Mentari pagi masih terlihat malu-malu muncul di garis cakrawala. Udara yang terasa dingin menusuk kulit pun tidak mengendorkan semangatku untuk bangun melakasakan semua kegiatan.
Pada pukul empat pagi aku sudah bangun untuk melaksanakan salat tahajud setelah itu aku melanjutkan mengaji membaca Al-Qur'an sampai menjelang subuh. Baru setelah itu aku akan menyiapkan sarapan untuk ke dua buah hatiku. Sudah menjadi kebiasaan setiap hari senin dan kamis aku akan melaksanakan puasa sunah. Kebiasaan ini sudah aku jalanani sejak masa gadis dulu.
Kedua orang tuaku bukanlah berasal dari orang kaya. Tapi, hanya penduduk biasa yang sehari-hari hanya bertani. Itu pun menjadi buruh ladang di tempat warga desa yang meminta jasanya. Kehidupan yang di jalananinya bisa terbilang sederhana. Meskipun aku terlahir dari keluarga tak mampu tapi kedua orang tua selalu taat menjalankan ibadah.
Begitu pun juga denganku yang tidak pernah lepas dari didikkan orang tua yang mengutamakan agama.
Selain punya wajah yang cantik aku juga punya suara yang merdu dan fasih dalam membaca Al-Qur'an. Sifat Habib yang pandai membaca dan menghafal ayat suci di dapat dariku yang gigih dalam mengajari. Hingga di usianya yang masih relatif muda Habib sudah pintar membaca ayat suci serta menghafal beberapa zus.
"Bunda," sapa Habib.
"Iya, Nak," sahutku.
Meletakkan sepering nasi dengan lauk tempe goreng di atas balai bambu.
"Hari ini, Ustaz Rahman akan membawaku untuk ikut seleksi MTQ. Doa'kan aku menang biar lulus seleksi, ya, Bun," ucapnya sembari menyendokkan nasi ke mulutnya.
"Iya, Nak. Aamiin. Bunda selalu berdoa untukmu agar kamu menjadi anak yang sholeh dan berbakti pada orang tua."
"Kalau, Habib menang nanti, hadiahnya buat Bunda," ucapnya polos.
Habib terus saja berkata sembari mengunyah nasi yang ia suapkan dalam mulut.
Aku terharu mendengar ucapan Habib. Seketika air mata ini meluncur begitu saja membasahi pipiku.
"Bunda, bangga padamu, Nak," tuturku sembari membingkai wajahnya.
"Bunda, jangan menangis! Jika, Habib besar nanti akan membuat hidup Bunda bahagia. Habib, janji tidak akan buat Bunda susah," lanjutnya sembari mengusap air mataku.
Kupeluk tubuh Habib yang kurus dan kudekap dengan penuh kasih sayang. Cita-citanya sungguh mulia setinggi langit ingin membuatku bahagia.
"Bunda, gak nangis, Nak. Bunda, bangga punya anak sepertimu yang punya cita-cita ingin membahagiakan orang tua."
"Jika, Habib menang dalam lomba MTQ maka semua hadiahnya buat Bunda. Bunda, bisa beli beras, lauk, serta baju baru dan mukena yang cantik buat salat," ujarnya.
"Aamiin. Bunda, akan doa'kan yang terbaik untukmu, Nak."
Habib terus saja berkata sembari mengunyah makanannya hingga nasi di piring sudah tak tersisa lagi.
"Bunda, Habib pamit, ya ke sekolah," lanjutnya.
Sebelum pamit ke sekolah dahulu menyalami dan mencium punggung tanganku.
"Hati-hati, Nak! Dan jangan lupa salat, jangan buat Ustaz Rahman repot sesampainya di sana," ucapku.
Kumasukkan bekal dalam tas Habib untuk makan siang nanti karena sehabis pulang sekolah ia akan langsung mengikuti audisi agar bisa lulus mengikuti perlombaan.
"Iya, Bunda. Asalamualaikum," ucapnya.
"Waalaikumsalam," jawabku.
Habib pergi dengan di jemput oleh Ustaz Rahman dengan mengendarai motor metic.
Di pinggir jalan Ustaz Rahman sudah menunggu dengan memakai helem dan jaket warna hitam. Sekilas ia tersenyum ramah saat bertatapan mata. Senyum yang manis tersungging dari bibirnya yang tipis merah muda. Ustaz muda ganteng dan juga kaya. Banyak di idolakan oleh gadis-gadis muda di Kampung ini.
"Mari, Ay," ucapnya berpamitan menekan tombol telekson.
Aku mengangguk sembari tersenyum. "Iya, Ustaz."
***
Tiba di tempat audisi Ustaz Rahman dan Habib segera mengambil nomer urut dan mendaftar sebagai peserta. Ada muridnya sekitar lima orang yang mengikuti audisi membaca Al-Qur'an untuk mengikut perlombaan MTQ tingkat propinsi. Semua calon Qori yang di bawa Ustaz Rahman adalah pilihan yang sudah benar-benar lulus tahap uji coba.
"Habib, Oman, Irfan, Maulana, Zain, ini nomer urut peserta kalian," Ustaz Rahman menyerahkan nomer urut tersebut sesuai dengan nama yang tertera dalam papan nama tersebut.
Habib dapat nomer urut 105, nomer urut pertama dari teman-temanya. Selanjutnya nomer urut berada nomer urut teratas temannya antara 106-110.
"Ustaz, izin salat zuhur ya," sela Habib.
Dari sekolah perjalanan menuju tempat audisi memakan waktu satu jam hingga belum sempat melaksanakan salat zuhur.
"Ayo anak-anak kita laksanakan salat zuhur! Sehabis itu kita makan siang sembari menunggu nomer antrian," ucap Ustaz Rahman memberi penjelasan. Seraya membawa anak didiknya menuju musala yang sudah di sediakan pihak panitia untuk melaksanakan kewajiban lima waktu.
Penyelenggaraan audisi di lakukan pada aula yang terletak di tengah kota. Satu-persatu peserta nomer urut maju mengikuti audisi baca Al-Quran hingga tiba giliran Habib untuk membaca di atas podium yang sudah disediakan panitia penyelenggara.
Juri di undang untuk menilai dipanggil dari kalangan Ustaz yang terkenal. Ustaz Rahman adalah ustadz yang terkenal santui dan berwajah tampan. Selain dia, Ustaz termuda di kalangan Ustadz yang lain. Dia juga punya wajah yang tampan. Tapi, biar begitu tidak membuatnya sombong dan membanggakan diri.
"Nomer urut peserta 105 atas nama Habib Adelio bin Anan Adelio di persilahkan untuk maju ke depan," ucap pembawa acara.
Panggilan dari pembawa acara telah jatuh pada nomer Habib 105. Ia pun menuju ke atas pentas yang telah di sediakan oleh panitia. Dengan santai Habib menuju podium sembari mendekap Al-Qur'an di dadanya. Habib mendapat tantangan membaca surat Ar-Rahman dari ayat 1-33.
Para dewan juri dan hadirin yang menyaksikan suara emas Habib yang merdu membuat mereka terpukau. Habib melantunkan ayat suci dengan sangat merdu dan begitu indah. Tidak ada suara sekecil apa pun yang terdengar saat ia melantunkan surat Ar-Rahman.
Tepuk tangan meriah dari dewan juri dan penonton seketika memenuhi aula tersebut. Suara Habib benar-benar memukau dan menghipnotis para dewan juri dan penonton. Begitu juga dengan Ustaz Rahman yang menyaksikan anak didiknya menjadi terharu.
"Luar biasa, Habib. Suara kamu benar-benar merdu dan membuat para dewan juri terpukau. Ustaz, bangga padamu," ucap Ustaz Rahman memberi pujian pada Habib.
"Makasih, Ustaz," sahutnya datar.
"Ustaz Rahman, ini anak didikmu?" tanya Ustaz Iman. Ustaz Imam adalah juri yang di pilih untuk menilai semua peserta.
Ustaz Rahman mengangguk. "Iya, Ustaz."
"Murid kamu benar-benar punya bakat. Selamat, ya," ucapnya mengulurkan tangan.
"Terimakasih, Ustaz Imam," balas Ustaz Rahman mengulas senyum.
Selanjutnya nomer peserta selanjutnya yang di atas Habib maju ke depan untuk menerima tantangan membaca surat yang di tentukan oleh dewan juri.
Dari ke lima peserta didik yang di bawa ustad Rahman yang lolos seleksi hanyalah Habib. Selanjutnya Habib akan maju ke babak selanjutnya untuk ikut lomba MTQ di Jakarta.
Dari semua propinsi yang menang dan lolos tahap satu akan di bawa audisi lagi ke Jakarta untuk mengikuti lomba dengan hadiah utama uang senilai seratus juta. Perlombaan MTQ ini di ikuti oleh semua propinsi seluruh wilayah Indonesia. Bagi yang lulus seleksi audisi di kotanya maka fasilitas dan keberangkatan semua biaya akan di tanggung oleh pihak penyelenggara yang bersangkutan.
"Selamat, Habib. Kamu lolos seleksi tahap pertama," ucap Ustaz Rahman.
"Makasih, Ustaz," balas Habib tersenyum.
"Lusa kita akan pergi ke Jakarta untuk ikut perlombaan selanjutnya. Semua biaya akan di tanggung oleh pihak panitia," lanjut Ustaz Rahman.
Saat Ustaz Rahman mengatakan Habib akan pergi ke Jakarta mendadak wajahnya menjadi sedih. Ia terlihat murung lalu duduk dengan lesu di bangku belakang aula.
"Bib, kenapa? Kamu tidak senang lolos seleksi?" tanya Ustaz Rahman heran.
Habib mengeleng pelan. "Bukan."
"Lalu?" tanya Ustaz lagi.
"Habib, sedih karena harus meninggalkan Bunda sendiri di rumah, Ustaz," jawabnya polos.
Kening Ustaz Rahman berkerut. "Kita hanya pergi beberapa hari, Bib."
"Habib, mau ajak Bunda ikut ke Jakarta Ustaz."
Habib mengatakan yang menganjal dalam hatinya dengan wajah sendu. Ustaz Imam yang mendengar penuturan Habib menjadi terkesan iba. Ia lantas mendekati Habib dan menimpali pembicaraan antara Ustaz Rahman.
"Biar, Ustaz yang akan menanggung keberangkatan Bunda kamu, Bib," potong Ustaz Imam.
Seraya berkata dengan mengulas senyum sembari mendekati Habib dan ustadz Rahman. Ustaz Imam adalah teman akrab Ustaz Rahman dari masa kuliah dulu. Bedanya Ustaz Imam sudah menikah dan menjadi duda karena istrinya meninggal tiga tahun yang lalu dalam ke adaan hamil mengandung anaknya delapan bulan akibat pendarahan karena terjatuh dari kamar mandi.
Sejak kepergian istrinya Ustaz Imam masih betah menjomlo hingga kini dan belum menikah lagi. Meskipun banyak wanita yang jatuh hati padanya namun, ia enggan untuk menikah kembali membuka hatinya.
Ustaz Rahman yang mendengar berita ke pergian istri, Ustaz Imam saat itu datang untuk berduka cita dan memberi semangat. Ustaz Rahman adalah sahabat terbaik bagi Ustaz Imam, hingga kini mereka masih saling kontak satu sama lain.
"Habib, kamu harus mengucapkan terimakasih pada Ustaz Imam Farzan. Ustaz Imam Farzan akan membiayai Bunda agar bisa ikut menyaksikanmu dalam perlombaan dan memberi semangat," lanjut Ustaz Rahman.
Wajah Habib semingrah mendengar ucapan Ustaz Imam yang akan membiayai Bundanya ikut serta ke Jakarta.
"Terimakasih, Ustaz Iman," ucapnya dengan mata berbinar.
Ustaz Iman kemudian mengangguk sembari tersenyum. "Sama-sama."
Habib langsung memeluk Ustaz Iman dan mencium tangannya.
"Habib, janji. Jika, nanti menang dalam perlombaan uang Ustaz akan Habib kembalikan," ujarnya.
Ustaz Iman tersenyum simpul mendengar kepolosan bocah kelas lima SD tersebut.
"Gak perlu, Bib. Ustaz ihklas membantu kamu."
"Alhamdulilah," ucap Habib kemudian sembari mengangkat kedua tangannya.
***
Bersambung.
Jangan lupa like dan komen ya Guys biar author semangat karena di kasih dukungan. Nantikan episode berikutnya pertemuan Habib dengan Ayahnya di Kota Jakarta yang dramatis penuh emosi dan air mata. Apakah ayah Habib masih tidak akan mengakui Habib atau kah ayahnya akan menyesal karena telah menyia-nyiakan anak yang sholeh. Jawabannya ada di episode yang berikutnya.
Sebelum fajar terbit, mentari bergegas naik di atas ufuk timur. Aku sudah bersiap-siap untuk berangkat menemani Habib, pergi ke Jakarta untuk mengikuti perlombaan MTQ.Persiapan pakaian, sajadah, mukena dan minyak angin sudah semua aku packing dalam tas ransel. Tidak banyak yang kubawa, karena memang kami hanya beberapa hari saja di sana. Setelah perlombaan selesai akan kembali ke sini.Kami pergi diantar oleh Bu Helmi dengan mengendarai mobilnya. Pak Nurmin juga memberikan alamat Mas Anan yang ada di Jakarta. Ia mengatakan kalau rumah Mas Anan sangat besar dan bagus."Ayi, ini alamat suamimu yang ada di Jakarta," ucap Pak Nurmin menyodorkan selembar kertas."Makasih, Pak," balasku mengulas senyum."Suamimu sudah menjadi orang kaya yang sukses di sana. Rumahnya besar dan punya mobil mewah," jelas Pak Nurm
Pesawat yang ditumpangi rombongan kami sedang landing. Setelah melakukan perjalanan selama dua jam, di atas angkasa setinggi 10000 kaki akhirnya tiba dengan tepat waktu pada bandara Soekarna-Hatta.Ustaz Rahman masih menggendong Nara, saat menuruni tangga keluar pintu pesawat. Aku berjalan mengekor di belakangnya. Sementara Ustaz Iman Farzan juga mulai turun dan berjalan di belakang mereka.Udara siang itu di bandara Soekarno-Hatta, begitu sejuk. Angin menyapu sepoi-sepoi, basah terasa menembus kulit ari. Gamis syar'iku yang menjuntai ke bawah pun, ikut melambai di terpa angin."Ustaz Rahman, gantian aku yang gendong, Nara. Pasti, Ustaz sudah lelah sedari tadi menggendongnya," ucapku.Wajah Ustaz Rahman yang berkarismatik tersenyum ke arahku."Tak apa, Ay. Tulangku masih cukup kuat untuk menopang tubuh Nara," Ustaz Rahman berkata se
"U- Ustaz," aku tertegun melihat lelaki berpakaian jubah panjang ke bawah dan memakai kopiah, kini berdiri di depan pintu wisma. Seraya tersenyum sembari menangkupkan tangan di depan dada."Asalamualaikum ya, Ukhti," ucapnya tersenyum."Waalaikumsalam," jawabku."Namaku, Adam. Aku adalah teman Ustaz Rahman, sewaktu di pesantren," lanjutnya memperkenalkan diri.Sejenak aku tertegun dengan tutur kalimat yang diucapkan. Bersahaja dan berwibawa, wajahnya juga tampan mirip dengan bangsa Arab, tinggi besar."Ada apa gerangan, Ustaz datang berkunjung? Maaf, kalau Saya lancang bertanya," tuturku sopan.Pandanganku seketika menunduk kebawah."Kedatanganku kemari untuk bersiraturrahmi, karena kita satu tim sesama dari Medan," ucapnya secara gamblang."Maaf, Ustaz. Tapi, Usta
Mobil yang di kemudikan ustadz Rahman memasuki rumah sakit. Kami pun segera turun dan membawa Habib ke ruang UGD. Sampai di ruang UGD kami di sambut oleh para petugas media. "Suster, dokter, tolong anak kami," teriak Ustaz Rahman. Seraya meletakkan tubuh Habib di atas bangsal. Suster menyambut dengan segera ke datangan kami. "Tenang, Pak. Kami akan menolong anak, Anda," ucap dokter. Habib segera ditangani para dokter dan suster. Lima menit kemudian dokter keluar dari ruang UGD. "Maaf, Ibu dan Bapak. Anak Anda mengalami keracunan makanan yang di namakan arsenik. Racun ini bekerja dalam waktu dua puluh empat jam. Sehingga saat makan yang di bubuhi racun tidak berbau rasa dan warna. Tapi, akan membuat pasien kehilangan kesadaran dan demam tinggi," jelas dokter. Aku dan Ustaz Rahman saling berpandangan. Seing
"Habib, Nak bangunlah!" Ayi menguncangkan tubuh Habib yang diam tak bergeming.Dokter yang sedari tadi menangin Habib, berusaha agar bisa menyelamatkan nyawanya. Beberapa suster mencoba membantu dokter, memasangkan jarum infus dan selang oksigen.Racun arsenik yang bekerja dalam tubuh Habib beraksi sangat lambat. Namun, bisa mematikan kalau terlambat menanganinya. Bisa berakibat fatal dengan kematian yang terkena racun tersebut.Aku terisak melihat tubuh Habib, tak sadarkan diri. Hati ibu mana yang tidak sedih bila menyaksikan buah hatinya terbaring sakit. Ustaz Rahman mencoba menenangkanku. Aku menangis sejadi-jadinya menyaksikan jarum suntik menusuk tubuh Habib yang kurus. Andai bisa biarlah aku saja menggantikan rasa sakit yang di rasakan Habib."Sudah, Ay jangan menangis! Doa'kan, Habib segera sadar. Kamu ingat-ingat
Bruk.Hampir saja Anan menabrak truk kalau saja dia tidak membanting setir. Alhasil mobilnya menabrak pohon di pinggir jalan. Bemper mobilnya rusak parah di bagian depan. Pelipis Anan juga berdarah karena membentur dasbord. Darah seger menetes dari dahi Anan.Warga yang melihat kejadian langsung berhamburan mendatangi tempat kejadian.Mobil Anan mengeluarkan asap, segera para warga bergotong-royong membantu mengeluarkan Anan dari dalam. Anan dalam keadaan pingsan, sehingga warga yang mau menolongnya kesulitan untuk mengeluarkannya dari mobil.Pintu mobil Anan di ketuk dari luar. Para warga berteriak agar Anan segera terbangun sebelum mobil meledak kebakaran."Pak, buka pintu mobilny!" teriak warga bertubuh kurus tinggi.Hening tidak ada jawaban.Warga memgulangi lagi panggilan yang sama."Tuan, buk
Dokter Raka masih mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Lima puluh menit kemudian mobil yang kami tumpangi memasukki halaman parkir rumah sakit. Segera dokter membawa Habib, ke ruang UGD untuk di tangani.Hanya Habib yang boleh masuk ke dalam ruang UGD. Sementara aku, Nara dan Ustaz Rahman ada di ruang UGD. Aku terduduk di kursi panjang setelah Habib di bawa masuk dalam ruang perawatan. Kutundukkan wajah menatap lantai sambil kedua tangan bertumpu di atas lutut.Berkali-kali ku hela nafas agar sesak di dada sedikit berkurang. Aku sedang dalam keadaan bersedih. Baru beberapa jam yang lalu Habib keluar dari rumah sakit, sekarang harus kembali lagi di rawat. Entah biaya dari mana lagi aku mendapatkan untuk membiayai perobatannya kali ini."Bunda, apa Abang akan baik-baik saja?" pertanyaan Nara terlontar dengan polosnya.Pertanyaan Nara menyentakku yang secara tidak sada
Rencananya Habib akan dibawa pulang setelah dokter Raka menyatakan sembuh. Kesehatan Habib kian memperlihatkan kemajuan. Badannya sudah terlihat segar. Bahkan, wajahnya tidak terlihat pucat. Dokter Raka memberiku resep untuk menebus obat Habib di apotik depan yang ada di rumah sakit ini. Sebelum pulang aku terlebih dahulu menebus resep di apotik depan. Sementara Nara aku titipkan pada Ustaz Rahman. Aku berjalan melewati lapangan parkir untuk menuju apotik yang terletak di seberang rumah sakit. Kenderaan yang terparkir berjejer memenuhi lahan parkiran. Sekilas mataku menatap mobil Mercedes Benz C-Class Sedan seharga milyaran rupiah. Didalam mobil Mas Anan terlihat duduk menyandarkan kepalanya. Pelipisnya masih dibalut perban akibat cedera. Tapi, Sarah tidak ada bersamanya dalam mobil. Aku melintas melewati mobil mas Anan, ia menatap kosong ke arah apotik yang ada di depannya. Netra Mas Anan