Share

Bab 2

“Kamu kelihatannya begitu nervous sekali Nona?” tegurnya secara halus padaku, sembari melontarkan senyum manisnya. Dia seperti mengetahui kesulitan yang sedang aku hadapi.

Dengar teguran halus tersebut langsung membuat wajahku semburat memerah. Aku menjadi malu diri, akibat kekonyolanku tadi. Aku tak menyadari di depanku sudah duduk seorang mahasiswa tampan dan mempesona. Padahal aku tidak mengetahui kalau cowok yang ada di depanku ini selalu mencuri pandang diriku. Cukup lama juga dia memperhatikan tingkah-lakuku. Ternyata dia pandai juga memanfaatkan momen untuk sekedar bertegur sapa denganku. Tanpa aku sadari juga, kelihatannya dia ada hati juga padaku. Dasar cowok…!

Kemudian lanjutnya, “Ada yang perlu saya bantu Nona?”

“Oh, tidak! Terima kasih,” jawabku singkat, tersipu-sipu. Aku semakin menunduk malu. Tapi sembari menunduk sempat juga aku lirik paras mahasiswa yang ada di depanku itu. Dadaku mendadak bergemuruh melihat wajah tampan yang ada dihadapanku ini. Wouuu… cakep sekali, batinku.  Tubuhnya pun cukup atletis, seperti Anjas Asmara gitu loh! Melihat dirinya aku sampai lupa akan tugas yang harus aku selesaikan segera. Apalagi aku tau siapa dirinya ini. Aditya Jiwandono, seorang aktivis kampus dan selalu menjadi buah bibir para mahasiswi, itu loh… Setiap mahasiswi sekampusku tak henti-hentinya membicarakan Aditya Jiwandono ini saban harinya. Mereka selalu berharap ingin menjadi pacar sang aktivis yang kesohor akan intelektualitas dan kharismatiknya ini. Seorang mahasiswa yang cerdas dan selalu dihormati dan disegani, baik oleh kalangan mahasiswa maupun dosen loh… Kebetulan Aditya Jiwandono ini, satu angkatan dengan diriku dan sama-sama duduk pada semester VII. Bedanya, dirinya jurusan Kedokteran sedangkan diriku jurusan Psikologi.

               “Benar Nona tak perlu bantuan, nih?” sambungnya lagi.

               Ngotot juga nih orang, batinku. Akupun menjadi keki juga dan dadaku berdebar-debar. Namun aku kuatkan diriku untuk mengangkat wajahku, menatap wajahnya yang mempesona itu. Tanpa sengaja mataku sempat melirik buku yang ada di tangannya. Akupun langsung terkesima dan menjatuhkan mataku pada buku Cara Cerdas (Smart) Mengatasi Kesulitan Belajar karangan Drs. Hendra Surya yang ada ditangan pemuda itu. Wah, kebetulan juga nih, ada jalan bagiku untuk menyambut tawarannya.

               “Oya, memang saya lagi butuh bantuan kamu, nih. Itupun, kalau kamu tidak keberatan. Boleh aku pinjam buku yang ada ditangan kamu itu?” sosorku dengan harap-harap cemas. Tak aku sangka buku yang aku cari ada ditangannya Aditya ini. Tapi dia tidak langsung memberi permintaanku, dia malah terus memandangiku dengan kagum. Sedangkan aku sangat menggantungkan harapan pada buku yang ada di tangan Aditya ini. “Tolong deh! Saya ada tugas mendesak nih…berkaitan dengan buku itu,” sambungku.

               Tapi, Aditya malah menjatuhkan matanya pada tumpukan buku-buku yang ada di sisi kiri mejaku dan buku yang sedang aku baca. Lalu dia memandangku lagi dengan nada keheranan.

               “Lho, bukankah dihadapan kamu sudah cukup banyak buku Psikologi Pendidikan?”

               “Memang kamu benar. Namun semua buku ini, kurang detail bahasannya, khusus masalah kesulitan belajar dan problem solvingnya. Aku yakin dalam buku Cara Cerdas (Smart) Mengatasi Kesulitan Belajar itu pasti akan ketemukan apa yang aku cari. Boleh-tidak aku pinjam sebentar  buku itu?”

               Akhirnya Aditya memahami kesulitan yang sedang aku hadapi. Dia tidak ingin membiarkan diriku dalam kebingungan terus.

               “Mengapa tidak Nona? Saya merasa senang kok, jika dapat membantu kamu. Silahkan nona pergunakan buku ini! Toh, aku sudah membaca secara menyeluruh isi buku ini.”

               Lantas tanpa babibu lagi, maka langsung saja aku sambar buku yang disodorkan Aditya itu padaku. Lalu aku bolak-balik halaman demi halaman buku itu. Tak lama kemudian, aku merasa puas setelah apa yang aku cari ternyata dibahas dalam buku ini. Sementara Aditya terus memperhatikanku, sembari mempermainkan pennya. Lalu aku mengangkat wajahku kembali, memandang Aditya dengan wajah sumringah.

“Terima kasih Aditya!”

               Tahu nggak? Aditya ini semakin terperangah melihat diriku begitu sumringah  mendapatkan buku yang sangat berarti sekali dalam perjalanan perkuliahanku. Dia semakin terkagum-kagum pada pesona kecantikan diriku. Seolah-olah sukmanya tersedot oleh magnit yang aku miliki. Keinginannya untuk lebih mengenalkupun semakin kuat. Maka dengan hati-hati dia beranikan dirinya menanyakan namaku.

“Oya, boleh aku mengenal nama kamu?”

               Aku menjadi merasa tersanjung,  dengar Aditya ingin mengenal diriku. Sudah barang tentu tanpa diminta pun, aku dengan senang hati untuk memperkenalkan diri padanya. Siapa yang tidak bangga dapat berkenalan dengan Aditya, seorang kesohor gitu loh… Yang menjadi incaran para mahasiswi USU…  Aku pun lantas mengumbar senyuman pemikatku.

               “Namaku Mardiana, tapi panggil saja aku, Ana…”

               “Ini suatu kehormatan bagiku dapat mengenal dirimu Ana…” sambutnya dengan halus dan polos tanpa ada kesan merayu. Hatiku semakin berdebar-debar. Ada gejolak perasaan menggebu-gebu menyelinap ke dalam relung hatiku, takkala Aditya berbicara padaku. Akupun langsung bereaksi spontan.

               “Idiiih…Aku menjadi malu kamu buat Adit. Kamu terlalu merendahkan diri. Siapa yang tidak mengenal dirimu di antero kampus ini Adit. Aku bukan apa-apa dibandingkan dirimu. Jangan gitu ah!!!”

               “Benar loh! Aku bicara sejujurnya. Siapa yang tidak bangga mengenal seorang gadis secantik dirimu? Kaupun asyik diajak ngobrol gitu,” pujinya.

               “Ah kamu bisa saja, Adit,” sergahku, jengah mendengar pujian Aditya. Tapi dalam hati,  aku merasa  senang gitu loh…

               “Emangnya kamu punya tugas apa Ana?” potong Aditya, mengalihkan pembicaraan.

               Akupun menjadi semakin bersemangat untuk ngobrol dengannya. “Ini, aku  sedang mendapat tugas membuat paper dengan topik masalah kesulitan belajar. Aku masih bingung menentukan sumber masalah dari kesulitan belajar itu sendiri. Apa karena tehnis atau ada hal lain yang menjadi sumber pemicunya?”

               Adityapun langsung ambil hati nih…

               “Memang benar Ana. Timbulnya masalah kesulitan belajar itu bisa jadi karena masalah teknik belajar maupun unsur lain yang menjadi tressornya, Ana.”

               Entah karena cara  bertutur atau karena fakta yang diungkapkan Aditya membuatku begitu tertarik untuk berlama-lama dengarkan Aditya. Sehingga ada keinginanku untuk tau lebih lanjut. “Lantas, pengelompokkan unsur-unsur lain yang menjadi sumber kesulitan belajar itu apa ya, Dit? Tentu kamu tidak keberatan membantuku memecahkan masalah yang sedang kubahas ini, bukan?”

Aditya pun semakin bersemangat juga untuk bertutur. Dia ingin membantuku memecahkan persoalan yang sedang aku bahas. Paling tidak kesempatan ini dipergunakannya untuk lebih mendekatkan dirinya padaku. Pdkt begitu loh…!

“Oh, tidak Ana. Aku merasa senang kok dapat berdiskusi denganmu. Yang dimaksud unsur-unsur lain itu, antara lain masalah yang timbul dari faktor eksternal maupun internal, Ana.”

               “Sumber eksternal itu apa?”

               “Lingkungan sekitar.”

               “Kalau internal, Dit?”

               Adityapun begitu antusias untuk membeberkan tahunya. Tahu nggak apa yang dikatakan…

               “Fisik dan psikis. Fisik, seperti kondisi badan yang sakit, lapar dan sebagainya. Sedangkan Psikis bersumber dari kondisi kejiwaan kita sendiri yang menjadi penghambat, ketika melakukan proses belajar.”

               “Maksudmu, Dit?” aku menjadi penasaran juga mendengar omongan Aditya.

               “Ketika kita belajar, tetapi sesungguhnya kita tidak siap untuk belajar. Kita sulit memfokuskan pikiran karena pikiran kita tersita atau melayang memikirkan hal lain yang tidak ada hubungan dengan apa yang kita pelajari. Seperti apa yang kamu lakukan barusan, ada keinginanmu untuk belajar, tetapi pikiranmu larut dalam keresahan memikirkan hal lain. Alhasil belajar seperti melakukan hal sia-sia.”

               “Ah, kamu bisa aja Dit ngeledek,”tukasku secara spontan, malu-malu.

               “Bukankah apa yang kukatakan itu memang riil, Ana? Kita akan sulit konsentrasi belajar, jika dibenak pikiran kita terjadi duplikasi pikiran dan perasaan, seperti terus menerus terbayang tentang kekasih atau dalam kondisi perasaan marah, kesal, dendam, benci, sedih dan ketakutan.”

               Benar juga fakta yang dikatakan Aditya ini. Aku langsung ngaca diri.

               “Ya, aku akui apa yang kamu katakan itu memang benar sih, Dit. Setelah aku perhatikan sumber utama kesulitan belajarku selama ini ternyata tressornya problem psikisku sendiri rupanya. Aku baru sadar sekarang dan aku sungguh beruntung mendapat pencerahan darimu Dit.”   

               Mendengar ucapanku, Aditya menjadi tersenyum, tapi bukan bangga diri loh! “Bagus sekali Ana, jika kita mulai memahami hal yang paling hakiki dari problem kita itu.” Lalu tiba-tiba Aditya mengubah nada bicaranya padaku. ”Tapi ngomong-ngomong maaf ya Ana, kalau aku bersikap lancang terhadapmu!”

               “Ah, tidak apa-apa Dit. Apa yang ingin kamu katakan, katakan saja Dit? Aku tidak tersinggung kok… Malah aku merasa senang dan berterima kasih sekali, jika kamu dapat memberi informasi lebih lanjut padaku,” ujarku, tanpa menghilangkan keseriusanku menyimak tutur kata Aditya. Aku tidak tau kemana arah pembicaraan Aditya. Tapi memang aku tertarik terhadap apa yang akan dikatakan Aditya padaku. Akupun semakin asyik ngobrol dengan Aditya. Apa karena tutur katanya yang menarik atau memang orangnya semakin mempesonaku? Kuperhatikan Aditya juga semakin asyik untuk ngobrol gitu.

               “Setelah aku perhatikan, ternyata di balik matamu Ana, aku lihat sepintas ada kabut yang selalu menyelimuti hatimu dan menjadi beban hidupmu. Walaupun fisikmu berada di sini, tetapi kadang jiwamu berada jauh di awang-awang. Seperti ada yang hilang darimu, gitu. Mungkin, sesuatu yang sangat berarti sekali dalam hidupmu, hatimu pun menjadi penuh diselimuti keresahan, sehingga kamu tidak dapat fokus terhadap apa yang kamu hadapi.”

               Deep!!!

Aku tersentak. Pernyataan Aditya langsung menyentuh perasaanku yang paling dalam. Tak aku duga Aditya mampu melongok isi lubuk hatiku. Dia seperti mampu meraba luka hatiku yang telah lama aku tutupi. Tanpa aku sadari airmataku mengalir membasahi pipiku, teringat akan masa laluku.  Baru kali ini ada orang yang mampu menyentuh titik peka perasaanku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status