Bayang-bayang keindahan yang aku raih bersama Hermawan seolah-olah kembali berada di pelupuk mata. Saat itu seperti biasanya pada hari Sabtu, Hermawan ditemani Harley Davidsonnya selalu menantiku sepulang sekolah di persimpangan jalan Kartini dan Teuku Cik Ditiro, tak jauh dari sekolahku SMA1. Kebetulan juga, setiap hari Sabtu Hermawan memang libur kerja, sehingga waktu luang tersebut selalu dipergunakan untuk menjemputku.
Perkenalanku pun dengan Hermawan bermula oleh faktor kebetulan juga. Saat itu, aku berusia 16 tahun lebih dan duduk di kelas II SMA 1 dan tepatnya pada tahun 1999. Kebetulan saat itu, Hermawan lagi kebingungan di tepi jalan, tepatnya di persimpangan jalan yang sama saat dia rutinitas menungguku. Dia kebingungan menanti dengan harap-harap cemas. Dia menanti adiknya Viola dan kebetulan juga, viola ini temanku sekelas. Saat itu, Viola sudah pergi terlebih dahulu bersama Hendri, pacarnya dengan mencoba mengendarai mobil barunya, mobil Cadilac. Mereka pergi dala
Hermawan masih menyumbar senyumnya, sembari menanyakan kembali kesediaanku. “ Bagaimana Ana?”Aku pun membalas senyuman Hermawan, sembari menganggukkan kepala, setuju atas tawaran yang dia berikan padaku. Hermawan pun langsung menyalakan motor Harley Davidsonnya dan menyerahkan helm padaku. Aku pun tanpa canggung lagi langsung naik di boncengan Harley Davidsonnya Hermawan. Rasanya nyaman sekali duduk di boncengan motor gede ini.Semenjak hari Sabtu itu, maka secara rutin Hermawan menjemputku. Hari-hariku pun aku lalui dengan keceriaan selalu. Hubunganku dengan Hermawan semakin dalam, apalagi mendapat dukungan dari sahabatku sekelas, Viola. Begitu juga, keluarga Hermawan sangat baik padaku. Mereka tidak menghalangi hubunganku dengan Hermawan. Bahkan mereka semua sangat merestui hubunganku dengan Hermawan.Begitu juga, bibiku sangat senang sekali tau aku menjalin hubungan dengan Hermawan yang notabene adalah atasannya di kantor. Bibikulah yang me
“Aku mengerti kekuatiran kalian. Tetapi biarkan saja Gilang ikut. Aku jamin dia tidak berani macam-macam nantinya. Keinginannya untuk ikut serta ini tentu karena didorong kesertaanku juga…Yakinlah Gilang itu sangat menyeganiku,” paparku meyakinkan teman-temanku.“Tapi…,” seru Anjar.“Sudahlah jangan pakai tapi lagi, Anjar… Ingat, jika Gilang tidak kita ikut sertakan, maka bisa saja dia akan menyulitkan pekerjaan ortu kita nantinya. Nah, kita kan menjadi serba salah. Kita tidak punya pilihan, bukan? Oleh karena itu, serahkan semua urusan padaku,” potongku. Aku mengerti Anjar mengkuatirkanku akan diperdaya oleh Gilang. “Yakinlah aku bisa jaga diri kok.”Akhirnya teman-temanku dapat menerima keputusanku, walaupun di hati kecil mereka timbul perasaan was-was. Demi menyenangkan diriku mereka tidak membantahku lagi. Begitu juga, kami tidak menolak tawaran Gilang untuk mempergunakan mobil milikn
Gilang langsung bereaksi menahan langkahku. Entah dia tau atau tidak kalau aku sebenarnya sedang bercanda. “Bukan begitu maksudku Na. Please…! Oke, aku akui aku salah…Aku minta maaf!”“Huuu…” sahutku. Senang juga hatiku dapat mempermainkan Gilang.“Ana maukan kamu berbaikan denganku?”“Oke, aku terima maafmu, tetapi dengan syarat!”“Baik Ana, apapun syarat yang kamu ajukan akan kupenuhi… Tapi jangan yang berat-berat ya…” Gilang melucu.Aku tak kuasa menahan geli mendengar suara Gilang dan mimik wajahnya memelas minta belas kasihan, sehingga aku tertawa. Tak pelak lagi aku menutupi mulutku untuk menahan rasa geliku itu. Memang konyol juga, Gilang ini.“Oke…, oke…, syaratnya kamu tidak boleh macam-macam padaku. Jangan samakan aku dengan gadis-gadis yang telah kamu takhlukkan. Kamu harus dapat menghormatiku. Kalau tidak, aku
“Selamat ya Ana! Kamu lulus menjadi mahasiswi Psikologi USU,” ujarnya, sembari langsung mencengkram jari-jemari tanganku.“Ah masa Gie… Kamu jangan bercanda, ah… nggak lucu tau,” sergahku, sembari cemberut.“Eh, lihat ini nomor 10142 dan namamu Mardiana tertera dengan jelas, berikut jurusannya PSIKOLOGI di lembar pengumuman di koran Kompas ini,” tukas Gilang, sembari mempertunjukkan lembar pengumuman padaku.“Tapi di lembar pengumuman resmi yang dikeluarkan Panitia Seleksi USU ini, namaku tidak tercantum Gie…”“Coba diselusuri namamu sekali lagi dengan teliti,” suruh Gilang. “Ya, terang saja kamu tidak menemukan namamu, pengumuman ini cacat. Bagian yang menerangkan namamu tidak tertera dengan jelas begini. Tapi yang jelas kamu lulus Ana, lihat nomor seleksimu 10142 masih bisa terbaca.”“Oh, syukurlah Gie. Aku tadi sempat frustrasi.&r
Sementara itu di tempat pemondokanku. Pada saat aku sedang bete, maka aku menyibukkan diri dengan membantu Amang boru, induk semangku berberes-beres di dapur. Karena begitu seringnya aku membantu dirinya, sehingga dia sangat menyukai dan menyayangiku. Hal yang tidak aku duga, di saat kami bercanda dia langsung menyodorkan tawaran untuk menjodohkan cucunya dengan diriku.“Ana, sebelum aku mati. Tentu aku akan sangat bahagia sekali, jika dapat melihat dirimu menjadi isteri cucuku yang aku sayangi.”Aku menganggap ucapan induk semangku itu hanya sekedar bercanda, maka akupun menjawabnya secara bercanda juga. “Boleh juga itu Amang boru, kebetulan akupun lagi jomblo ini.”“Apa kamu bilang? Jomblo? Apa pula itu jomblo, aku tidak mengerti apa yang kamu maksud itu, Ana?” tegur induk semangku, sembari mengernyitkan dahi yang memang sudah keriput itu. Dia menjadi penasaran mendengar istilah anak muda zaman sekarang.&
“Hai Rat, tumben kamu pulang kemalaman nih? Habis jalan ya, pedekate dengan Freddy?” godaku, sembari mencubit pinggangnya, saat aku membukakan pintu kamar pemondokan untuknya.“Ya, iyalah… Macam kamu tidak mengerti saja Na. Mumpung masih muda, sekali tiga pulau harus dapat kita lalui, ya-nggak Na? Jangan buku melulu, entar udah tua baru nyesal,” sahut Ratna, sembari bercanda. Lalu Ratna meletakkan buku-bukunya di atas meja belajarnya.“Ya, iyalah… kamu yang bahagia. Tapi aku,” ucapku, sembari menutup daun pintu kamarku.“Eh, emangnya ada apa denganmu Na?” selidik Ratna begitu dengar nada bicaraku agak menurun.“Kamu tau nggak, aku tadi sebel banget dibuat oleh Amangboru.”“Emangnya kenapa?”“ Itu tadi siang, Amang boru kenalkan aku dengan cucunya itu, si Andrew.”“Asyik dong, diperkenalkan dengan calon suami.”“As
Sementara itu, Andrew sudah merasa besar kepala. Dengan sikap royal terhadap semua anak-anak kost, dia menganggap anak-anak kost telah dapat dipengaruhinya dan berpihak padanya. Begitu juga, sikap induk semangku yang sangat memanjakan dan selalu mendukung sikap dan keinginan cucunya itu membuat anak-anak kost rada segan juga padanya. Toh, mereka merasa Andrew itu tidak merugikan mereka, malah membuat mereka menjadi senang dengan kemurahannya itu. Sehingga mereka memberi dukungan pada Andrew untuk mendekatiku. Apalagi mereka tau Andrew telah menghujani diriku dengan berbagai macam hadiah.Ada beberapa anak kost yang suka mencari muka pada Andrew dan selalu menjadi spionnya. Mereka selalu mematai-matai setiap gerak-gerikku di kampus, sehingga tidak heran, kapan aku ke kamar kecilpun Si Andrew jadi mengetahuinya. Apalagi aku ketemu dengan laki-laki, habislah aku diinterogasi macam-macam oleh Si Andrew. Seolah-olah aku ini sudah jadi miliknya saja. Kini sifat asli Andrew ke
Begitu aku lihat pengirim SMS, langsung tersimpul senyum manisku. Ternyata dadaku yang berdebar-debar tidak karuan itu, sebagai perwujudan dari kontak batin dari orang yang sangat aku harap-harapkan menghubungiku. Gelombang resonansi yang dipancarkan dari lubuk hati cowok idamanku lebih dahulu sampai dan menggetarkan jiwaku. Aku langsung duduk bersilah di atas pembaringan. Tanganku sibuk memencet tombol Hpku membuka isi berita yang dikirim cowok yang membuat hatiku begitu kasmaran padanya.Bagaimana sudah bisa mengatasi kesulitan belajarnya, nggak-Ana?Kemudian akupun dengan sigap memencet tombol-tombol huruf Hpku guna membalas SMS itu.Alhamdulillah, sudah.Datang kembali SMS kedua.Berarti sudah dapat konsentrasi dan fokus dong, kini.Aku jawab kembali SMSnya, dengan bercanda.Justru kali ini, aku tidak bisa fokus karena terbayang-bayang kamu bertutur kata terus padaku.