Sebelum fajar terbit, mentari bergegas naik di atas ufuk timur. Aku sudah bersiap-siap untuk berangkat menemani Habib, pergi ke Jakarta untuk mengikuti perlombaan MTQ.
Persiapan pakaian, sajadah, mukena dan minyak angin sudah semua aku packing dalam tas ransel. Tidak banyak yang kubawa, karena memang kami hanya beberapa hari saja di sana. Setelah perlombaan selesai akan kembali ke sini.
Kami pergi diantar oleh Bu Helmi dengan mengendarai mobilnya. Pak Nurmin juga memberikan alamat Mas Anan yang ada di Jakarta. Ia mengatakan kalau rumah Mas Anan sangat besar dan bagus.
"Ayi, ini alamat suamimu yang ada di Jakarta," ucap Pak Nurmin menyodorkan selembar kertas.
"Makasih, Pak," balasku mengulas senyum.
"Suamimu sudah menjadi orang kaya yang sukses di sana. Rumahnya besar dan punya mobil mewah," jelas Pak Nurmin.
Aku hanya mendengarkan cerita tentang kesuksesan mas Anan dari keterangan Pak Nurmin saja.
Percuma saja Mas Anan sukses, toh akhirnya ia memilih istrinya yang baru.
"Sekarang suamimu sudah menjadi direktur terkenal dari perusahaan besar, Ay," lanjut Pak Nurmin.
"Tapi ... Pak Nurmin menjeda ucapannya.
"Tapi ... kenapa, Pak?" tanyaku penasaran.
Pak Nurmin terdiam. Hening sesaat, sebelum akhirnya ia melanjutkan kalimat yang tadi terjeda.
"Maaf, Ay. Bapak, selama ini tidak jujur padamu. Sebenarnya suamimu sudah menikah di kota Jakarta. Dia juga sudah mempunyai seorang anak perempuan menginjak usia berkisar 3-4 tahunan gitu," tukasnya.
Jantungku terasa berhenti berdetak setelah mendengar keterangan dari Pak Nurmin.
"Jadi, Bapak tahu kalau Mas Anan selama ini di Jakarta punya keluarga baru dan sudah menikah?" tanyaku menyelidiki.
Pak Nurmin mengangguk. "Tahu."
Aku terdiam seribu bahasa. Bibir rasanya kelu tak berdaya mau berkata-kata. Pantas saja selama merantau mas Anan tidak pernah pulang. Ibarat kata bang Toyib tiga kali puasa dan tiga kali lebaran ngak pernah pulang.
Mas Anan merantau selama lima tahun ke Jakarta, tapi tidak pernah sekali pun pulang berkunjung ke kota kelahirannya.
Habib yang mendengar percakapanku dengan Pak Nurmin, seketika wajahnya memerah seolah menyimpan sejuta makna yang ingin diutarakan.
"Ayah, jahat. Ayah, ninggalin Bunda dan punya Adik baru di Jakarta," dengkus Habib.
"Habib, kamu gak boleh berkata seperti itu sama Ayah, Nak. Biar bagaimana pun itu tetap Ayah kandungmu," ucapku memberi pengertian.
"Ayah, gak sayang kita, Bunda. Ayah, tega ninggalin kita dan punya Adik baru di sana," ucap Habib.
Matanya terlihat berkaca-kaca, seperti awan yang tadinya terang kini berubah menjadi redup yang menutupi langit.
"Habib, maafin Bapak, ya. Selama ini, Bapak sudah berbohong sama kalian," sela Pak Nurmin.
"Tak apa, Pak. Aku sudah mengihklaskan Mas Anan memilih wanita lain," sahutku.
Pak Nurmin menunduk malu. Raut wajahnya terkesan sangat sungkan dan merasa bersalah.
"Habib, ini ada sedikit uang jajan untuk bekal kamu selama di Jakarta. Bapak, cuma bisa bantu doa, agar kamu bisa pulang selamat sampai rumah dan membawa kemenangan," ujarnya.
Pak Nurmin menyelipkan uang selembar warna merah ke dalam saku celana yang di pakai Habib.
"Makasih, Pak," balas Habib.
Pak Nurmin kemudian berpamitan pulang untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda.
"Kalau gitu, Bapak permisi dulu ya, Ay, Nak Habib. Bapak, mau melanjutkan pekerjaan yang tertunda," ucapnya berpamitan. "Assalamu alaikum."
"Waalaikum salam," jawab kami serempak.
Setelah Pak Nurmin pergi, mobil Bu Helmi pun datang bersama Ustaz Rahman. Bu Helmi beserta suaminya hendak mengantarkan kami sampai ke bandara.
"Sudah siap, Ay?" tanya Bu Helmi sembari turun dari mobil.
Aku menyambutnya dengan senyum ramah.
"Sudah, Bu," jawabku tersenyum.
"Habib, kamu duduk di depan bareng Pak Ustaz! Biar, Bunda duduk di belakang sama Bu Helmi," ujar Pak Akbar suami Bu Helmi.
Pak Akbar seorang kepala desa yang peduli dengan warganya. Hal sekecil pun tak luput dari perhatiannya.
Habib mengangguk. "Iya, Pak."
Pak Akbar kemudian membukakan pintu mobil, lalu mempersilahkan aku dan Habib masuk ke dalam. Bu Helmi juga ikut masuk ke dalam mobil, lalu duduk di sampingku.
Mobil yang dikemudikan Pak Akbar, kemudian melaju meninggalkan desa. Perjalanan dari rumah ke bandara butuh durasi waktu satu setengah jam.
***
Mobil sudah memasuki bandara, kami pun segera menunggu keberangkatan yang akan terbang dengan menggunakan pesawat Garuda dari Medan menuju Jakarta. Ustaz Iman membelikan tiket penerbangan dengan uang pribadinya. Bukan ada maksud tersembunyi atau tertentu ia membelikan tiket penerbangan, tetapi terkesan dengan sikap dan bahasa Habib yang sopan.
Saat keberangkatan kami, bertemu dengan Ustaz Iman yang memakai kemeja biru dongker dan celana panjang kever berwarna hitam. Penampilannya layak disebut pria masa kini. Punya tubuh tinggi dan kulit putih, terlihat sangat tampan dan tidak kalah dengan bujangan.
"Assalamualaikum," ucapnya menyapa.
Kami serempak menoleh ke arah Ustaz Iman dan menjawab salamnya.
"Waalaikum salam," sahut kami serentak.
"Ustaz Iman Farzan," seru Habib.
Dengan segera Habib menyalami Ustaz Iman dan mencium punggung tangannya.
"Habib," sapa Ustaz Iman tersenyum. "Sudah siap berangkat dan meraih kemenangan?"
Habib mengangguk pelan. "Siap, Pak Ustaz."
"Ustaz Iman, sendiri?" tanya Ustaz Rahman menimpali.
"Sebenarnya, aku tadi bersama Ustaz Halim. Tapi, Beliau sedang berada di toilet," sahutnya.
"Oh, ya, Ustaz Iman. Ini, Bunda Habib yang bernama Ayi. Dan ini, bu Helmi dan suaminya, Pak Akbar kepala desa kami yang mengantar kami sampai bandara," ujar Ustaz Rahman memperkenalkan kami.
Aku menangkupkan kedua tanganku di dada sembari memberi salam dan menyebutkan nama tanpa bersentuhan menjabat tangan.
"Ayi," ucapku memperkenalkan diri.
Ustaz Iman menganguk, ia hanya sekilas menatapku lalu berpindah menyalami Pak Akbar.
"Apa kabar, Pak Akbar," ucapnya sembari bersalaman.
"Baik, Ustaz," jawab Pak Akbar.
Selanjutnya Ustaz Rahman, Pak Akbar dan Ustaz Iman terlibat obrolan ringan sembari menunggu pesawat take off.
Bu Helmi mengobrol denganku santai. lima belas menit lagi pesawat akan take off menuju bandara Soekarno - Hatta. Jarak yang di tempuh dari Medan menuju Jakarta berdurasi sekitar dua jam.
"Ay, ini buat jaga-jaga keperluanmu selama di Jakarta. Terimalah!" ucap bu Helmi menyodorkan amplop coklat.
"Apa ini, Bu?" tanyaku penasaran.
"Sedikit uang untuk keperluanmu selama di Jakarta," ujarnya.
"Gak usah, Bu. Aku gak mau merepotkan Ibu dan Bapak yang sudah bersedia mengantarkan kami sampai sini," ucapku mengembalikan amplop tadi.
"Terima saja!" Bu Helmi kembali menyisipkan amplop yang ku tolak tadi ke dalam gengaman telapak tanganku.
"Aku gak enak kalau terus merepotkan Ibu," sergahku.
"Ibu, tidak merasa direpotkan, Ay. Justru, Ibu bangga karena Habib lolos seleksi."
"Mudah-mudahan ini rezeki Habib, ya, Bu."
"Aamiin," sahut Bu Helmi.
"Mudah-mudahan, Habib yang akan menjadi pemenang dan mengharumkan nama kampung kita."
"Aamiin," aku mengiyakan doa Bu Helmi.
Tanpa terasa kami ngobrol, hingga waktu take off sudah tiba. Kami berpamitan kepada Bapak dan Ibu Kepala Desa yang mengantar.
"Hati-hati ya, Ay selama di Jakarta! Jaga kesehatan dan anak-anak," nasehat Bu Helmi.
Aku mengangguk sembari memeluk Bu Helmi mengucap salam perpisahan.
"Iy, Bu. Doa'kan kami selamat sampai tujuan dengan membawa kemenangan," ucapku lirih.
"Aamiin," jawab mereka serentak.
"Ustaz Rahman, titip Ayi dan Habib beserta Nara, ya," sela Pak Akbar menimpali.
"Insya Allah, Pak Akbar," balas Ustaz Rahman tersenyum.
"Habib, Bapak janji, jika kamu menang nanti akan Bapak hadiahi sunat geratis untukmu," ujar Pak Akbar.
"Benaran, Pak?" tanya Habib.
Pak Akbar mengangguk. "Iya."
"Hore ... Habib bisa sunat," teriaknya girang.
Kami yang menyaksikan tingkah Habib hanya tersenyum. Begitu pun denganku tidak lupa mengucap puji syukur. Di tengah kemiskinannku masih banyak orang yang perduli dan dermawan seperti Pak Akbar, Ustaz Rahman, Ustaz Iman dan juga bu Helmi.
"Ay, sebaiknya Nara biar aku saja yang gendong. Kamu jaga Habib saja! Biar saat masuk dalam pesawat tidak kewalahan karena membawa anak dua," ucap Ustaz Rahman mengusulkan.
"Em ... biar Habib, bersamaku saja Ustaz Rahman," ujar Ustaz Iman.
"Ya, sudah kalau gitu," jawab Ustaz Rahman.
"Ayo, Bib!" ajak Ustaz Iman.
"Bu, Pak Akbar, kami pamit ya," ucapku.
"Iya, hati-hati, ya, Ay!" sahut mereka serentak.
Ustaz Iman sudah duluan berjalan menuju pintu masuk ke dalam pesawat. Sementara Ustaz Rahman dan aku berpamitan pada Pak Akbar dan Bu Helmi.
Setelah berpamitan kami pun menuju ke pesawat yang sebentar lagi akan take off.
Di dalam pesawat aku duduk di samping Ustaz Rahman. Sementara Habib duduk di depan kami bersama ustad Iman. Ustaz Rahman masih memangku Nara. Nara yang tertidur terlihat begitu nyaman dalam pangkuan Ustaz Rahman.
"Ustaz, biar Nara aku pangku saja. Nanti, Ustaz lelah harus memangku Nara selama dua jam perjalanan," tukasku.
"Tak apa, Ay. Biar, Nara aku saja yang pangku. Kamu' kan juga harus istirahat," sahutnya sembari memasang safety belt.
"Aku gak enak harus ngerepotin, Ustaz," lanjutku.
Safety belt berusaha kupasangkan untuk menahan tubuhku dari benturan kalau ada guncangan dalam pesawat.
"Gak bisa masang?" tanya Ustaz Rahman kemudian.
Seraya memperhatikanku yang sedari tadi memasang safety belt terus-terusan salah.
"Bi, bisa, kok," jawabku tergagap.
"Sini! Biar aku bantu masang," ucapnya sembari memasang safety belt. "Maaf."
Tanpa sengaja Ustaz Rahman menyentuh bagian dadaku.
Seketika jantungku berdetak kencang menjadi lipatan ganda. Pandangan kami sekilas beradu dan bertemu pada manik hitam.
Seketika kami sama-sama sadar dan mengucap istigfar dan mengelus dada.
"Astagfirullah," ucapku. Kuusap dadaku yang masih berdetak kencang.
Begitu pun juga dengan Ustaz Rahman yang menyadari akan kesalahannya segera memohon ampun.
"Astagfirullahalazim," ucapnya lirih. "Maaf, Ay. Aku tidak sengaja sudah menyentuhmu."
Aku mengangguk lalu menunduk. "Tak apa, Ustaz."
Beberapa menit kemudian pesawat tinggal landas meninggalkan bandara Kuala Namu Medan menuju Jakarta.
***
Bersambung.
Jangan lupa izin tekan tombol like ya guys. Biar dapat notif kalau sudah up cerita ini.🙏
Pesawat yang ditumpangi rombongan kami sedang landing. Setelah melakukan perjalanan selama dua jam, di atas angkasa setinggi 10000 kaki akhirnya tiba dengan tepat waktu pada bandara Soekarna-Hatta.Ustaz Rahman masih menggendong Nara, saat menuruni tangga keluar pintu pesawat. Aku berjalan mengekor di belakangnya. Sementara Ustaz Iman Farzan juga mulai turun dan berjalan di belakang mereka.Udara siang itu di bandara Soekarno-Hatta, begitu sejuk. Angin menyapu sepoi-sepoi, basah terasa menembus kulit ari. Gamis syar'iku yang menjuntai ke bawah pun, ikut melambai di terpa angin."Ustaz Rahman, gantian aku yang gendong, Nara. Pasti, Ustaz sudah lelah sedari tadi menggendongnya," ucapku.Wajah Ustaz Rahman yang berkarismatik tersenyum ke arahku."Tak apa, Ay. Tulangku masih cukup kuat untuk menopang tubuh Nara," Ustaz Rahman berkata se
"U- Ustaz," aku tertegun melihat lelaki berpakaian jubah panjang ke bawah dan memakai kopiah, kini berdiri di depan pintu wisma. Seraya tersenyum sembari menangkupkan tangan di depan dada."Asalamualaikum ya, Ukhti," ucapnya tersenyum."Waalaikumsalam," jawabku."Namaku, Adam. Aku adalah teman Ustaz Rahman, sewaktu di pesantren," lanjutnya memperkenalkan diri.Sejenak aku tertegun dengan tutur kalimat yang diucapkan. Bersahaja dan berwibawa, wajahnya juga tampan mirip dengan bangsa Arab, tinggi besar."Ada apa gerangan, Ustaz datang berkunjung? Maaf, kalau Saya lancang bertanya," tuturku sopan.Pandanganku seketika menunduk kebawah."Kedatanganku kemari untuk bersiraturrahmi, karena kita satu tim sesama dari Medan," ucapnya secara gamblang."Maaf, Ustaz. Tapi, Usta
Mobil yang di kemudikan ustadz Rahman memasuki rumah sakit. Kami pun segera turun dan membawa Habib ke ruang UGD. Sampai di ruang UGD kami di sambut oleh para petugas media. "Suster, dokter, tolong anak kami," teriak Ustaz Rahman. Seraya meletakkan tubuh Habib di atas bangsal. Suster menyambut dengan segera ke datangan kami. "Tenang, Pak. Kami akan menolong anak, Anda," ucap dokter. Habib segera ditangani para dokter dan suster. Lima menit kemudian dokter keluar dari ruang UGD. "Maaf, Ibu dan Bapak. Anak Anda mengalami keracunan makanan yang di namakan arsenik. Racun ini bekerja dalam waktu dua puluh empat jam. Sehingga saat makan yang di bubuhi racun tidak berbau rasa dan warna. Tapi, akan membuat pasien kehilangan kesadaran dan demam tinggi," jelas dokter. Aku dan Ustaz Rahman saling berpandangan. Seing
"Habib, Nak bangunlah!" Ayi menguncangkan tubuh Habib yang diam tak bergeming.Dokter yang sedari tadi menangin Habib, berusaha agar bisa menyelamatkan nyawanya. Beberapa suster mencoba membantu dokter, memasangkan jarum infus dan selang oksigen.Racun arsenik yang bekerja dalam tubuh Habib beraksi sangat lambat. Namun, bisa mematikan kalau terlambat menanganinya. Bisa berakibat fatal dengan kematian yang terkena racun tersebut.Aku terisak melihat tubuh Habib, tak sadarkan diri. Hati ibu mana yang tidak sedih bila menyaksikan buah hatinya terbaring sakit. Ustaz Rahman mencoba menenangkanku. Aku menangis sejadi-jadinya menyaksikan jarum suntik menusuk tubuh Habib yang kurus. Andai bisa biarlah aku saja menggantikan rasa sakit yang di rasakan Habib."Sudah, Ay jangan menangis! Doa'kan, Habib segera sadar. Kamu ingat-ingat
Bruk.Hampir saja Anan menabrak truk kalau saja dia tidak membanting setir. Alhasil mobilnya menabrak pohon di pinggir jalan. Bemper mobilnya rusak parah di bagian depan. Pelipis Anan juga berdarah karena membentur dasbord. Darah seger menetes dari dahi Anan.Warga yang melihat kejadian langsung berhamburan mendatangi tempat kejadian.Mobil Anan mengeluarkan asap, segera para warga bergotong-royong membantu mengeluarkan Anan dari dalam. Anan dalam keadaan pingsan, sehingga warga yang mau menolongnya kesulitan untuk mengeluarkannya dari mobil.Pintu mobil Anan di ketuk dari luar. Para warga berteriak agar Anan segera terbangun sebelum mobil meledak kebakaran."Pak, buka pintu mobilny!" teriak warga bertubuh kurus tinggi.Hening tidak ada jawaban.Warga memgulangi lagi panggilan yang sama."Tuan, buk
Dokter Raka masih mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Lima puluh menit kemudian mobil yang kami tumpangi memasukki halaman parkir rumah sakit. Segera dokter membawa Habib, ke ruang UGD untuk di tangani.Hanya Habib yang boleh masuk ke dalam ruang UGD. Sementara aku, Nara dan Ustaz Rahman ada di ruang UGD. Aku terduduk di kursi panjang setelah Habib di bawa masuk dalam ruang perawatan. Kutundukkan wajah menatap lantai sambil kedua tangan bertumpu di atas lutut.Berkali-kali ku hela nafas agar sesak di dada sedikit berkurang. Aku sedang dalam keadaan bersedih. Baru beberapa jam yang lalu Habib keluar dari rumah sakit, sekarang harus kembali lagi di rawat. Entah biaya dari mana lagi aku mendapatkan untuk membiayai perobatannya kali ini."Bunda, apa Abang akan baik-baik saja?" pertanyaan Nara terlontar dengan polosnya.Pertanyaan Nara menyentakku yang secara tidak sada
Rencananya Habib akan dibawa pulang setelah dokter Raka menyatakan sembuh. Kesehatan Habib kian memperlihatkan kemajuan. Badannya sudah terlihat segar. Bahkan, wajahnya tidak terlihat pucat. Dokter Raka memberiku resep untuk menebus obat Habib di apotik depan yang ada di rumah sakit ini. Sebelum pulang aku terlebih dahulu menebus resep di apotik depan. Sementara Nara aku titipkan pada Ustaz Rahman. Aku berjalan melewati lapangan parkir untuk menuju apotik yang terletak di seberang rumah sakit. Kenderaan yang terparkir berjejer memenuhi lahan parkiran. Sekilas mataku menatap mobil Mercedes Benz C-Class Sedan seharga milyaran rupiah. Didalam mobil Mas Anan terlihat duduk menyandarkan kepalanya. Pelipisnya masih dibalut perban akibat cedera. Tapi, Sarah tidak ada bersamanya dalam mobil. Aku melintas melewati mobil mas Anan, ia menatap kosong ke arah apotik yang ada di depannya. Netra Mas Anan
"Seret, Ustaz munafik ini. Kedoknya sebagai ustaz hanyalah topeng saja. Ustaz Rahman sudah berzina dengan seorang wanita," Sarah berterik dengan antusias."Cambuk mereka, cambuk!" teriak salah satu pria yang berpostur tinggi menimpali.Ustaz Rahman dan Ayi diseret dengan paksa. Salah satu ibu-ibu menarik jilbab syar'i yang di kenakan Ayi."Percuma pakai hijab kalau kau berzina," sela ibu dengan suara bariton.Jilbab Ayi dilucuti dan injak-injak."Astagfirullah, demi Allah tuduhan kalian itu tidak benar ini fitnah," sergah Ayi terisak.Serayq meraih jilbab yang tadi diinjak-injak oleh salah seorang ibu. Sarah, kemudian merampas lagi jilbab yang diraih Ayi dan membakarnya.Sarah menyalakan pematik lalu membakar jilbab Ayi sembari tertawa."Ha ha ha ... Lihatlah, Ayi penutup kepalamu sudah aku bakar," ucapn