Share

Bab 5

Beberapa hari kemudian, baru saja aku mengijakkan kaki di depan pintu gerbang kampusku sudah ada yang berteriak memanggilku, mereka setengah mencemaskanku. Setengah berlari Widya dan Cinthya menghampiriku. Ternyata, mereka sudah lama menunggu kehadiranku. Demi ingin menemuiku, mereka bersedia datang lebih pagi dari biasanya.

“Hai Ana… lama amat sih kamu datangnya. Aku dan Cinthya sudah tak sabar menungggumu dari tadi. Demi kamu, kami rela berdiri hampir satu jam di bawah pohon Akasia itu,” ujar Widya sesampainya dia di sisiku.

“Iya Ana, sebel deh menunggumu. Pekerjaan menunggu itu paling tidak mengenakkan, menyebalkan tau…!” timpal Cinthya.

“Eh, kalian saja yang datangnya kepagian kali. Emangnya ada apa yang membuat kalian rela menjadi satpam kampus begitu, hah?” sambutku bercanda.

Widya maupun Cinthya tidak hiraukan gurauanku. Mereka serius ingin menyampaikan kabar buruk padaku.

“Gawat, Na! Kamu sekarang sudah masuk bursa gosip.”

“Nah, bukannya kamu ini Widya yang menjadi biangnya gosip?”

“Benar Na, yang dikatakan Widya… swear…” sambung Cinthya.    

“Sudah jangan bercanda!!! Persoalannya kini, ada yang merasa terusik olehmu,” tanpa memperhatikan gurauanku, Widya setengah memaksa menggiringku ke bangku yang berada di bawah pohon Tiara Payung, tepatnya di halaman depan kampus di samping tempat parkir. “Benar, Na… Orang-orang sudah mulai menggosipin kencanmu dengan Aditya di perpustakaan itu loh… Mereka merasa iri dan banyak yang bilang macam-macam tentang dirimu. Aku dan Cinthya begitu mencemaskanmu. Kemarin, ketika aku sedang makan bakso di Cafetaria, aku dengar langsung, Dea, Anggi dan Donna anak sastra biang resek itu sedang membicarakanmu. Mereka merasa tak senang kamu menjalin hubungan dengan Aditya. Tentunya aku sebagai sahabatmu tidak rela dengar kamu dijelek-jelekkan. Apalagi kini mereka sedang cari-cari dirimu. Katanya sih mau membuat perhitungan dengan dirimu.”

Aku menjadi terperangah dengar kabar tak sedap dari Widya.

“Lho, apa salahku pada mereka? Aku tak merasa mengganggu atau mengambil sesuatu dari mereka, mengapa mereka sewot seperti cina kebakaran jenggot begitu sih?” sergahku. Aku menjadi tak habis pikir dengar kabar dari Widya dan Cinthya.

“Masalahnya, mereka menuduhmu telah mengguna-gunai Aditya, agar Aditya takhluk dipelukkanmu gitu,” ujar Cinthya.

 Dengar tutur kata Widya maupun Cinthya, membuat aku menggeleng-gelengkan kepala, “Amit-amit jabang bayi, kok kampungan sekali sih mereka. Sembarangan menuduh aku pakai klenik segala. Sebagai mahasiswa, seharusnya mereka tidak berpikiran sempit begitu. “

“Ya, begitulah kenyataannya sekarang para mahasiswa selalu bicara dan berbuat tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Tetapi yang ingin aku tanyakan padamu, apa benar kamu mulai menjalin hubungan dengan Aditya?” selidik Widya.

 “Ngaco kali mereka Wid. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Aditya. Hanya kebetulan saja aku ketemu Aditya di perpustakaan. Dan kebetulan juga buku yang sedang kucari-cari ada di tangannya. Wajarkan aku meminjam buku itu padanya. Hanya sebatas itu hubunganku dengan Aditya, tak lebih,” sergahku meyakinkan Widya maupun Cinthya.

“Tapi mereka mengatakan hubungan kalian begitu mesra. Apalagi mereka melihat sekeluar kalian dari perpustakaan itu menunjukkan kedekatan yang intim sekali, Na… Bahkan ada segelincir mahasiswi menudingmu pakai pelet segala,” kejar Widya menyelidik.

“ Masa bodohlah Wid dengan pendapat orang tentang kami. Aku tak berani berspikulasi tentang hubunganku dengan Aditya. Terlalu prematur untuk dibahas sekarang. Kalau orang mengatakan aku pakai pelet segala, itu berarti dirinya tidak layak menjadi mahasiswi USU. Cocoknya dia jadi paranormal saja, ya-nggak Wid?” jawabku, sembari menepuk-nepuk bahu Widya yang masih penasaran. Widya pun menjadi tersenyum kecut dengar banyolanku. Lanjutku, “Oke Wid, Cinthya terima kasih atas pemberitahuanmu ini. Tapi jangan mudah percaya oleh omongan orang, kalau belum tentu kebenarannya. Nah, biarkan saja kalau anak resek itu ingin buat persoalan denganku, aku tak takut kok.”

Widya mengernyitkan dahinya. Tangannyapun menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, dia begitu penasaran. “Tapi yang aku herankan padamu, ternyata kamu begitu mudah mendapatkan simpati cowok, apalagi kini Aditya lagi… Bagaimana sih caranya Na? Kamu itu, kalau punya ilmu tolong berbagi dong dikit padaku. Aku tak peduli ilmu putih kek atau ilmu hitam kek, yang penting aku ingin sekali sepertimu, gitu loh… Kamu nggak keberatan kan berbagi denganku…?” ujar Widya, sembari cengengesan.

“Iya Na, aku pun mau,” sambung Cinthya.

Aku pun menjadi tersenyum lihat tingkah Widya dan Cinthya.” Nggak ada itu istilah ilmu hitam atau ilmu putih dalam kamusku Wid…Cinthya… Nah, agar kalian tidak penasaran. Resep untuk mendapatkan kekasih atau apapun namanya, maka pertama-tama, kalian itu harus jadi diri sendiri. Kedua, Kalian harus mampu menunjukkan kelebihan yang menjadi kekuatan karakter diri kalian. Dan ketiga, kalian harus gaul gitu…”

“Oh… hanya sebegitu sajanya ilmu untuk menundukkan hati orang!!!” sela Widya tidak percaya.

“Oyalah…” sahutku singkat.

“Ah, aku  ragu atas pendapatmu ini Ana… Bagi cewek seperti kita-kita ini, senjata utama untuk menarik dan menakhlukkan kaum cowok, bukannya kecantikan Ana?” komentar Widya mempertanyakan pendapatku.

“Aku pun sependapat dengan Widya, bagi kita memang kecantikan menjadi hal utama. Agar bisa menjadi cantik dan sempurna, bukankah kita rela mengeluarkan duit untuk ke salon, bahkan operasi plastik bila perlu dan memungkinkan, bukankah begitu…?” sambung Cinthya.

Aku menjadi kasihan juga pada sobat karibku Widya dan Cinthya yang selalu dihinggap rasa tidak percaya diri. Mereka berdua terjebak pandangan yang keliru, yang selalu membuat diri menjadi bete teruuus…

“Nah, kalian ini jangan terpengaruh terhadap stigma kecantikan seorang wanita sebagai daya pikat utama. Kecantikan itu sifatnya relatif loh Widya, Cinthya… Kecantikan di mata orang itu berbeda-beda. Memang tidak dapat dipungkiri kecantikan itu perlu, tetapi yang utama adalah kekuatan karakter yang kita miliki, sebagai ciri khas pribadi kita yang dapat mempengaruhi cara pandang orang lain terhadap diri kita.”

“Kelebihan seperti pasang susuk, pelet atau ajian begitu menurutmu Ana?”  potong Widya.

“Jangan pendek pikir begitulah kamu, Wid… Itu pendapat umum masyarakat awam untuk mencari kompensasi penampilan diri. Jangan kamu jejali otakmu dengan stigma yang merendahkan statusmu itu Widya. Lihatlah sekarang ini menjamur kursus-kursus kepribadian, sebagai tempat rujukan orang untuk menemukan kekuatan karakter dirinya. Tetapi tanpa kursus pun kita sebenarnya dapat menemukan kekuatan karakter kita sendiri, asal kita mau mempelajarinya, Widya.”

“Caranya bagaimana Ana, aku semakin tidak mengerti?” tanya Widya mulai tertarik.

“Mudah kok, tinggal mempelajari kelebihan diri kita yang menonjol dan bagaimana kita mampu mengaktualisasikannya saja… Begitu juga, jangan lupa kamu harus menguasai seni bergaul.”

               “Sesimpel itu Na?” timpal Cinthya.

               “Ya, iyalah… Apa lagi? Yang penting kita harus yakin, Wid…Cinthya.”

“Oke Ana, aku akan berusaha mempelajari petunjukmu ini Ana. Tapi awas kalau petunjukmu ini malah menyesatkanku!” Sahut Widya, sembari tersenyum. Tapi tiba-tiba dia mengernyitkan keningnya kembali. Dia ingin menguji kebenaran dari pernyataanku, ”Oya Na, apa memang benar ketiga resep ini yang kamu gunakan untuk mendapatkan simpati Aditya?”

“Apa betul resepmu itu Ana? Kalau aku perhatikan dirimu memang sangat ideal, cantik dan gaul, sehingga para cowok mudah jatuh hati padamu,” sambung Cinthya tidak mau kalah untuk berargumentasi.

Aku pun menjadi menggeleng-gelengkan kepala kembali dan tersenyum melihat Widya maupun Cinthya. “Aditya…Aditya lagi yang ada dibenakmu Wid. Apa tidak ada hal lain yang lebih menarik lagi untuk dibicarakan Widya? Begitu juga denganmu Cinthya, mengapa dirimu tidak PD juga. Percuma kalian menjadi anak Psikologi…”

“Alaa jangan kamu bawa-bawalah masalah jurusan kita segala. Toh, pengetahuan praktis begini kan tidak didapat diperkuliahan, Na…” potong Widya. Lalu lanjutnya,“ Mengapa kamu tidak jujur saja Ana pada kami?”

“Oke Widya, Cinthya aku katakan sejujurnya, sebagai wanita aku tidak ingin menjatuhkan harga diriku hanya untuk mengejar cowok. Walau terhadap Aditya sekalipun. Memang aku akui Aditya itu figur mahasiswa ideal, sehingga banyak mahasiswi tergila-gila olehnya. Walaupun demikian aku tetap berprinsip biarkan cowok yang mendekati kita karena ada pesona dan kekuatan yang menonjol muncul dari diri kita. Dengan demikian harga diri kita cukup terpelihara dengan baik, sehingga kita selalu dihargai dan dihormati. Kalau kita yang pertama tertarik padanya, maka kita boleh mendekatinya, tapi jangan tampilkan sikap seolah-olah kita yang mengejar-ngejarnya. ”

“Jadi kamu tidak tertarik dengan Aditya itu Ana?” sambung Cinthya.

“Masalah tertarik atau tidak, hanya hatiku saja yang tau Cinthya. Aku akan tetap bersikap yang sama dengan semua cowok. Biarkan waktu nanti yang bicara Cinthya, Widya…”  Aku sengaja menyembunyikan perasaanku yang sesungguhnya terhadap Aditya. Jika aku ungkapkan kepada semua orang isi hatiku ini, bisa rusak reputasiku dan bisa jadi bahan gosip sungguhan lagi.

Ketika aku, Cinthya dan Widya asyik mengobrol, tiba-tiba muncul mobil Nissan Terrano warna coklat metalik berdenyit berhenti di hadapan kami. Dengan arogannya pengemudi mobil itu keluar. Mereka sungguh angkuh. Ternyata mereka adalah Dea, Anggi dan Donna. Mereka langsung menghampiri kami dengan pongahnya. Terutama Dea, sang primadona mereka.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status