Share

Bab 6 Mendapat Bea Siswa

Habib masih menangis sembari memegangi lututnya yang berdarah akibat terjatuh sewaktu mengejar ayahnya. Ada rasa ngilu yang terkoyak menyayat hatiku. Tega-teganya Mas Anan tidak mengakui darah dagingnya sendiri. 

"Nak, sudah jangan menangis lagi. Ayo bangunlah!" titahku pada Habib.

Baju lusuh, seragam sekolah yang ia pakai telah menjadi perbedaan status sosial di mata ayahnya.

"Habib Sayang, ayo kita keliling mall ini. Ibu akan belikan mainan mobil-mobilan yang bagus untukmu," bujuk  Bu Helmi.

Bu Helmi menimpali pembicaraanku dengan Habib yang masih terisak sejak pertemuan dengan Mas Anan tadi yang dramatis.

Binantang saja tahu kalau itu anaknya, tapi Mas Anan seorang Ayah tega melalaikan buah hatinya demi harta, tahta dan wanita.

Masih segar dalam ingatanku bagaimana dulu Mas Anan pergi berpamitan merantau pergi mengadu nasib ke Jakarta untuk mencari peruntungan nasib. Ia berpesan agar menjaga kedua anaknya. Bagaimana saat itu aku melihat air matanya berurai membasahi pipi saat memeluk dan mencium ke dua buah hatinya sebelum berpamitan untuk berpisah.

"Dek Ay, jaga anak-anak dengan baik, ya selama Mas pergi!" ucapnya lirih.

Mata Mas Anan terlihat berkaca-kaca. Lambat-laun air mata itu jatuh membasahi pipinya.

Aku mengangguk pelan. "Iya, Mas."

Sebelum Mas Anan pergi aku menyalaminya dengan takzim. Mas Anan membalas dengan pelukkan salam perpisahan.

Dengan derai air mata ia mengecup keningku. Aku dan anak-anakku dengan berat hati melepas kepergiannya. Keinginannya begitu kuat untuk pergi merantau ke Jakarta mencari peruntungan nasib. Dari kerja serabutan berharap bisa berubah nasibnya menjadi seorang jutawan sukses.

"Ay, " Bu Helmi menyapaku dengan menepuk pundakku hingga membuyarkan lamunanku seketika.  "Ayo kita lanjutkan keliling mall untuk membeli mainan anak-anak dan keperluan yang lain."

Aku mengangguk pelan dan mengikuti langkah bu Helmi. "Iya, Bu."

Hal selanjutnya yang di lakukan Bu Helmi untuk menghibur Habib dengan menunjukkan beberapa mainan yang ada di mall itu.

Bu Helmi juga membelikan mainan mobil-mobilan yang belum pernah aku belikan untuk Habib. Sementara Nara dibelikan mainan boneka beruang kecil yang lucu.

Aku tersenyum kali ini, di tengah orang-orang yang menjauh karena kemiskinanku masih ada orang baik seperti Bu Helmi yang mau berbagi rezeki dan kasih sayang yang tulus.

Setelah mendapat semua kebutuhan yang di perlukan Bu Helmi juga mengajak kami makan di restauran yang ada dalam mall tersebut. Habib tersenyum riang saat mendapat makanan mewah. Ia makan dengan lahapnya hingga tidak menyisakan nasi sedikit pun di piringnya.

"Makan yang banyak, ya, Bib? Biar cepat besar dan jadi anak yang pintar," ujar bu Helmi.

"Makanannya enak, Bu. Habib, suka," cerocosnya.

mengunyah ayam yang dibalut tepung yang di namai kentucky fried chicken.

Aku hanya mengelus kepala Habib saat ia makan dengan lahapnya memakai menu ayam goreng populer yang di sukai banyak anak-anak.

Dadaku bergemuruh menahan sesak, ternyata bahagia itu sederhana membuat anak tersenyum. Memberi makan enak dan mainan itulah yang seharusnya di lakukan oleh para orang tua. Tapi, berbeda denganku. Keadaanlah yang memaksa tidak bisa melakukan itu semua.

"Pelan-pelan makannya, Nak! Jangan buru-buru, nanti bisa kesedak," ujarku.

"Iya, Bunda," sahut Habib berkata dengan makanan penuh di mulutnya.

***

Dalam perjalanan pulang kami semua terdiam tanpa berbicara satu sama lain. Habib dan Nara sudah tertidur dalam pangkuanku dengan perut yang kenyang.

Hari ini mereka tidak akan kelaparan karena di teraktir Bu Helmi dengan makanan yang enak. Mereka tidak akan makan singkong rebus di rumah karena Bu Helmi juga membelikan tiga kotak makanan yang berisi ayam kentucky yang dibeli dari mall tadi. 

"Ayi, maafkan, Ibu karena tidak memberitahukan padamu kalau sebenarnya suamimu ada di kota ini," sela bu Helmi membuka percakapan.

"Maksudnya?"

"Sebenarnya, Bapak dua hari yang lalu bercerita pada Ibu kalau suamimu ada di kota ini. Anan, juga akan membangun swalayan besar di pinggiran kota sebelah kampung kita dengan membeli tanah beberapa warga kampung."

Aku terperanga mendengar penuturan Bu Helmi.

"Jadi, Ibu sudah tahu kalau Mas Anan ada di kota ini?"

Bu Helmi mengangguk pelan. "Iya."

"Kenapa, Ibu diam saja tadi sewaktu, Habib hendak mengejar ayahnya."

"Ibu, tidak bisa menghalangi seorang anak yang ingin memeluk ayahnya. Di dunia ini hanya ada mantan suami atau istri, tapi tidak ada yang namanya mantan anak atau mantan orang tua," jelasnya.

"Tapi, Habib masih kecil, Bu. Belum mengerti keadaan. Alangkah baiknya bila tadi tidak bertemu dengan ayahnya," lanjutku.

Bu Helmi menarik napas panjang hingga terdengar desahannya. "Demi harta dan wanita suamimu tega berkhianat."

Aku terdiam mendengar ucapan Bu Helmi. Memang apa yang di katakannya sangatlah benar. Di dunia ini tidak ada yang namanya mantan anak atau mantan orang tua. Mas Anan sudah menyia-nyiakan darah dagingnya sendiri demi ambisinya mendapatkan kedudukkan tinggi dan terhormat.

Setiba di rumah,  mobil yang di kemudikan sopir pribadi Bu Helmi berhenti. Aku melihat Ustaz  Rahman sudah menunggu di depan rumah dengan duduk di atas motor meticnya.

Aku turun dengan menggandeng Habib dan membawa Nara dalam gendongan. Aku sapa Ustaz Rahman dengan mengucap salam.

"Asalamualaikum, Ustaz," ucapku.

"Waalaikumsalam," jawab Ustaz  Rahman.

Bu Helmi turun dari mobilnya. Ia menghampiri Ustaz  Rahman sembari membawakan barang belanjaan yang  dihadiahkan padaku.

"Eh, ada Ustaz Rahman. Apa kabar Pak Ustaz?" tanya Bu Helmi.

"Baik, Bu," jawabnya mengulas senyum.

"Ayi, Habib, ini barang kalian. Ibu, pamit pulang ya?" kata Bu Helmi sembari menyerahkan kantong plastik yang ia jinjing.

"Iya, Bu. Makasih ya, sudah ajak Habib, Adik dan Bunda jalan-jalan," ucap Habib.

Bu Helmi tersenyum ramah. "Iya, sama-sama."

Setelah itu ia membalikkan tubuhnya masuk ke mobil dan mengucap salam.

"Mari, Ustaz,  Ayi, Habib. Asalamualaikum," ucapnya.

"Waalaikumsalam," jawab kami serempak. Mobil yang dinaikki Bu Helmi lambat-laun menghilang di balik tikungan.

Aku tidak menyuruh Ustaz Rahman masuk ke dalam karena takut menimbulkan fitnah. Kami hanya berdiri di depan rumah saja berempat.

"Maaf, Ustaz. Ada perlu apa datang ke sini?" tanyaku kemudian.

"Kami dari pihak sekolah sudah rapat bersama Dewan guru dan Kepala sekolah. Besok, Habib sudah bisa masuk sekolah kembali seperti biasa," jelasnya.

"Hore, besok Habib masuk sekolah kembali," sela Habib kegirangan.

Ia berjingkrak-jingkrak kesana-kemari mendengar kabar baik yang di sampaikan Ustaz  Rahman.

"Tapi, uang sekolah Habib belum  dilunasi, Ustaz," potongku.

"Pihak sekolah sudah meringankan biaya uang sekolah Habib dengan memberi biaya bea Siswa. Untuk uang sekolah yang menunggak tiga bulan aku sudah melunasinya secara pribadi," lanjut Ustaz Rahman.

Aku menarik napas panjang dan menghembuskan secara perlahan. "Maaf, Ustaz. Jadi merepotkanmu."

Ustaz  Rahman menggeleng pelan sembari tersenyum. "Tidak ada yang di repotkan, Ay. Habib, anak yang cerdas dan pintar, siapa pun akan tertarik untuk membantunya."

"Sekali lagi makasih, Ustaz.  Sudah membantu meringankan biaya sekolah Habib," tukasku.

"Sudah kewajiban sesama manusia tolong-menolong, Ay," sahutnya tersenyum. "Kalau begitu aku permisi pulang. Asalamualaikum."

Aku mengangguk. "Waalaikumsalam."

Kami bertiga mengantar kepulangan Ustaz Rahman sampai di pinggir jalan. Habib melambaikan tangan kepada Ustaz Rahman.

"Da ... Ustaz."

Ustaz  Rahman membalas dengan lambaian tangan kembali sembari tersenyum. Setelah itu motor yang di kenderainya melaju menyusuri jalanan desa hingga menghilang menjadi titik terkecil.

Setelah kepergian Ustaz Rahman kami bertiga masuk ke dalam rumah. Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore ketika Habib berpamitan untuk pergi mengaji ke rumah Ustaz  Rahman sekaligus mengajari anak-anak yang lain.

Habib adalah anak yang cerdas dan juga pintar mengaji. Di usianya yang memasukki 11 tahun sudah bisa membaca Al-Qur'an dengan fasih dan juga merdu. Sering kali ia dipanggil mengisi pengajian para Ibu-Ibu kampung hanya untuk sekedar membaca Al-Qur'an. Biasanya untuk mengisi atau membuka pengajian ia akan dihadiahi makanan atau uang jajan ala kadarnya sebagai ucapan terimakasih.

"Bunda, Habib mau mengaji dulu, ya," pamit Habib.

Aku mengiyakannya dengan mengangguk. Ia pergi mengaji dengan memakai baju koko pemberian Mas Anan kemarin lengkap dengan pecinya.

"Hati-hati di jalan, Nak!" ucapku.

"Iya, Bunda. Asalamuaalaikum," ucapnya sebelum melangkah keluar rumah.

Tak lupa mencium tanganku sebelum berpamitan.

"Waalaikumsalam," jawabku melepas kepergiannya.

Habib melambaikan tangan padaku dan juga Nara saat berada di jalan. 

***

"Asalamualaikum," ucap Habib memberi salam ketika masuk ke dalam rumah Ustaz Rahman.

"Waalaikumsalam," jawab Ustaz  Rahman.

Anak-anak sudah berkumpul di dalam rumah Ustaz  Rahman dalam ruangan kusus yang disediakan untuk anak mengaji. Mereka berkumpul dan berbaris rapi dan tertib menghadap ke arah papan tulis. Sebelum mengaji Ustaz  Rahman akan terlebih dahulu memberikan materi tentang huruf-huruf hijaiyah.  Setelah selesai menjelaskan huruf hijaiyah maka akan di mulai pengajian. 

Habib mengajar anak-anak yang masih tahap iqro satu dan dua. Sementara Ustaz  Rahman akan mengajari anak yang lain dari tahap selanjutnya hingga sampai Al-Qur'an. Hingga menjelang isya baru akan selesai acara ngaji dan sholat isya bareng di rumah Ustaz Rahman.

Acara ngaji dan salat isya sudah selesai di laksanakan. Anak-anak sudah pulang ke rumah masing-masing dengan di jemput para orang tua. Kalau Habib sendiri tidak pernah aku jemput pulang dari rumah Ustaz Rahman karena ia selalu mengantarkan Habib pulang tepat waktu sehabis salat isya. 

Deru suara mesin motor berhenti tepat di depan rumah. Ustaz  Rahman datang dengan mengantar Habib pulang. Biasa ia akan pulang langsung setelah mengantar sampai depan rumah. Berbeda dengan malam ini, sengaja singgah karena akan memberi kabar baik. Dari wilayah propinsi akan mengadakan lomba MTQ. Ustaz Rahman ingin mengajukan Habib agar mengikuti perlombaan tersebut dengan hadiah besar.

"Asalamualikum," ucapnya sopan.

"Waalaikumsalam," jawabku sembari menyambutnya di depan pintu.

Aku tidak pernah mengizinkan Ustaz Rahman untuk masuk setiap kali berkunjung kerumah, takut menimbulkan fitnah.

"Ayi, aku punya kabar baik untuk Habib," ucapnya.

"Kabar baik apa Ustaz?" tanyaku penasaran.

"Wilayah sepropinsi dari seluruh Indonesia akan mengadakan lomba MTQ yang di adakan pada bulan depan nanti di kota DKI Jakarta. Aku berniat mendaftarkan Habib ikut lomba, agar dia bisa mengembangkan ilmunya," jelas Ustaz  Rahman.

"Tapi, aku tidak punya biaya untuk pergi ke sana, Ustaz," sahutku jujur.

Ustaz  Rahman tersenyum. "Kamu tidak usah kawatir masalah biaya. Jika, Habib lulus seleksi maka semua biaya akan di tanggung oleh pihak penyelenggara," lanjutnya.

Aku hanya mengangguk mengiyakan ucapan Ustaz  Rahman yang memilih Habib untuk mengikuti lomba MTQ tingkat propensi.

***

Bersambung.

Jangan lupa like dan komen ya guys. Kasih dukungan sama author.

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Sudarti Darti
Ya Allah..masih ada kehidupan yg seperti ini.. rasanya pilu banget..hati terasa diiris-iris.sabar ya Habib..
goodnovel comment avatar
Wagirin
Dimana sekolah bayar, terus mengapa jarik dan baju sekolah Habib yg pudar warnanya tdk di belikan Bu Hilmi.. sebenarnya tanpa kita sadari di sekitar kita, banyak anak2 yg kurang beruntung seperti Habib..
goodnovel comment avatar
Nur Shilvana
sumpah pengen nangis baca ini, rasa dada ini mak serrr...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status