“Apa kan yang aku bilang Ana? Mereka begitu penasaran padamu,” ujar Widya dengan nada kecut.
“Iya Na… mereka bukan main-main,” bisik Cinthya.
“Sudahlah kamu tenang saja, Wid…Cinthya… Akan aku hadapi mereka apapun maunya,” sahutku ringan.
“Hai, perempuan gatal aku peringatkan padamu ya. Jangan coba-coba kamu merayu Aditya, ngerti!!!” hardik Dea, sembari menjatuhkan telunjuknya ke depan keningku.
Melihat sikap pongah Dea dkk, membuat darahku mendidih juga. Langsung saja aku tepis tangan Dea yang hampir menyentuh keningku itu. Aku sebenarnya tak sudi dihina sedemikian rupa. Jika aku tidak mampu mengontrol emosiku, jadi apa bedanya aku dengan Dea ini. Maka aku segera berdiri dan bersikap setenang mungkin menghadapi perilaku tidak bersahabat Dea, Anggi dan Donna.
“Eh, kalau ada masalah bicara dengan baik-baik secara elegan dan terhormat. Bukan begini caranya! Kalau orang lihat, seperti kampungan, norak lagi… Apa kalian tidak merendahkan diri kalian sendiri…? Matrenya saja bermobil. Tapi sikap seperti bukan orang berpendidikan dan intelektual.”
Sindiranku ternyata langsung membuat muka Dea dkk menjadi merah padam, setengah menahan malu. Karena kata-kata yang aku keluarkan langsung menyinggung harga diri mereka, membuat mereka urung untuk bertindak kasar lagi. Mereka menjadi malu juga, sehingga mereka hanya mampu menahan geram.
Apalagi keributan kecil ini langsung mengundang kerumunan mahasiswa yang hendak kuliah, khususnya anak sospol. Mereka pada mencebiri tingkah-laku Dea dan kawan-kawannya. Mereka semua pada mendengus.
Huuuh!!!
“Dikira ada apa, tak taunya hanya ngeributin cowok, memalukan,” gunjing mereka.
Melihat reaksi kerumunan anak sospol yang merasa tak senang dengan tingkah pola Dea, Anggi dan Donna itu, aku berusaha mengangkat tangan untuk menenangkan mereka. Aku tak ingin mereka turut campur terhadap masalah yang ditimbulkan oleh Dea.
Sementara itu, dengar dengusan yang tidak simpatik dan melihat kerumunan mahasiswa sospol semakin banyak, nyali Dea pun menjadi kecut, gelisah dan malu. Namun masih sempat dia berbisik mengancam. “ Sekali lagi aku peringatkan padamu jangan coba-coba dekati Aditya, ngerti! Awas, aku tak segan-segan menghabisimu kalau kamu tak mau mematuhi peringatanku ini.”
“Dea!!! Apa yang kamu lakukan ini?” teriak Aditya, setelah dia mampu menyeruak kerumunan untuk menghampiri kami.
Teriakan tersebut membuat Dea dkk terkejut dan terperanjat, lalu dia menoleh mencari sumber suara tersebut. Dea sangat mengenal suara itu milik Aditya, yang membuat dirinya semakin merasa tak enak hati.
Tak berselang lama kemudian Aditya langsung menarik tangan Dea. “Apa salah Ana? Sehingga kamu mempermalukan dirimu sendiri. Apa yang kamu lakukan ini tidak intelek, tau? Hanya mempermalukan Almamater saja. Sebagai mahasiswi USU yang memiliki martabat, setiap masalah harus dapat diselesaikan dengan cara-cara terhormat. Bukannya dengan sikap arogan seperti ini, memalukan sekali.”
Wajah Dea semakin kecut dengar teguran Aditya sangat memojokkannya. Sementara Anggi dan Donna diam-diam menghindar, setelah melihat kehadiran Aditya.
Di tengah-tengah kekalutannya, Dea berusaha membela diri. “Maaf Aditya, kalau tindakanku ini salah dan cenderung emosional. Hanya aku tak ingin melihat dia itu mempengaruhimu. Aku tak mau kamu salah bergaul dengan orang yang tak tepat. “
“Sudahlah… tindakanmu ini sudah berlebihan. Aku tak mau melihat kejadian ini berulang kembali, memalukan… Kaupun tak berhak mengatur dengan siapa aku dekat atau bergaul. Aku bebas menentukan dengan siapa aku bergaul, termasuk dengan Ana. Aku lebih mengenal Ana dibandingkan dengan dirimu, sehingga kamu tak berhak menghalangi dirinya dekat denganku, Dea.”
Ucapan Aditya ini di telinga Dea dan kawan-kawannya seperti halilintar yang menyambar di siang bolong. Mereka seperti terpukul sekali, mengetahui Aditya cenderung membela diriku. Tahu kalian, bahwa wajah Dea, Anggi dan Donna seketika berubah seperti udang direbus, pucat pasih. Tanpa menoleh lagi, mereka langsung bergegas meninggalkan Aditya, sembari membawa amarah dan rasa malu yang teramat sangat.
Sepeninggal Dea dkk, Aditya lantas menghampiriku. “Maaf Ana!!! Kamu tak apa-apa kan?” Aditya langsung bertanya dan mengkuatirkanku.
“ Tidak apa-apa kok, Dit. Hanya aku tak habis mengerti melihat sikap si Dea itu,” jawabku, sembari bergeser tempat duduk mempersilahkan Aditya duduk disampingku.
“Itulah sikap yang tidak aku suka. Terlalu egois dan temperamental. Dia terlalu memaksakan keinginannya. Seolah-olah semua dapat diatur dan dibelinya, sesuka hatinya. Produk anak yang terlalu dimanjakan, terutama oleh matre.”
“Seharusnya sebagai mahasiswi, sikap-sikap seperti itu harus segera diubah dan ditinggalkan ya Dit?”
“Memang kamu benar, Ana. Maha yang kita sandang harus mencerminkan entelektualitas kita dan perilaku yang terhormat serta santun.”
“Ya… itulah… kualitas diri memang tidak selamanya bisa dibeli dengan matre Dit…”
Aditya sejenak melihat jam tangannya. Lalu ia mengalihkan pembicaraan. “Maaf Ana, aku ada pertemuan di Ruang Serba Guna mempersiapkan penyambutan kedatangan mahasiswa Negeri Penang Malaysia. Tetapi kamu bersedia kan, lain waktu kita ngobrol kembali?” tanya Aditya dengan penuh harap, sembari memegang jari-jemari tanganku.
Aku tatap mata Aditya untuk menyampaikan hasrat hatiku yang paling dalam, sambil melontarkan senyum padanya. “Aku mengerti kesibukkanmu Aditya. Kapan saja aku bersedia kok ngobrol denganmu.”
Aditya membalas tatapan mataku dengan gelora yang sama, sambil berkata,” Aku tinggal dulu ya, Na! Sampai ketemu nanti.”
Akhirnya Aditya beranjak meninggalkanku bersama Widya dan Cinthya. Tiba-tiba Widya mencubit pinggangku, ketika tatapanku terus mengiringi kepergian Aditya.
“Aduhhh!!!”teriakku kesakitan dibuat Widya, sembari menggeliat melepaskan cubitan Widya.
“Nah, ketauan nih… ternyata memang kamu dan Aditya ada apa-apanya nih,” goda Widya. “Tapi aku senang kok kalau kamu dan Aditya memang jadian gitu loh…”
“Ah, jangan ngaco kamu Widya. Entar jadi gosip lagi,” sergahku, sembari buru-buru beranjak menuju ruang kuliah. “Ayo kita masuk kuliah. Kalau terlambat, malah kita tidak boleh masuk oleh si Dosen killer, M. Sianturi.”
“Alaaa… bilang saja kamu mengalihkan perhatian dan pembicaraan, gitu…” sambung Widya, sembari beranjak mengejarku dan diikuti oleh Cinthya.
“Masa bodoh ah,” sahutku, sambil bergegas mempercepat langkah.
Kejadian barusan membuat aku sadar, tidak mudah dekat dan intim dengan orang yang menjadi idola banyak orang. Baru berkenalan saja, sudah harus menghadapi cobaan dan dipermalukan orang yang merasa terusik. Beginikah resiko dekat dengan seseorang yang menjadi publik figur. Ternyata untuk itu, aku harus siap mental menghadapi segala bentuk tantangan, rintangan, terror maupun intimidasi dari orang-orang yang merasa kalah bersaing denganku. Haruskah aku mundur menghadapi situasi yang demikian? Haruskah aku menghindari Aditya? Tapi jika aku tatap wajah Aditya, mengingatkanku kembali kepada Hermawan yang telah lama meninggalkanku. Bagiku Aditya tak ubahnya seperti personifikasi Hermawan. Wajah Aditya membangkitkan kembali semangat hidupku dan menggugah dari mimpi-mimpiku. Jika aku kehilangan kesempatan untuk mendapatkan Aditya, berarti aku sulit mengubur kenanganku dengan Hermawan dari benak pikiranku. Setelah aku renung-renungkan…aku menepis kebimbanganku. Aku bertekad untuk mendapatkan Aditya, tanpa harus mengorbankan harga diriku sebagai wanita.
Bayang-bayang keindahan yang aku raih bersama Hermawan seolah-olah kembali berada di pelupuk mata. Saat itu seperti biasanya pada hari Sabtu, Hermawan ditemani Harley Davidsonnya selalu menantiku sepulang sekolah di persimpangan jalan Kartini dan Teuku Cik Ditiro, tak jauh dari sekolahku SMA1. Kebetulan juga, setiap hari Sabtu Hermawan memang libur kerja, sehingga waktu luang tersebut selalu dipergunakan untuk menjemputku.Perkenalanku pun dengan Hermawan bermula oleh faktor kebetulan juga. Saat itu, aku berusia 16 tahun lebih dan duduk di kelas II SMA 1 dan tepatnya pada tahun 1999. Kebetulan saat itu, Hermawan lagi kebingungan di tepi jalan, tepatnya di persimpangan jalan yang sama saat dia rutinitas menungguku. Dia kebingungan menanti dengan harap-harap cemas. Dia menanti adiknya Viola dan kebetulan juga, viola ini temanku sekelas. Saat itu, Viola sudah pergi terlebih dahulu bersama Hendri, pacarnya dengan mencoba mengendarai mobil barunya, mobil Cadilac. Mereka pergi dala
Hermawan masih menyumbar senyumnya, sembari menanyakan kembali kesediaanku. “ Bagaimana Ana?”Aku pun membalas senyuman Hermawan, sembari menganggukkan kepala, setuju atas tawaran yang dia berikan padaku. Hermawan pun langsung menyalakan motor Harley Davidsonnya dan menyerahkan helm padaku. Aku pun tanpa canggung lagi langsung naik di boncengan Harley Davidsonnya Hermawan. Rasanya nyaman sekali duduk di boncengan motor gede ini.Semenjak hari Sabtu itu, maka secara rutin Hermawan menjemputku. Hari-hariku pun aku lalui dengan keceriaan selalu. Hubunganku dengan Hermawan semakin dalam, apalagi mendapat dukungan dari sahabatku sekelas, Viola. Begitu juga, keluarga Hermawan sangat baik padaku. Mereka tidak menghalangi hubunganku dengan Hermawan. Bahkan mereka semua sangat merestui hubunganku dengan Hermawan.Begitu juga, bibiku sangat senang sekali tau aku menjalin hubungan dengan Hermawan yang notabene adalah atasannya di kantor. Bibikulah yang me
“Aku mengerti kekuatiran kalian. Tetapi biarkan saja Gilang ikut. Aku jamin dia tidak berani macam-macam nantinya. Keinginannya untuk ikut serta ini tentu karena didorong kesertaanku juga…Yakinlah Gilang itu sangat menyeganiku,” paparku meyakinkan teman-temanku.“Tapi…,” seru Anjar.“Sudahlah jangan pakai tapi lagi, Anjar… Ingat, jika Gilang tidak kita ikut sertakan, maka bisa saja dia akan menyulitkan pekerjaan ortu kita nantinya. Nah, kita kan menjadi serba salah. Kita tidak punya pilihan, bukan? Oleh karena itu, serahkan semua urusan padaku,” potongku. Aku mengerti Anjar mengkuatirkanku akan diperdaya oleh Gilang. “Yakinlah aku bisa jaga diri kok.”Akhirnya teman-temanku dapat menerima keputusanku, walaupun di hati kecil mereka timbul perasaan was-was. Demi menyenangkan diriku mereka tidak membantahku lagi. Begitu juga, kami tidak menolak tawaran Gilang untuk mempergunakan mobil milikn
Gilang langsung bereaksi menahan langkahku. Entah dia tau atau tidak kalau aku sebenarnya sedang bercanda. “Bukan begitu maksudku Na. Please…! Oke, aku akui aku salah…Aku minta maaf!”“Huuu…” sahutku. Senang juga hatiku dapat mempermainkan Gilang.“Ana maukan kamu berbaikan denganku?”“Oke, aku terima maafmu, tetapi dengan syarat!”“Baik Ana, apapun syarat yang kamu ajukan akan kupenuhi… Tapi jangan yang berat-berat ya…” Gilang melucu.Aku tak kuasa menahan geli mendengar suara Gilang dan mimik wajahnya memelas minta belas kasihan, sehingga aku tertawa. Tak pelak lagi aku menutupi mulutku untuk menahan rasa geliku itu. Memang konyol juga, Gilang ini.“Oke…, oke…, syaratnya kamu tidak boleh macam-macam padaku. Jangan samakan aku dengan gadis-gadis yang telah kamu takhlukkan. Kamu harus dapat menghormatiku. Kalau tidak, aku
“Selamat ya Ana! Kamu lulus menjadi mahasiswi Psikologi USU,” ujarnya, sembari langsung mencengkram jari-jemari tanganku.“Ah masa Gie… Kamu jangan bercanda, ah… nggak lucu tau,” sergahku, sembari cemberut.“Eh, lihat ini nomor 10142 dan namamu Mardiana tertera dengan jelas, berikut jurusannya PSIKOLOGI di lembar pengumuman di koran Kompas ini,” tukas Gilang, sembari mempertunjukkan lembar pengumuman padaku.“Tapi di lembar pengumuman resmi yang dikeluarkan Panitia Seleksi USU ini, namaku tidak tercantum Gie…”“Coba diselusuri namamu sekali lagi dengan teliti,” suruh Gilang. “Ya, terang saja kamu tidak menemukan namamu, pengumuman ini cacat. Bagian yang menerangkan namamu tidak tertera dengan jelas begini. Tapi yang jelas kamu lulus Ana, lihat nomor seleksimu 10142 masih bisa terbaca.”“Oh, syukurlah Gie. Aku tadi sempat frustrasi.&r
Sementara itu di tempat pemondokanku. Pada saat aku sedang bete, maka aku menyibukkan diri dengan membantu Amang boru, induk semangku berberes-beres di dapur. Karena begitu seringnya aku membantu dirinya, sehingga dia sangat menyukai dan menyayangiku. Hal yang tidak aku duga, di saat kami bercanda dia langsung menyodorkan tawaran untuk menjodohkan cucunya dengan diriku.“Ana, sebelum aku mati. Tentu aku akan sangat bahagia sekali, jika dapat melihat dirimu menjadi isteri cucuku yang aku sayangi.”Aku menganggap ucapan induk semangku itu hanya sekedar bercanda, maka akupun menjawabnya secara bercanda juga. “Boleh juga itu Amang boru, kebetulan akupun lagi jomblo ini.”“Apa kamu bilang? Jomblo? Apa pula itu jomblo, aku tidak mengerti apa yang kamu maksud itu, Ana?” tegur induk semangku, sembari mengernyitkan dahi yang memang sudah keriput itu. Dia menjadi penasaran mendengar istilah anak muda zaman sekarang.&
“Hai Rat, tumben kamu pulang kemalaman nih? Habis jalan ya, pedekate dengan Freddy?” godaku, sembari mencubit pinggangnya, saat aku membukakan pintu kamar pemondokan untuknya.“Ya, iyalah… Macam kamu tidak mengerti saja Na. Mumpung masih muda, sekali tiga pulau harus dapat kita lalui, ya-nggak Na? Jangan buku melulu, entar udah tua baru nyesal,” sahut Ratna, sembari bercanda. Lalu Ratna meletakkan buku-bukunya di atas meja belajarnya.“Ya, iyalah… kamu yang bahagia. Tapi aku,” ucapku, sembari menutup daun pintu kamarku.“Eh, emangnya ada apa denganmu Na?” selidik Ratna begitu dengar nada bicaraku agak menurun.“Kamu tau nggak, aku tadi sebel banget dibuat oleh Amangboru.”“Emangnya kenapa?”“ Itu tadi siang, Amang boru kenalkan aku dengan cucunya itu, si Andrew.”“Asyik dong, diperkenalkan dengan calon suami.”“As
Sementara itu, Andrew sudah merasa besar kepala. Dengan sikap royal terhadap semua anak-anak kost, dia menganggap anak-anak kost telah dapat dipengaruhinya dan berpihak padanya. Begitu juga, sikap induk semangku yang sangat memanjakan dan selalu mendukung sikap dan keinginan cucunya itu membuat anak-anak kost rada segan juga padanya. Toh, mereka merasa Andrew itu tidak merugikan mereka, malah membuat mereka menjadi senang dengan kemurahannya itu. Sehingga mereka memberi dukungan pada Andrew untuk mendekatiku. Apalagi mereka tau Andrew telah menghujani diriku dengan berbagai macam hadiah.Ada beberapa anak kost yang suka mencari muka pada Andrew dan selalu menjadi spionnya. Mereka selalu mematai-matai setiap gerak-gerikku di kampus, sehingga tidak heran, kapan aku ke kamar kecilpun Si Andrew jadi mengetahuinya. Apalagi aku ketemu dengan laki-laki, habislah aku diinterogasi macam-macam oleh Si Andrew. Seolah-olah aku ini sudah jadi miliknya saja. Kini sifat asli Andrew ke