Share

Bab 6

“Apa kan yang aku bilang Ana? Mereka begitu penasaran padamu,” ujar Widya dengan nada kecut.

“Iya Na… mereka bukan main-main,” bisik Cinthya.

“Sudahlah kamu tenang saja, Wid…Cinthya… Akan aku hadapi mereka apapun maunya,” sahutku ringan.

“Hai, perempuan gatal aku peringatkan padamu ya. Jangan coba-coba kamu merayu Aditya, ngerti!!!” hardik Dea, sembari menjatuhkan telunjuknya ke depan keningku.

Melihat sikap pongah Dea dkk, membuat darahku mendidih juga. Langsung saja aku tepis tangan Dea yang hampir menyentuh keningku itu. Aku sebenarnya tak sudi dihina sedemikian rupa. Jika aku tidak mampu mengontrol emosiku, jadi apa bedanya aku dengan Dea ini. Maka aku segera berdiri dan bersikap setenang mungkin menghadapi perilaku tidak bersahabat Dea, Anggi dan Donna.

“Eh, kalau ada masalah bicara dengan baik-baik secara elegan dan terhormat. Bukan begini caranya! Kalau orang lihat, seperti kampungan, norak lagi… Apa kalian tidak merendahkan diri kalian sendiri…? Matrenya saja bermobil. Tapi sikap seperti bukan orang berpendidikan dan intelektual.”

Sindiranku ternyata langsung membuat muka Dea dkk menjadi merah padam, setengah menahan malu. Karena kata-kata yang aku keluarkan langsung menyinggung  harga diri mereka, membuat mereka urung untuk bertindak kasar lagi. Mereka menjadi malu juga, sehingga mereka hanya mampu menahan geram.

 Apalagi keributan kecil ini langsung mengundang kerumunan mahasiswa yang hendak kuliah, khususnya anak sospol. Mereka pada mencebiri tingkah-laku Dea dan kawan-kawannya. Mereka semua pada mendengus.

Huuuh!!!

“Dikira ada apa, tak taunya hanya ngeributin cowok, memalukan,” gunjing mereka.

Melihat reaksi kerumunan anak sospol yang merasa tak senang dengan tingkah pola Dea, Anggi dan Donna itu, aku berusaha mengangkat tangan untuk menenangkan mereka. Aku tak ingin mereka turut campur terhadap masalah yang ditimbulkan oleh Dea.

Sementara itu, dengar dengusan yang tidak simpatik dan melihat kerumunan mahasiswa sospol semakin banyak, nyali Dea pun menjadi kecut, gelisah dan malu. Namun masih sempat dia berbisik mengancam. “ Sekali lagi aku peringatkan padamu jangan coba-coba dekati Aditya, ngerti! Awas, aku tak segan-segan menghabisimu kalau kamu tak mau mematuhi peringatanku ini.”

“Dea!!! Apa yang kamu lakukan ini?” teriak Aditya, setelah dia mampu menyeruak kerumunan untuk menghampiri kami.

Teriakan tersebut membuat Dea dkk terkejut dan terperanjat, lalu dia menoleh mencari sumber suara tersebut. Dea sangat mengenal suara itu milik Aditya, yang membuat dirinya semakin merasa tak enak hati.

Tak berselang lama kemudian Aditya langsung menarik tangan Dea. “Apa salah Ana? Sehingga kamu mempermalukan dirimu sendiri. Apa yang kamu lakukan ini tidak intelek, tau? Hanya mempermalukan Almamater saja. Sebagai mahasiswi USU yang memiliki martabat, setiap masalah harus dapat diselesaikan dengan cara-cara terhormat. Bukannya dengan sikap arogan seperti ini, memalukan sekali.”

Wajah Dea semakin kecut dengar teguran Aditya sangat memojokkannya. Sementara Anggi dan Donna diam-diam menghindar, setelah melihat kehadiran Aditya.

Di tengah-tengah kekalutannya, Dea berusaha membela diri. “Maaf Aditya, kalau tindakanku ini salah dan cenderung emosional. Hanya aku tak ingin melihat dia itu mempengaruhimu. Aku tak mau kamu salah bergaul dengan orang yang tak tepat. “

“Sudahlah… tindakanmu ini sudah berlebihan. Aku tak mau melihat kejadian ini berulang kembali, memalukan… Kaupun tak berhak mengatur dengan siapa aku dekat atau bergaul. Aku bebas menentukan dengan siapa aku bergaul, termasuk dengan Ana. Aku lebih mengenal Ana dibandingkan dengan dirimu, sehingga kamu tak berhak menghalangi dirinya dekat denganku, Dea.”

Ucapan Aditya ini di telinga Dea dan kawan-kawannya seperti halilintar yang menyambar di siang bolong. Mereka seperti terpukul sekali, mengetahui Aditya cenderung membela diriku. Tahu kalian, bahwa wajah Dea, Anggi dan Donna seketika berubah seperti udang direbus, pucat pasih.  Tanpa menoleh lagi, mereka langsung bergegas meninggalkan Aditya, sembari membawa amarah dan rasa malu yang teramat sangat.

Sepeninggal Dea dkk, Aditya lantas menghampiriku. “Maaf Ana!!! Kamu tak apa-apa kan?” Aditya langsung bertanya dan mengkuatirkanku.

“ Tidak apa-apa kok, Dit. Hanya aku tak habis mengerti melihat sikap si Dea itu,” jawabku, sembari bergeser tempat duduk mempersilahkan Aditya duduk disampingku.

“Itulah sikap yang tidak aku suka. Terlalu egois dan temperamental. Dia terlalu memaksakan keinginannya. Seolah-olah semua dapat diatur dan dibelinya, sesuka hatinya. Produk anak yang terlalu  dimanjakan, terutama oleh matre.”

“Seharusnya sebagai mahasiswi, sikap-sikap seperti itu harus segera diubah dan ditinggalkan ya Dit?”

“Memang kamu benar, Ana. Maha yang kita sandang harus mencerminkan entelektualitas kita dan perilaku yang terhormat serta santun.”

“Ya… itulah… kualitas diri memang tidak selamanya bisa dibeli dengan matre Dit…”

Aditya sejenak melihat jam tangannya. Lalu ia mengalihkan pembicaraan. “Maaf Ana, aku ada pertemuan di Ruang Serba Guna mempersiapkan penyambutan kedatangan mahasiswa Negeri Penang Malaysia. Tetapi kamu bersedia kan, lain waktu kita ngobrol kembali?” tanya Aditya dengan penuh harap, sembari memegang jari-jemari tanganku.

Aku tatap mata Aditya untuk menyampaikan hasrat hatiku yang paling dalam, sambil melontarkan senyum padanya. “Aku mengerti kesibukkanmu Aditya. Kapan saja aku bersedia kok ngobrol denganmu.”

Aditya membalas tatapan mataku dengan gelora yang sama, sambil berkata,” Aku tinggal dulu ya, Na! Sampai ketemu nanti.”

Akhirnya Aditya beranjak meninggalkanku bersama Widya dan Cinthya. Tiba-tiba Widya mencubit pinggangku, ketika tatapanku terus mengiringi kepergian Aditya.

“Aduhhh!!!”teriakku kesakitan dibuat Widya, sembari menggeliat melepaskan cubitan Widya.

“Nah, ketauan nih… ternyata memang kamu dan Aditya ada apa-apanya nih,” goda Widya. “Tapi aku senang kok kalau kamu dan Aditya memang jadian gitu loh…”

“Ah, jangan ngaco kamu Widya. Entar jadi gosip lagi,” sergahku, sembari buru-buru beranjak menuju ruang kuliah.  “Ayo kita masuk kuliah. Kalau terlambat, malah kita tidak boleh masuk oleh si Dosen killer, M. Sianturi.”

“Alaaa… bilang saja kamu mengalihkan perhatian dan pembicaraan, gitu…” sambung Widya, sembari beranjak mengejarku dan diikuti oleh Cinthya.

“Masa bodoh ah,” sahutku, sambil bergegas mempercepat langkah.

Kejadian barusan membuat aku sadar, tidak mudah dekat dan intim dengan orang yang menjadi idola banyak orang. Baru berkenalan saja, sudah harus menghadapi cobaan dan dipermalukan orang yang merasa terusik. Beginikah resiko dekat dengan seseorang yang menjadi publik figur. Ternyata untuk itu, aku harus siap mental menghadapi segala bentuk tantangan, rintangan, terror maupun intimidasi dari orang-orang yang merasa kalah bersaing denganku. Haruskah aku mundur menghadapi situasi yang demikian? Haruskah aku menghindari Aditya? Tapi jika aku tatap wajah Aditya, mengingatkanku kembali kepada Hermawan yang telah lama meninggalkanku. Bagiku Aditya tak ubahnya seperti personifikasi Hermawan. Wajah Aditya membangkitkan kembali semangat hidupku dan menggugah dari mimpi-mimpiku. Jika aku kehilangan kesempatan untuk mendapatkan Aditya, berarti aku sulit mengubur kenanganku dengan Hermawan dari benak pikiranku. Setelah aku renung-renungkan…aku menepis kebimbanganku. Aku bertekad untuk mendapatkan Aditya, tanpa harus mengorbankan harga diriku sebagai wanita.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status