Sementara itu, Andrew begitu kesal. Dia begitu gelisah, wajahnyapun menjadi berkerut masam. Sudah terlalu lama ia menanti di Coffe Shop Medan Plaza, namun orang yang dinanti-nanti tidak kunjung datang. Demi mengharap untuk dapat berduaan dengan diriku, dia sengaja membolos kuliah. Padahal, kuliahnya hampir rampung di jurusan Landscape UDA Medan itu. Kemudian dia coba menghubungi Hpku, namun ternyata Hpku tidak aktif. Memang aku sengaja aku matikan Hpku. Hal ini membuat dirinya semakin kesal.
Apa maksud diriku, mengabaikan dirinya, gerutu Andrew. Andrew semakin sewot, ketika dia melihat di kanan-kirinya muda-mudi berpasangan asyik memadu kasih. Memang lokasi Coffe Shop Medan Plaza dikenal sebagai tempat kencan kawula muda Medan.
Di sela-sela kekesalan Andrew, terpikirkan juga olehnya untuk menghubungi sahabatnya, Anton. Anton ini, sahabatnya yang selalu dia minta untuk mengawasi tingkah laku diriku di Kampus. Kebetulan Si Anton ini satu letting denganku di jurusan Psikologi USU.
“Ton, kamu lihat Ana tadi, tidak?”
“Ya, aku lihat dia tadi padi sebelum kuliah ada diperpustakaan dengan Aditya, aktivis Kampus USU itu loh…”
“Brengsek!!!”
” Emangnya ada apa Drew?”
“Kamu tau nggak Ton, sekarang Ana ada di mana?”
“Nggak tau lah Drew, kami keluar dari kampus tadi jam dua siang. Sedangkan kamu sekarang di mana rupanya Drew?”
“Aku biasa, ada di Coffe Shop Medan Plaza. Aku sedang menunggu Ana. Tadi sudah aku pesan sama Opungboru, agar Ana jumpai aku di sini. Tapi sampai detik ini tak muncul juga batang hidungnya. Oya, kamu bilang Ana tadi bersama Aditya. Emangnya dia sudah lama jalan bareng, Ton?”
“Baru tadi sih aku lihat, Drew. Tapi kamu jangan kuatir aku akan tetap mengawasi mereka terus Drew…”
“Oke Ton. Terima kasih. Aku mau mencari keberadaan Ana sekarang.”
Andrew pun menutup pembicaraannya dengan Anton, kemudian dia diberanjak meninggalkan Coffe Shop dengan hati yang diliputi rasa gundah gulana.
Tanpa aku sadari, tiba-tiba Andrew nyelonong saja memasuki kamar pemondokanku. Dengan lantangnya dia menegurku, sembari menepuk bahuku. Konsentrasikupun langsung buyar dibuatnya. Tertundalah penyelesaian tugas paperku karena ulahnya itu. Kekesalanku pun langsung muncul dan emosiku naik membara.
“Ana, apa maksudmu mengabaikan diriku. Dua jam aku menunggumu di Coffe Shop. Kamu tega amat Ana, membuatku menjadi kambing congek di sana.”
Lantas aku tepis tangan Andrew dari atas bahuku. “Eh, Andrew…Kamu jadi laki-laki itu jangan egois, tau!!! Kamu harus tau menghargai orang lain. Emangnya aku ini cewek apaan. Aku bukan cewek gampangan seperti keinginanmu itu. Aku datang ke Medan ini dengan misi belajar, bukannya pacaran melulu, seperti keinginanmu itu. Kamu lihat aku sedang mengerjakan apa di monitor komputer itu, hah!!!” balasku menghardik Andrew dengan sengit.
Tapi Andrew tidak menghiraukan ucapanku. Malahan dia balik menuduhku selingkuh segala. Padahal aku dengannya tidak ada ikatan apa-apa. Sembarangan dia menuduhku selingkuh.
“Alaaa kamu pintar cari alasan saja Ana. Sebenarnya kamu telah kepincut sama Aditya itu kan? Kamu tadi pagi kencan dengan Aditya di perpustakaan kan?”
“Enak saja kamu ngomong. Ngaca dulu kalau ngomong. Kamu jangan sembarangan menuduh. Aku berada di perpustakaan untuk cari leteratur bahan paperku ini, tau. Memang, kebetulan sih ada Aditya yang turut membantuku.”ujarku ketus.
“Nah, ngakunya kamu bersama Aditya!!!”
“Emangnya, kalau aku bersama Aditya mengapa rupanya? Kamu tak berhak mengaturku sembarangan. Aku bukan budakmu, yang bisa kamu atur sekehendak hatimu.”
“Lihat saja nanti, kalau kamu tetap bersama Aditya. Aku akan buat perhitungan dengannya,” ancam Andrew, sembari mengacungkan jarinya.
“Eh, jangan coba-coba kamu menyalahkan Aditya ya!!! Kalau aku jalan bareng sama Aditya, itu bukan salahnya. Tetapi itu kehendakku sendiri. Aku bebas menentukan mau jalan bareng dengan siapa pun di muka bumi ini. Kamu tak berhak mengatur dan menentukan dengan siapa aku pantas bergaul, ngerti sobat!!!”balas hardikku pada Andrew, sembari menjatuhkan jari telunjukku ke dada Andrew. Kemudian lanjutku, “Nah, sekarang juga angkat kakimu dari kamar ini. Aku masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan.”
Andrew semakin emosi. Tangannya terangkat hendak menampar diriku. Tetapi aku tak surut melihat reaksi Andrew. Langsung saja aku sosor dirinya. Aku memasang badan, siap menerima pukulan Andrew. Aku tatap tajam sorot matanya. Melihat reaksiku yang siap menantang, membuat kemarahan Andrew langsung surut dan mengurungkan niatnya memukul diriku. Sebagai gantinya ia mengibaskan tangan kuat-kuat dan membanting daun pintu kamar pemondokanku. Dia pergi meninggalkanku membawa kekesalannya.
Kebetulan, hampir saja Andrew tubrukan dengan Ratna yang baru keluar dari kamar mandi. Ratna bersungut-sungut melihat tingkah Andrew itu.
“Hei Ana, mengapa pula si Andrew itu? Masa aku mau ditabraknya? Emangnya tadi tidak kamu beri… apa Ana?”
“beri sontoloyomu!!! Dia baru saja membuatku kesal. Konsentrasiku mengerjakan paper ini menjadi hilang dibuatnya.”
“Sudah aku bilang janganlah kamu macam-macam. Ya, begitu jadinya.”
“Ah, manusia egois seperti dia tidak layak diambil keturunannya, Rat.”
“Ah, masaaa…! Kalau kamu tak mau, ya untukku saja gitu loh,” sela Ratna, sembari menggulung rambutnya yang basah dengan handuk.
“Ambil saja kalau kamu mau, aku tidak rugi kok!”
“Benar, kamu tidak nyesal, Ana?”
“Mengapa pula aku harus menyesal? Aku malah beruntung dapat membantumu, agar kamu tidak menjomblo terus gitu loh…” balasku menggoda Ratna.
Akhirnya kami berdua menjadi tertawa berderai. Aku tak peduli dengan apa yang dipikirkan Andrew. Sikapnya itu sungguh sudah keterlaluan. Menurutku dia terlalu egois. Belum lagi jadi isterinya, dia sudah begitu mengekangku. Bagaimana jadinya nanti kalau aku benar-benar jadi isterinya. Amit-amit deh, sulit aku membayangkan apa yang akan terjadi padaku nanti. Jangan sampailah aku menjadi isterinya si Andrew itu. Walau pun dia cukup tajir. Bagaimanapun juga, aku harus dapat membatasi diri bergaul dengan si Andrew, sebelum masalahnya menjadi runyam. Tapi kalau untuk memanfaatkan dia, boleh juga gitu…
Beberapa hari kemudian, baru saja aku mengijakkan kaki di depan pintu gerbang kampusku sudah ada yang berteriak memanggilku, mereka setengah mencemaskanku. Setengah berlari Widya dan Cinthya menghampiriku. Ternyata, mereka sudah lama menunggu kehadiranku. Demi ingin menemuiku, mereka bersedia datang lebih pagi dari biasanya.“Hai Ana… lama amat sih kamu datangnya. Aku dan Cinthya sudah tak sabar menungggumu dari tadi. Demi kamu, kami rela berdiri hampir satu jam di bawah pohon Akasia itu,” ujar Widya sesampainya dia di sisiku.“Iya Ana, sebel deh menunggumu. Pekerjaan menunggu itu paling tidak mengenakkan, menyebalkan tau…!” timpal Cinthya.“Eh, kalian saja yang datangnya kepagian kali. Emangnya ada apa yang membuat kalian rela menjadi satpam kampus begitu, hah?” sambutku bercanda.Widya maupun Cinthya tidak hiraukan gurauanku. Mereka serius ingin menyampaikan kabar buruk padaku.“Gawat, Na! K
“Apa kan yang aku bilang Ana? Mereka begitu penasaran padamu,” ujar Widya dengan nada kecut.“Iya Na… mereka bukan main-main,” bisik Cinthya.“Sudahlah kamu tenang saja, Wid…Cinthya… Akan aku hadapi mereka apapun maunya,” sahutku ringan.“Hai, perempuan gatal aku peringatkan padamu ya. Jangan coba-coba kamu merayu Aditya, ngerti!!!” hardik Dea, sembari menjatuhkan telunjuknya ke depan keningku.Melihat sikap pongah Dea dkk, membuat darahku mendidih juga. Langsung saja aku tepis tangan Dea yang hampir menyentuh keningku itu. Aku sebenarnya tak sudi dihina sedemikian rupa. Jika aku tidak mampu mengontrol emosiku, jadi apa bedanya aku dengan Dea ini. Maka aku segera berdiri dan bersikap setenang mungkin menghadapi perilaku tidak bersahabat Dea, Anggi dan Donna.“Eh, kalau ada masalah bicara dengan baik-baik secara elegan dan terhormat. Bukan begini caranya! Kalau orang lihat, s
Bayang-bayang keindahan yang aku raih bersama Hermawan seolah-olah kembali berada di pelupuk mata. Saat itu seperti biasanya pada hari Sabtu, Hermawan ditemani Harley Davidsonnya selalu menantiku sepulang sekolah di persimpangan jalan Kartini dan Teuku Cik Ditiro, tak jauh dari sekolahku SMA1. Kebetulan juga, setiap hari Sabtu Hermawan memang libur kerja, sehingga waktu luang tersebut selalu dipergunakan untuk menjemputku.Perkenalanku pun dengan Hermawan bermula oleh faktor kebetulan juga. Saat itu, aku berusia 16 tahun lebih dan duduk di kelas II SMA 1 dan tepatnya pada tahun 1999. Kebetulan saat itu, Hermawan lagi kebingungan di tepi jalan, tepatnya di persimpangan jalan yang sama saat dia rutinitas menungguku. Dia kebingungan menanti dengan harap-harap cemas. Dia menanti adiknya Viola dan kebetulan juga, viola ini temanku sekelas. Saat itu, Viola sudah pergi terlebih dahulu bersama Hendri, pacarnya dengan mencoba mengendarai mobil barunya, mobil Cadilac. Mereka pergi dala
Hermawan masih menyumbar senyumnya, sembari menanyakan kembali kesediaanku. “ Bagaimana Ana?”Aku pun membalas senyuman Hermawan, sembari menganggukkan kepala, setuju atas tawaran yang dia berikan padaku. Hermawan pun langsung menyalakan motor Harley Davidsonnya dan menyerahkan helm padaku. Aku pun tanpa canggung lagi langsung naik di boncengan Harley Davidsonnya Hermawan. Rasanya nyaman sekali duduk di boncengan motor gede ini.Semenjak hari Sabtu itu, maka secara rutin Hermawan menjemputku. Hari-hariku pun aku lalui dengan keceriaan selalu. Hubunganku dengan Hermawan semakin dalam, apalagi mendapat dukungan dari sahabatku sekelas, Viola. Begitu juga, keluarga Hermawan sangat baik padaku. Mereka tidak menghalangi hubunganku dengan Hermawan. Bahkan mereka semua sangat merestui hubunganku dengan Hermawan.Begitu juga, bibiku sangat senang sekali tau aku menjalin hubungan dengan Hermawan yang notabene adalah atasannya di kantor. Bibikulah yang me
“Aku mengerti kekuatiran kalian. Tetapi biarkan saja Gilang ikut. Aku jamin dia tidak berani macam-macam nantinya. Keinginannya untuk ikut serta ini tentu karena didorong kesertaanku juga…Yakinlah Gilang itu sangat menyeganiku,” paparku meyakinkan teman-temanku.“Tapi…,” seru Anjar.“Sudahlah jangan pakai tapi lagi, Anjar… Ingat, jika Gilang tidak kita ikut sertakan, maka bisa saja dia akan menyulitkan pekerjaan ortu kita nantinya. Nah, kita kan menjadi serba salah. Kita tidak punya pilihan, bukan? Oleh karena itu, serahkan semua urusan padaku,” potongku. Aku mengerti Anjar mengkuatirkanku akan diperdaya oleh Gilang. “Yakinlah aku bisa jaga diri kok.”Akhirnya teman-temanku dapat menerima keputusanku, walaupun di hati kecil mereka timbul perasaan was-was. Demi menyenangkan diriku mereka tidak membantahku lagi. Begitu juga, kami tidak menolak tawaran Gilang untuk mempergunakan mobil milikn
Gilang langsung bereaksi menahan langkahku. Entah dia tau atau tidak kalau aku sebenarnya sedang bercanda. “Bukan begitu maksudku Na. Please…! Oke, aku akui aku salah…Aku minta maaf!”“Huuu…” sahutku. Senang juga hatiku dapat mempermainkan Gilang.“Ana maukan kamu berbaikan denganku?”“Oke, aku terima maafmu, tetapi dengan syarat!”“Baik Ana, apapun syarat yang kamu ajukan akan kupenuhi… Tapi jangan yang berat-berat ya…” Gilang melucu.Aku tak kuasa menahan geli mendengar suara Gilang dan mimik wajahnya memelas minta belas kasihan, sehingga aku tertawa. Tak pelak lagi aku menutupi mulutku untuk menahan rasa geliku itu. Memang konyol juga, Gilang ini.“Oke…, oke…, syaratnya kamu tidak boleh macam-macam padaku. Jangan samakan aku dengan gadis-gadis yang telah kamu takhlukkan. Kamu harus dapat menghormatiku. Kalau tidak, aku
“Selamat ya Ana! Kamu lulus menjadi mahasiswi Psikologi USU,” ujarnya, sembari langsung mencengkram jari-jemari tanganku.“Ah masa Gie… Kamu jangan bercanda, ah… nggak lucu tau,” sergahku, sembari cemberut.“Eh, lihat ini nomor 10142 dan namamu Mardiana tertera dengan jelas, berikut jurusannya PSIKOLOGI di lembar pengumuman di koran Kompas ini,” tukas Gilang, sembari mempertunjukkan lembar pengumuman padaku.“Tapi di lembar pengumuman resmi yang dikeluarkan Panitia Seleksi USU ini, namaku tidak tercantum Gie…”“Coba diselusuri namamu sekali lagi dengan teliti,” suruh Gilang. “Ya, terang saja kamu tidak menemukan namamu, pengumuman ini cacat. Bagian yang menerangkan namamu tidak tertera dengan jelas begini. Tapi yang jelas kamu lulus Ana, lihat nomor seleksimu 10142 masih bisa terbaca.”“Oh, syukurlah Gie. Aku tadi sempat frustrasi.&r
Sementara itu di tempat pemondokanku. Pada saat aku sedang bete, maka aku menyibukkan diri dengan membantu Amang boru, induk semangku berberes-beres di dapur. Karena begitu seringnya aku membantu dirinya, sehingga dia sangat menyukai dan menyayangiku. Hal yang tidak aku duga, di saat kami bercanda dia langsung menyodorkan tawaran untuk menjodohkan cucunya dengan diriku.“Ana, sebelum aku mati. Tentu aku akan sangat bahagia sekali, jika dapat melihat dirimu menjadi isteri cucuku yang aku sayangi.”Aku menganggap ucapan induk semangku itu hanya sekedar bercanda, maka akupun menjawabnya secara bercanda juga. “Boleh juga itu Amang boru, kebetulan akupun lagi jomblo ini.”“Apa kamu bilang? Jomblo? Apa pula itu jomblo, aku tidak mengerti apa yang kamu maksud itu, Ana?” tegur induk semangku, sembari mengernyitkan dahi yang memang sudah keriput itu. Dia menjadi penasaran mendengar istilah anak muda zaman sekarang.&