"Sudah, Ay jangan menangis! Doa'kan, Habib segera sadar. Kamu ingat-ingat
Bruk.Hampir saja Anan menabrak truk kalau saja dia tidak membanting setir. Alhasil mobilnya menabrak pohon di pinggir jalan. Bemper mobilnya rusak parah di bagian depan. Pelipis Anan juga berdarah karena membentur dasbord. Darah seger menetes dari dahi Anan.Warga yang melihat kejadian langsung berhamburan mendatangi tempat kejadian.Mobil Anan mengeluarkan asap, segera para warga bergotong-royong membantu mengeluarkan Anan dari dalam. Anan dalam keadaan pingsan, sehingga warga yang mau menolongnya kesulitan untuk mengeluarkannya dari mobil.Pintu mobil Anan di ketuk dari luar. Para warga berteriak agar Anan segera terbangun sebelum mobil meledak kebakaran."Pak, buka pintu mobilny!" teriak warga bertubuh kurus tinggi.Hening tidak ada jawaban.Warga memgulangi lagi panggilan yang sama."Tuan, buk
Dokter Raka masih mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Lima puluh menit kemudian mobil yang kami tumpangi memasukki halaman parkir rumah sakit. Segera dokter membawa Habib, ke ruang UGD untuk di tangani.Hanya Habib yang boleh masuk ke dalam ruang UGD. Sementara aku, Nara dan Ustaz Rahman ada di ruang UGD. Aku terduduk di kursi panjang setelah Habib di bawa masuk dalam ruang perawatan. Kutundukkan wajah menatap lantai sambil kedua tangan bertumpu di atas lutut.Berkali-kali ku hela nafas agar sesak di dada sedikit berkurang. Aku sedang dalam keadaan bersedih. Baru beberapa jam yang lalu Habib keluar dari rumah sakit, sekarang harus kembali lagi di rawat. Entah biaya dari mana lagi aku mendapatkan untuk membiayai perobatannya kali ini."Bunda, apa Abang akan baik-baik saja?" pertanyaan Nara terlontar dengan polosnya.Pertanyaan Nara menyentakku yang secara tidak sada
Rencananya Habib akan dibawa pulang setelah dokter Raka menyatakan sembuh. Kesehatan Habib kian memperlihatkan kemajuan. Badannya sudah terlihat segar. Bahkan, wajahnya tidak terlihat pucat. Dokter Raka memberiku resep untuk menebus obat Habib di apotik depan yang ada di rumah sakit ini. Sebelum pulang aku terlebih dahulu menebus resep di apotik depan. Sementara Nara aku titipkan pada Ustaz Rahman. Aku berjalan melewati lapangan parkir untuk menuju apotik yang terletak di seberang rumah sakit. Kenderaan yang terparkir berjejer memenuhi lahan parkiran. Sekilas mataku menatap mobil Mercedes Benz C-Class Sedan seharga milyaran rupiah. Didalam mobil Mas Anan terlihat duduk menyandarkan kepalanya. Pelipisnya masih dibalut perban akibat cedera. Tapi, Sarah tidak ada bersamanya dalam mobil. Aku melintas melewati mobil mas Anan, ia menatap kosong ke arah apotik yang ada di depannya. Netra Mas Anan
"Seret, Ustaz munafik ini. Kedoknya sebagai ustaz hanyalah topeng saja. Ustaz Rahman sudah berzina dengan seorang wanita," Sarah berterik dengan antusias."Cambuk mereka, cambuk!" teriak salah satu pria yang berpostur tinggi menimpali.Ustaz Rahman dan Ayi diseret dengan paksa. Salah satu ibu-ibu menarik jilbab syar'i yang di kenakan Ayi."Percuma pakai hijab kalau kau berzina," sela ibu dengan suara bariton.Jilbab Ayi dilucuti dan injak-injak."Astagfirullah, demi Allah tuduhan kalian itu tidak benar ini fitnah," sergah Ayi terisak.Serayq meraih jilbab yang tadi diinjak-injak oleh salah seorang ibu. Sarah, kemudian merampas lagi jilbab yang diraih Ayi dan membakarnya.Sarah menyalakan pematik lalu membakar jilbab Ayi sembari tertawa."Ha ha ha ... Lihatlah, Ayi penutup kepalamu sudah aku bakar," ucapn
Sungguh ada hati yang terluka menyaksikan dua orang insan terikat dalam pernikahan. Sudut mata Mas Aman seketika berembun di kelopak matanya. Baru kali ini, ia merasa patah hati karena wanita yang selama ini menjadi istrinya tak pernah ia rindukan.Bukankah di luar tak hujan? Mengapa ada guntur menggelegar? Lalu, dada Mas Anan berdebar hingga sesuatu di dalamnya bergetar. Seraya memberanikan diri menatap mantan istriku yang baru saja dinikahi oleh Ustaz Rahman. Seorang pemuda sholeh dan baik hati juga kaya.Wanita yang sudah lima tahun menemani dalam perjalanan hidupnya mengarungi biduk samudra rumah tangga. Seorang istri yang sudah memberinya dua orang anak, tapi ia tinggalkan.Mas Anan, pun menunduk kembali tidak berani menatap kornea mata milik sang mantan istri. Hanya saja tangan dan tubuhnya mulai bergetar. Lepas memperhatikanku bersama Ustaz Rahman ia dikejutkan dengan tepukkan pelan di bahunya.&nbs
"Habib...."Mata kami terpana melihat Anan berdiri di depan panggung. Wajah teduhnya mengguratkan kekecewaan. Para repoter langsung menyorotkan kamera ke wajah Anan.Sepuluh tahun telah berlalu, hati Ayi merasa iba melihat lelaki yang dulu sangat ia cintai kini menjadi sosok tak berdaya. Penampilan Anan sedikit berantakkan dari biasanya. Wajah kusut, mata yang merah serta raut wajahnya yang sendu menggambarkan penyesalan.Matanya yang redup tak bercahaya menatap sayu pada Ayi dan Habib, juga Ustaz Rahman yang berbahagia menerima piala dan piagam dari wakil gubenur. Jelas tergambar dari raut wajah Anan kalau dia kecewa, mengapa bukan namanya yang disebut Habib, saat mendampingi menerima piala penghargaan atas juara perlombaan MTQ sepropinsi."Ayah," panggil Habib lirih.Suara tepuk tangan meriah dari penonton yang menyaksikan Habib, mengalahkan suara
"Bunda...."Nara menangis sembari memanggil bundanya yang masih tak bergeming. Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi telah menabrak Ayi yang sedang menyebrang jalan.Para warga yang melihat kejadian langsung berkerumun ingin menolong."Kita bawa korban ke rumah sakit saja langsung, Pak," ucap salah satu pria bertubuh kurus.Ustaz Rahman segera meminta bantuan para warga untuk membantu mengangkat Ayi, masuk dalam mobil taksi online yang tadi ia tumpangi."Bapak-Bapak, semua tolong bantu saya mengangkat tubuh istri saya untuk masuk ke dalam mobil," titah Ustaz Rahman.Beberapa warga menolong dengan sergap membantu Ustaz Rahman menggotong tubuh Ayi masuk dalam mobil.Tubuh Ayi di baringkan dalam mobil. Ustaz Rahman membaringkan kepalanya diatas pangkuannya. Habib dan Nara berpindah tempat duduk didepan. Ustaz Rahman membelai lembu
"Bunda," teriak Habib dan Nara serentak.Tubuhku jatuh ke lantai keramik berwarna putih. Aku lupa kalau sekarang sudah lumpuh. Bumi tempatku berpijak seperti akan runtuh.Aku seperti manusia yang tak berguna melihat kondisiku yang memperihatinkan."Bunda, kaki bunda kenapa? Kok, Bunda gak bisa jalan?" tanya Habib sedih.Ada raut kawatir di wajahnya."Kaki, Bunda lumpuh, Nak. Bunda, tidak bisa berjalan lagi sekarang," jawabku lirih.Seketika Habib dan Nara menangis memelukku."Bunda, gak bisa jalan, ya?" tanya Nara polos. Biar Adik saja yang bantu bunda kalau mau berjalan," ucapan Nara seketika membuatku melelehkan air mata.Aku hanya bisa menunduk. Kedua anakku begitu memperhatikanku dengan penuh cinta."Tidak, Nak. Bunda, akan belajar bagaimana cara mennggunakan tongkat biar tidak merepotkan siapa pun," tuturku dengan suara rendah.&n