Share

Bab 4

Makanan yang tersaji di hadapan mereka berdua terlihat sangat menggiurkan. Tidak di sangka bahwa semua ini akan terjadi. Berawal dari sebuah ketidak sengajaan menjadikan dirinya pembicaraan orang sungguh luar biasa. Selama ini dirinya memang tidak mempedulikan hal yang tidak penting dan karena itulah hanya berfokus kepada diri sendiri. Alice tumbuh dalam lingkungan yang terbilang memiliki keanehan sehingga membuat dirinya hanya terfokus akan apa yang menjadi tujuannya. Walau banyak sekali persoalan yang membuat dirinya tertekan namun semua itu tidak membuat dirinya goyah dalam sekali serangan bahkan beribu kali pun. Semakin lama dirinya itu hidup maka akan semakin besar hambatan yang ada dihadapannya. Sekarang waktu senggang untuk menikmati istirahat sebelum akhirnya kembali menikmati belajar di kampus. Alice dan juga Theresia berada di cafetaria sambil menikmati makanan yang mereka pesan sebelumnya. Tidak perlu menunggu waktu lama akhinya pesanan yang mereka pesan datang dihadapan mereka berdua. Seorang pelayan mengantarkannya kepada mereka.

“Permisi, ini makanannya silahkan untuk dinikmati,” ucap pelayan itu dengan ramah kepada mereka berdua.

“Wow ini kelihatan enak sekali. kau pesan apa?” tanya Alice kepada Theresia.

“Pasta daging. Aku sudah lama ingin sekali makan ini.”

“Sekarang sudah kesampaian.”

“Benar. hahaha. Eh kau pesan apa?”

“Hanya salad sayur.”

“Apa kau vegetarian?”

“Tidak juga. Kebetulan hanya sedang ingin makan ini.”

“Kukira kau vegetarian.”

“Itu mustahil.”

“Oh iya, akhir pekan ini bagaimana kalau mengerjakan tugasnya di tempat lain?”

“Boleh. Memangnya dimana?”

“Nanti akan ku carikan. Jangan khawatir.”

“Okay.”

Mereka berdua menghabiskan makanannya dalam waktu singkat dan sekarang sedang bersiap untuk pergi ke kelas lagi. tidak tersa waktu semakin berjalan dengan cepat. mereka berdua datang ke kelas untuk menghadiri mata kuliah terakhir hari ini dan begitu mereka berdua datang ternyata professor juga datang. Rasanya keberuntungan untuk pulang cepat semakin terasa. Alice dan Theresia mengikuti pelajaran dengan baik dan itu berjalan sampai waktu menunjukan untuk pulang dari kampus. Ketika Alice hendak pulang dari kampus tiba-tiba saja dirinya harus pergi ke suatu tempat karena baru saja seseorang mengirimkan pesan teks kepadanya dan dengan cepat dirinya berpisah dengan Theresia dan menuju ke tempat itu seorang diri. Sesampainya di tempat yang dimaksud ternyata adalah sebuah restoran yang bergaya klasi vintage. Seseorang duduk di kursi meja yang sudah di pesan sebelumya. Dengan perlahan Alice mendatangi orang itu. awalnya dirinya merasakan tekanan yang luar biasa namun dia mencoba untuk terlihat baik-baik saja. Begitu Alice datang orang itu melihatnya dan kemudian tersenyum kepada dirinya seakan dia orang yang baik.

“Duduk lah. kau tidak perlu berdiri seperti itu.”

“Kenapa kau memanggiku kemari? Apa yang kau inginkan?”

“Wah kejam sekali. seharusnya kau tidak berkata seperti itu Alice Cooper.”

“Jika kau tidak ada yang harus dibicarakan lebih baik aku pergi. Selamat tinggal.”

“Dia akan pergi ke luar negeri.”

“Apa maksudmu?”

“Kau tidak dengar? Ku bilang dia akan pergi ke luar negeri dan meninggalkanmu selamanya.”

“Lalu? Untuk apa kau memberitahuku?”

“Karena dia tidak akan mungkin memberithumu loh. Terlebih lagi sekarang kau sudah bukan orang yang penting. Kau tahu kenapa? Silahkan bercermin.”

“Sialan. Kau.”

“Kau akan menghajarku di tempat umum? Berani juga yak bocah ini.”

“Kalau kau selesai bicara aku akan pergi.”

“Hanya itu saja yang ingin ku katakan. Lagi pula tidak akan seru jika ku katakan di dalam telepon.”

“Menjijikan.”

“Selamat tinggal Alice. Ku katakan untuk mewakilinya.”

Setelah selesai berbicara dengan orang itu tidak lama kemudian Alice meninggalkan restoran. Wajahnya yang diliputi amarah membuat dirinya menedang kaleng yang ada di jalan itu dengan penuh amarah. Selama ini dirinya sudah menahan diri untuk ini dan ternyata terulang lagi hari ini tepat di hari dirinya berulang tahun. Kehidupannya yang penuh dengan kesedihan membuat dirinya merasa sesak untuk waktu yang lama dan kali ini luka itu mulai terbuka lagi perlahan menggerogoti tubuhnya. Alice berjalan menyusuri jalanan yang ramai. Dirinya kemudian harus bertabrakan dengan orang lain yang dia lewati.

DUKK

“Ah maaf,” ucap Alice dengan sopan.

Wajahnya memperlihatkan kemarahan sekaligus kesedihan yang mendalam. Sesaat kemudian dirinya datang ke sebuah tempat karoke dan menyanyikan lagu balad selama tiga jam seorang diri di sana. Terlihat raut wajahnya seakan dirinya baru saja dicampakan membuat suasana kelabu menyelimuti dirinya. Begitu selesai menyanikan beberpa album dia kemudian pergi ke suatu tempat yang tidak lain adalah cafe bar. Di sana Alice memesan alkohol dan kemudian meminumnya. Bartender yang berada di hadapannya merasa kasihan dengan kondisinya itu dan kemudian menyuruhnya untuk berhenti minum.

“Hey nak, hentikan. Kau bisa saja muntah,” ucap bartender itu.

“Biarkan saja. Ku muntahkan seluruhnya di hadapanmu.”

Pembicaraannya semkin lama semakin kacau karena pengaruh alkohol dan tidak hanya itu dirinya mulai mengigau dengan suara keras hingga membuat orang lain yang berada di sana melihat ke arahnya. Mereka yang ada di sana saat itu hanya menatapnya saja dan kemudian membiarkan dirinya terus seperti itu sampai tertidur untuk sementara. Alice sekatrang berada di kehidupan masa kecilnya dimana dirinya selalu menangis dan lagi banyak orang yang mengganggunya karena hubungan keluarga mereka. Dengan wajah sedih dirinya terus menangis begitu anak-anak yang bermain dengan dirinya mencemoohnya sampai mengucilkannya. Jauh di lubuk hatinya dia sangat terluka dan itu rasanya pedih bagaikan tersiram air asam. Semakin lama ingatan itu melekat dalam kepalanya dan semakin jelas terlihat. Saat ini Alice yang sednag tertidur itu pun kemudian menitikan air matanya tanpa disadari dan tidak lama kemudian dia bangun dengan keadaan sakit kepala yang masih berada di cafe bar itu tepatnya di hadapan bartender yang sedang meracik alkohol.

“Bagaimana tidurmu nak? Sepertinya kau mengalami kejadian buruk. apa sekarang sudah mulai membaik?”

“Ah iya. Aku lupa kalau diriku sedang mabuk. Jam berapa sekarang?”

“Sekarang sudah jam 6 sore.”

“Oh begitu.”

“Kau tertidur selama tiga jam.”

“Apa? selama itu?”

Cafe bar yang berada di ruang bawah tanah ini memang merupakan tempat favorit untuk minum-minum bagimana pun kondisinya karena buka 24 jam. Biasanya di sini banyak sekali orang yang datang. Namun sekarang rasanya sepi. Alice yang sudah bangun itu kemudian dia mengumpulkan nyawanya dan tidak hanya itu saja dia juga pergi ke toilet. Sesampainya di dalam toilet dirinya memuntahkan semua isi perutnya hingga suaranya terdengar sampai ke luar toilet. Begitu dirinya merasa lebih baik dia kemudian bercermin dan melihat wajanya yang sudah kacau itu lalu membasuh wajahnya dengan air di wastafle dengan perlahan sampai dirinya sudah tidak berantakan lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status