Share

Jangan Bungkam Suaraku!
Jangan Bungkam Suaraku!
Author: Moody Moody

Bab 1

Dalam hidupku penuh dengan kehampaan dan kesengsaraan di bandingkan dengan kebahagian. Semua mata memandang diriku dengan pandangan yang memuakan. Mereka seolah melihat sesuatu yang tidak seharusnya berada. Bahkan dalam dekapan malam yang sunyi diriku sempat menitikan air mata. Dibalik selimut air mata terus membasahi pipiku hingga diriku terlelap. Hari demi hari ku lewati tanpa adanya senyuman ketulusan yang terpancar. Rasanya keberadaanku lenyap, hidup terasa seperti kematian.

“Membosankan, apa lagi yang harus ku kerjakan?” ucap diriku

“Ini lebih membuatku gila dibandingkan dengan tugas kuliah.”

“Menyebalkan!”

Setiap hari emosi menyelimuti diriku hingga mencapai puncaknya dan membuat seisi rumah memusuhi diriku. Semakin beranjak dewasa, ini adalah awal dari keputusanku. Meskipun diriku hidup di abad modern dimana semua orang telah memiliki aturan dalam hidup mereka dan memulai suatu keputusan berdasarkan akal sehat. Dimana seorang perempuan dihormati karena adanya emansipasi. Namun, hidupku tidak seperti itu. Bahkan diriku diatur dalam peraturan yang tidak masuk akal.

Namaku Alice Cooper diriku terlahir sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara dan merupakan satu-satunya perempuan. Kedua kakak laki-laki ku sering kali meledek diriku karena payah. Kakak pertamaku bernama Alex Cooper dan kakak kedua bernama Antonio Cooper. Ayahku merupakan seorang fisioterapi bernama Alexander Cooper dan ibuku bernama Margaretha Jolie. Ibuku kini tidak lagi tinggal di rumah ini dia lebih memilih tinggal bersama dengan keluarga barunya di kota Landmile. Sebuah kota di dekat perbukitan Milefoul. Semenjak mereka berpisah kini diriku tidak bisa lagi bertemu dengannya.

“Alice kau sedang apa? cepat pergi ke toko dan belikan ini,” ucap Antonio sambil memberikan sebuah nota yang berisi barang yang harus di beli.

“Iya. Tunggu sebentar.”

“Jangan lama!”

“Iya-iya.”

“Anak itu.”

Sebenarnya diriku ingin pergi dengan ibu karena disini menyebalkan. Tapi, pacar barunya seperti tidak menyukai diriku. Karena itulah meski ini membuatku mederita setidaknya sampai diriku menginjak dewasa. Saat itulah aku akan pergi meninggalkan tempat ini. Keesokan harinya ketika diriku baru saja membuka mata, orang-orang sebelah rumah selalu saja berisik. Suara perbaikan rumah membuatku steres dan pergi ke luar.

“Alice kau mau kemana?,” teriak Antonio kepadaku.

“Aku akan pergi keluar sebentar. Kenapa?”

“Tolong belikan cemilan dong.”

“Beli saja sendiri.”

“Hey bocah itu,” teriak Antonio suaranya yang berisik membuat seisi rumah heboh. Dan sekarang Alice pergi ke luar.

Di tengah kota yang panas, semua orang tengah beramai-ramai menghiasai jalanan kota. Mereka berjalan-jalan sepertiku tidak ada sesuatu yang seru semuanya terlihat sama saja. Sampai akhirnya, Alice datang ke sebuah kedai yang disana menyajikan berbagai macam kuliner. Dia dengan senang kemudian duduk di kursi dan memesan beberapa makanan. Alice yang baru saja tengah selesai memakan makananya, dia langsung pergi. Melihat pemandangan kota di pagi hari rasanya biasa saja. Setelah itu Alice pergi ke sebuah tempat yang terlihat seperti taman. Saat Alice asik bersantai tiba-tiba datang seseorang dengan berpakaian olahraga sepertinya dia habis berolahraga di sekitar orang itu merupakan teman kuliah Alice dia bernama Marcel.

“Alice.”

“Eh iya?”

“Sendirian saja? Dimana teman-temanmu?”

“Kau meledek ku? Kau tahu sendiri aku tidak punya teman.”

“Maaf-maaf boleh aku duduk di sini?”

“Kau pikir ini tempat pribadiku? Duduk saja tidak perlu bertanya.”

“Wah seperti biasanya ya Alice memang super galak.”

“Ada apa? kau baru saja habis olahraga?”

“Ah tidak ada apa-apa aku hanya ingin kemari kebetulan tadi habis joging. Alice sedang apa di sini?”

“Menikmati kesuramanku.”

“Eh?”

Alice dan Marcel terus mengobrol tiada habis. Mereka memang terlihat dekat karena sesama teman di kampusnya. Alice merupakan anak yang baik dan dia juga memiliki wajah yang super cantik bukan hanya itu saja dia juga sangat pintar. Tapi dia tidak punya teman. Selama ini dia selalu menghabiskan waktu sendirian. Selama mengobrol dengan Alice di lihat dari wajahnya, Marcel sepertinya menyukai Alice. Mereka terus mengobrol sampai akhirnya mereka pindah tempat ke sebuah cafe yang tidak jauh dari sana.

“Kau mau pesan apa?” tanya Marchel kepada Alice yang tengah melihat daftar menu.

“Hmm.... pasta sepertinya enak.”

“Kau akan pesan itu?”

“Kurasa iya. Bagaimana denganmu?”

“Aku juga akan memesan itu.”

“Okay.”

“Permisi,” ucap Alice kepada seorang pelayan dan kemudian pelayan itu menghampirinya.

“Anda mau pesan apa?” ucap pelayan

“Dua pasta dan dua lemonade.”

“Baiklah di tunggu.”

“Okay.”

Sambil menunggu makanannya datang, Alice mengecek ponselnya dan ternyata ada beberapa pesan yang masuk. Alice kemudian membacanya dan ternyata itu hanya pesan dari pihak perpustakaan mengenai buku yang di pinjamnya. Tidak lama kemudian, makanannya datang.

“Makanannya sudah datang.”

“Tidak lama juga ya.”

“Kelihatannya enak.”

“Cobalah bagaimana rasanya?”

“Ini enak kau mau?”

“Ah itu aku juga memesan makananku hehe tapi jika itu boleh tidak masalah.”

Mereka berdua tengah menghabiskan makanan yang mereka pesan. Keharmonisan yang membuat suasana menjadi hangat. Sebenarnya Alice merupakan anak yang tidak pernah membuka diri kepada siapa pun dan dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Kadang sikap independentnya itu membuat orang disekitarnya menjadi iri dengki dan bahkan merasa rendah diri. Kecuali Marcel dia memang tidak mempedulikan hal tersebut dan terus saja mengajak Alice mengobrol yang awalnya tidak pernah mengajak Alice mengobrol. Karena suatu hal mereka jadi lebih dekat seperti teman baik.

“Setelah ini kau mau kemana?” tanya Marcel kepada Alice.

“Kurasa aku akan berjalan-jalan lagi.”

“Bagaimana kalau pergi ke cafe internet?”

“Oke.”

Keduanya sama-sama suka bermain game dan benar saja mereka memang pergi ke sana bersama. Tidak jauh dari tempat mereka tadi makan cafe internet berada di lantai dua. Di sana kebetulan sedang tidak terlalu ramai dan searang mereka duduk di kursi yang bersebelahan. Kemudian menyalakan monitor dan mulai bermain game. Tempat itu memang sering didatangi oleh banyak anak muda karena merupakan tempat yang bagus dan juga terdapat kantin yang menyediakan makanan. Jadi tidak akan kelaparan meskipun bermain sampai larut malam. Di abad ini internet memang sudah banyak digunakan bahkan sudah seperti kebutuhan dasar manusia dan lagi hampir semua orang sudah dapat mengeksesnya dan memilii komputer di rumah masing-masing. Meski begitu bisnis cafe internet masih menjadi populer dan kini berbagai macam dengan menyediakan fasilitas yang uni membuat anak muda tetap pergi ke cafe internet.

“Ah sial aku kalah.”

“Kau harus battle royal jika tidak mau cepat kalah. Jangan main sendirian.”

“Ah itu merepotkan.”

“Tidak juga. Kalau begitu aku invite ya.”

“Terserah.”

“Lihat aku sudah mengundangmu. Sekarang cepat acc.”

“Iya iya sudah kok.”

Mereka berdua terus bermain bahkan satu jam sudah berlalu. Memang tempat ini sangat cocok untuk bermain game seharian bahkan sampai subuh tidak masalah karena pemilik tempat selalu memperbolehkan menginap asalkan membayar saja. Sangat menarik semua orang yang datang kemari tidak terpaut usia mereka yang merasa tertarik dan memiliki hobi main game pasti akan datang. Tidak lama kemudian Alice mendapat telepon dari Antonio.

“Hey kau dimana cepat pulang.”

“Sedang ada urusan sebentar. Memangnya ada apa?”

“Pokonya cepat pulang. Kau tidak dengar.”

“Iya iya,” ucap Alice dan kemudian dia menutup teleponnya.

“Siapa itu?” tanya Marcel

“Saudaraku. Dia menyuruhku pulang.”

“Kau akan pulang secepat itu?”

“Mau bagaimana lagi, jika tidak dia akan mengomeliku seumur hidupnya.”

“Kalau begitu hati-hati.”

“Okay. Sampai jumpa.”

Alice kemudian pergi dari Cafe Internet dan hendak pulang. Tiba-tiba Antonio mengirim pesan kepadanya dan menyuruhnya untuk membelikan sandwich. Dengan ekspresi kesal Alice mengumpat.

“Sialan. Anak ini bisanya hanya memperbudak. Kenapa tidak beli saja sendiri aghhhh,” gerutu Alice

Setelah itu ada panggilan masuk ke ponselnya dan Alice langsung mengangkatnya.

“Halo?”

“Halo Alice. Kau sekarang ada di mana?”

“Oh, Theresia. Maaf aku sedang ada di luar. Ada apa? apa terjadi sesuatu?”

“Tidak. Sepertinya kau sedang sibuk. Lain kali aku akan meminta bantuanmu.”

“Kenapa tidak sekarang saja?”

“Ah, tidak apa-apa. sampai nanti.”

Theresia mematikan panggilannya. Alice yang tengah berdiri di seberang jalan kemudian di buat bingung. Namun, dia harus melakukan permintaan Antonio. Membelikannya cemilan. Alice kemudian menyebrang dan menuju ke sebuah toko kue yang ada di sana. Sayangnya, toko ini sedang penuh oleh pengunjung karena itu dirinya harus menunggu untuk beberapa saat.

“Permisi, saya pesan sandwich apa pun itu satu kotak,” ucap Alice

“Baik di tunggu ya.”

“Iya.”

Ketika Alice sedang menunggu pesanannya, lagi-lagi Antonio mengirimkan pesan teks lagi yang menyuruhnya untuk membelikan ice americano. Alice yang sudah muak dengan permintaannya itu kemudian menelponnya.

“Halo, Antoni!”

“Ada apa? kau sudah selesai membawa pesananku?”

“Kau pikir aku apa! lain kali beli saja sendiri! Memangnya aku pembantumu hah!”

“Hoh, kau mulai protes rupanya.”

“Apa-apaan dengan reaksimu itu.”

“Ayolah. Aku hanya memintamu membelikannya nanti juga aku membayarnya.”

“Hentikan omong kosongmu dan pergi saja sendiri. Kau ini merepotkan.”

Alice langsung mematikan panggilannya dan sekarang dia sudah membawa satu kotak sandwich yang di pesannya itu. Dirinya kemudian berjalan menuju ke halte bus. Setibanya di sana, Alice harus menunggu bus selama beberapa menit sampai akhirnya dirinya terjebak oleh hujan.

“Hari ini sial sekali,” gumam Alice

“Padalah aku hanya ingin minggu tenang tanpa beban.”

Dirinya terus bergumam di bawah derasnya hujan. Ketika dia duduk di sana, seorang gadis dengan basah kuyup datang dan duduk di samping Alice. Melihanya yang seperti itu, Alice kemudian melepasakan jaketnya dan memberikannya kepada gadis itu agar tidak kedinginan.

“Ini, pakailah,” ucap Alice sambil memberikan jaketnya

“Apa tidak apa-apa? bagaimana dengan anda? Anda juga bisa kedinginan.”

“Tidak masalah. Tubuhku tidak mudah sakit.”

“Oh, terimakasih.”

“Iya sama-sama.”

Hujan semakin deras dan bus belum juga datang. Alice mulai merasa kesal akan hal itu namun dia mencoba untuk menahannya. Tidak lama kemudian, ketika dirinya asik memainkan game, bus itu akhirnya datang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status