berani mengambil keputusan menentukan sikap maupun perbuatan sesegera mungkin. Jika kita telah dapat menerima realita secara ikhlas, maka tentu akan terbuka pikiran untuk mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah yang timbul. Begitu juga, ketika kita dalam proses belajar, masalah tekanan psikis yang selalu menjadi pengganggu tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu, Ana…”
Aku menjadi begitu terpana dengar tuturan Aditya yang cukup jelas dan riil. Pertemuanku dengan Aditya memang membawa keberuntungan ganda bagiku. Selama ini untuk mengatasi rasa sedihku selalu kuselesaikan dengan cara mencari kompensasi. Namun apa yang aku lakukan itu sifatnya hanya mampu melepaskan diriku dari himpitan masalah sesaat saja. Kali ini aku benar-benar menyadari dan terbimbing untuk mendapatkan problem solving atas masalah pribadiku plus bahan paperku secara komplit dari Aditya. Semakin kagum diriku terhadap luasnya wawasan Aditya, membuat hatiku benar-benar terpana dibuatnya.
“Terima kasih banyak ya, Aditya atas bantuanmu. Aku benar-benar sangat terbantu oleh pandangan-pandanganmu tadi. Tugasku pun menjadi semakin ringan dan mudah untuk aku selesaikan nanti,” ujarku, sembari menyodorkan tangan untuk mengucapkan terima kasih.
“Sama-sama Ana. Toh, sudah kewajiban kita untuk saling membantu, bukan? Mungkin lain waktu, giliranku mohon bantuan dari dirimu,” jawab Aditya, sambil menjabat tanganku erat-erat. Aditya tidak ingin melepaskan pandangannya dari wajahku. Seolah-olah dirinya tidak ingin berpisah lagi denganku. Kamipun saling pandang dan saling senyum.
Kemudian, akupun melontarkan pertanyaan padanya, “Tapi kamu tidak keberatan kan Dit, jika sewaktu-waktu aku membutuhkan bantuanmu lagi?” Lalu aku meringkas buku-buku yang hendak aku pinjam dari Perpustakaan Kampus.
“Oh tentu, Ana. Aku siap dan senang dapat menjadi teman diskusimu. Oke, nanti kita ketemu lagi ya,” janji Aditya, begitu dilihatnya aku meringkas buku-buku yang hendak kupinjam. Diapun memahami kalau aku hendak mengikuti perkuliahan berikutnya. Sementara itu, hatiku berdegup, berbunga-bunga menyambut pernyataan janji Aditya itu. Apalagi sorot mata Aditya itu emh, emh, emh… tersirat menyatakan sesuatu loh! So pasti, aku tidak akan menolak untuk bertemu kembali dengan Aditya. Memang itu yang sangat aku harapkan. Akhirnya, kami bersama-sama keluar dari perpustakaan menuju kelas masing-masing untuk mengikuti perkuliahan. Sebelum berpisah, sesaat kami saling pandang kembali dan saling tersenyum.
“Eh, jangan Grrr gitulah kamu, Ana! Belum tentu Aditya itu tertarik pada dirimu. Toh, wajar kan dia menunjukkan sikap penuh perhatian. Aku yakin kepada setiap orang dia akan berlaku sama. Kalau nggak begitu, bukan aktivis namanya,” komentar Ratna sinis.
“Eh, kamu kok sirik begitu Ratna? Dari tadi nada bicaramu sinis terus, atau kamu cemburu kali, aku dekat dengan Aditya?”
“Mengapa aku harus cemburu padamu? Aku hanya kasihan saja sama kamu. Nanti kamu patah hati lagi dibuat Aditya. Aditya itu beda banget dengan Andrew atau Gilang. Aditya itu milik publiknya kampus USU, loh!” balas Ratna, sembari memonyongkan bibirnya.
“Tidaklahyaouuu… Coba lihat saja nanti. Ana gitu loh,” sahutku, sembari berkacak pinggang dan memicingkan mataku, menggoda Ratna. Aku tau Ratna begitu kesal, jika aku berbicara soal cowok karena dia masih menjomblo terus. Padahal paras Ratna cukup cantik, namun hanya badannya saja yang bongsor.
“Huuu…! Entar kamu kena batunya, baru kamu rasa,” dengus Ratna, sambil membalikkan badannya dan mengambil kembali novelnya.
Belum lama Ratna berkata, tiba-tiba di depan pintu kamar pemondokanku muncul induk semangku, sembari menyeletuk.
“ He… Ana, jangan kamu lupa temui cucuku di Medan Plaza ya!”
“Ya, Amang…kalau aku sempat nanti,” jawabku singkat. Tanpa menoleh, aku langsung menghidupkan komputer untuk memulai mengerjakan tugasku. Dalam hati, aku menggerutu juga melihat sikap induk semangku itu. Emangnya sekarang masih zaman Siti Nurbaya, kaum tua selalu memaksakan kehendaknya tanpa mau tau gejolak perasaan yang muda.
“Apa kamu bilang, kalau kamu sempat nanti? Jangan begitu kamu Ana. Cucuku kurang apa lagi dia? Bukankah dia sudah sangat baik padamu? Dia itu sangat pantas menjadi pendampingmu, tau!”hardik induk semangku.
Dengan terpaksa aku menoleh menatap induk semangku yang berdiri di depan pintu kamar pemondokanku. Aku berusaha tersenyum dan membujuknya, agar dia mau mengerti dan tidak memaksakan kehendaknya semata. “Bukan begitu maksudku Amang. Aku banyak pekerjaan. Hari ini aku harus menyelesaikan tugas membuat paper. Paper ini harus aku serahkan besok pagi Amang. Kalau tidak, alamatlah mata kuliah psikologiku gagal, Amang. Itu kan berarti, aku menyia-nyiakan waktuku Amang. Amang tentu tidak ingin melihat aku gagal kuliah kan?”
“Ah, jangan banyak alasanlah kamu. Aku tak mau tau, yang penting kamu senangkanlah hati cucuku itu,” gerutu induk semangku, sembari mengibaskan tangannya. Diapun cepat berbalik, lalu cepat-cepat dia meninggalkanku.
Aku terdiam dan tersenyum kecut melihat reaksi negatif induk semangku itu. Rasanya sia-sia saja aku menjelaskan pada induk semangku ini. Dia terlalu egois sama percis, seperti cucunya itu. Tak mau menghargai orang lain. Emangnya aku ini cewek apaan. Huuu enaknya saja dia main perintah. Rada harus dituruti segala perintahnya lagi. Tak usah yeee…
“Rasain kamu, Ana. Baru kamu tau rasa, bukan? Jangan macam-macam lagi lah kamu. Kamu itu seperti sudah diikatnya, ibaratnya kamu itu sudah seperti kerbau dicucuk hidungnya, tau…” ejek Ratna, sembari ketawa kecekikikan melihat aku menjadi keki dibuat induk semangku. Lanjutnya, “ Salah dirimu sendiri sih… Memberi peluang sama si Andrew itu.”
“Sompret kamu…! Emangnya aku pikiri!!!”lengusku. Kemudian aku pun menyibukkan diri untuk mempersiapkan paperku.
Sementara itu, Andrew begitu kesal. Dia begitu gelisah, wajahnyapun menjadi berkerut masam. Sudah terlalu lama ia menanti di Coffe Shop Medan Plaza, namun orang yang dinanti-nanti tidak kunjung datang. Demi mengharap untuk dapat berduaan dengan diriku, dia sengaja membolos kuliah. Padahal, kuliahnya hampir rampung di jurusan Landscape UDA Medan itu. Kemudian dia coba menghubungi Hpku, namun ternyata Hpku tidak aktif. Memang aku sengaja aku matikan Hpku. Hal ini membuat dirinya semakin kesal.Apa maksud diriku, mengabaikan dirinya, gerutu Andrew. Andrew semakin sewot, ketika dia melihat di kanan-kirinya muda-mudi berpasangan asyik memadu kasih. Memang lokasi Coffe Shop Medan Plaza dikenal sebagai tempat kencan kawula muda Medan.Di sela-sela kekesalan Andrew, terpikirkan juga olehnya untuk menghubungi sahabatnya, Anton. Anton ini, sahabatnya yang selalu dia minta untuk mengawasi tingkah laku diriku di Kampus. Kebetulan Si Anton ini satu letting denganku di jurusan Psiko
Beberapa hari kemudian, baru saja aku mengijakkan kaki di depan pintu gerbang kampusku sudah ada yang berteriak memanggilku, mereka setengah mencemaskanku. Setengah berlari Widya dan Cinthya menghampiriku. Ternyata, mereka sudah lama menunggu kehadiranku. Demi ingin menemuiku, mereka bersedia datang lebih pagi dari biasanya.“Hai Ana… lama amat sih kamu datangnya. Aku dan Cinthya sudah tak sabar menungggumu dari tadi. Demi kamu, kami rela berdiri hampir satu jam di bawah pohon Akasia itu,” ujar Widya sesampainya dia di sisiku.“Iya Ana, sebel deh menunggumu. Pekerjaan menunggu itu paling tidak mengenakkan, menyebalkan tau…!” timpal Cinthya.“Eh, kalian saja yang datangnya kepagian kali. Emangnya ada apa yang membuat kalian rela menjadi satpam kampus begitu, hah?” sambutku bercanda.Widya maupun Cinthya tidak hiraukan gurauanku. Mereka serius ingin menyampaikan kabar buruk padaku.“Gawat, Na! K
“Apa kan yang aku bilang Ana? Mereka begitu penasaran padamu,” ujar Widya dengan nada kecut.“Iya Na… mereka bukan main-main,” bisik Cinthya.“Sudahlah kamu tenang saja, Wid…Cinthya… Akan aku hadapi mereka apapun maunya,” sahutku ringan.“Hai, perempuan gatal aku peringatkan padamu ya. Jangan coba-coba kamu merayu Aditya, ngerti!!!” hardik Dea, sembari menjatuhkan telunjuknya ke depan keningku.Melihat sikap pongah Dea dkk, membuat darahku mendidih juga. Langsung saja aku tepis tangan Dea yang hampir menyentuh keningku itu. Aku sebenarnya tak sudi dihina sedemikian rupa. Jika aku tidak mampu mengontrol emosiku, jadi apa bedanya aku dengan Dea ini. Maka aku segera berdiri dan bersikap setenang mungkin menghadapi perilaku tidak bersahabat Dea, Anggi dan Donna.“Eh, kalau ada masalah bicara dengan baik-baik secara elegan dan terhormat. Bukan begini caranya! Kalau orang lihat, s
Bayang-bayang keindahan yang aku raih bersama Hermawan seolah-olah kembali berada di pelupuk mata. Saat itu seperti biasanya pada hari Sabtu, Hermawan ditemani Harley Davidsonnya selalu menantiku sepulang sekolah di persimpangan jalan Kartini dan Teuku Cik Ditiro, tak jauh dari sekolahku SMA1. Kebetulan juga, setiap hari Sabtu Hermawan memang libur kerja, sehingga waktu luang tersebut selalu dipergunakan untuk menjemputku.Perkenalanku pun dengan Hermawan bermula oleh faktor kebetulan juga. Saat itu, aku berusia 16 tahun lebih dan duduk di kelas II SMA 1 dan tepatnya pada tahun 1999. Kebetulan saat itu, Hermawan lagi kebingungan di tepi jalan, tepatnya di persimpangan jalan yang sama saat dia rutinitas menungguku. Dia kebingungan menanti dengan harap-harap cemas. Dia menanti adiknya Viola dan kebetulan juga, viola ini temanku sekelas. Saat itu, Viola sudah pergi terlebih dahulu bersama Hendri, pacarnya dengan mencoba mengendarai mobil barunya, mobil Cadilac. Mereka pergi dala
Hermawan masih menyumbar senyumnya, sembari menanyakan kembali kesediaanku. “ Bagaimana Ana?”Aku pun membalas senyuman Hermawan, sembari menganggukkan kepala, setuju atas tawaran yang dia berikan padaku. Hermawan pun langsung menyalakan motor Harley Davidsonnya dan menyerahkan helm padaku. Aku pun tanpa canggung lagi langsung naik di boncengan Harley Davidsonnya Hermawan. Rasanya nyaman sekali duduk di boncengan motor gede ini.Semenjak hari Sabtu itu, maka secara rutin Hermawan menjemputku. Hari-hariku pun aku lalui dengan keceriaan selalu. Hubunganku dengan Hermawan semakin dalam, apalagi mendapat dukungan dari sahabatku sekelas, Viola. Begitu juga, keluarga Hermawan sangat baik padaku. Mereka tidak menghalangi hubunganku dengan Hermawan. Bahkan mereka semua sangat merestui hubunganku dengan Hermawan.Begitu juga, bibiku sangat senang sekali tau aku menjalin hubungan dengan Hermawan yang notabene adalah atasannya di kantor. Bibikulah yang me
“Aku mengerti kekuatiran kalian. Tetapi biarkan saja Gilang ikut. Aku jamin dia tidak berani macam-macam nantinya. Keinginannya untuk ikut serta ini tentu karena didorong kesertaanku juga…Yakinlah Gilang itu sangat menyeganiku,” paparku meyakinkan teman-temanku.“Tapi…,” seru Anjar.“Sudahlah jangan pakai tapi lagi, Anjar… Ingat, jika Gilang tidak kita ikut sertakan, maka bisa saja dia akan menyulitkan pekerjaan ortu kita nantinya. Nah, kita kan menjadi serba salah. Kita tidak punya pilihan, bukan? Oleh karena itu, serahkan semua urusan padaku,” potongku. Aku mengerti Anjar mengkuatirkanku akan diperdaya oleh Gilang. “Yakinlah aku bisa jaga diri kok.”Akhirnya teman-temanku dapat menerima keputusanku, walaupun di hati kecil mereka timbul perasaan was-was. Demi menyenangkan diriku mereka tidak membantahku lagi. Begitu juga, kami tidak menolak tawaran Gilang untuk mempergunakan mobil milikn
Gilang langsung bereaksi menahan langkahku. Entah dia tau atau tidak kalau aku sebenarnya sedang bercanda. “Bukan begitu maksudku Na. Please…! Oke, aku akui aku salah…Aku minta maaf!”“Huuu…” sahutku. Senang juga hatiku dapat mempermainkan Gilang.“Ana maukan kamu berbaikan denganku?”“Oke, aku terima maafmu, tetapi dengan syarat!”“Baik Ana, apapun syarat yang kamu ajukan akan kupenuhi… Tapi jangan yang berat-berat ya…” Gilang melucu.Aku tak kuasa menahan geli mendengar suara Gilang dan mimik wajahnya memelas minta belas kasihan, sehingga aku tertawa. Tak pelak lagi aku menutupi mulutku untuk menahan rasa geliku itu. Memang konyol juga, Gilang ini.“Oke…, oke…, syaratnya kamu tidak boleh macam-macam padaku. Jangan samakan aku dengan gadis-gadis yang telah kamu takhlukkan. Kamu harus dapat menghormatiku. Kalau tidak, aku
“Selamat ya Ana! Kamu lulus menjadi mahasiswi Psikologi USU,” ujarnya, sembari langsung mencengkram jari-jemari tanganku.“Ah masa Gie… Kamu jangan bercanda, ah… nggak lucu tau,” sergahku, sembari cemberut.“Eh, lihat ini nomor 10142 dan namamu Mardiana tertera dengan jelas, berikut jurusannya PSIKOLOGI di lembar pengumuman di koran Kompas ini,” tukas Gilang, sembari mempertunjukkan lembar pengumuman padaku.“Tapi di lembar pengumuman resmi yang dikeluarkan Panitia Seleksi USU ini, namaku tidak tercantum Gie…”“Coba diselusuri namamu sekali lagi dengan teliti,” suruh Gilang. “Ya, terang saja kamu tidak menemukan namamu, pengumuman ini cacat. Bagian yang menerangkan namamu tidak tertera dengan jelas begini. Tapi yang jelas kamu lulus Ana, lihat nomor seleksimu 10142 masih bisa terbaca.”“Oh, syukurlah Gie. Aku tadi sempat frustrasi.&r