Sepenjang jalan aku tidak banyak bicara, hanya sesekali menyeka keringat yang menetes di dahi menggunakan ujung hijab yang aku kenakan. Hijab syar'i yang aku kenakan sebagai penutup aurat juga kupakai untuk melindungi kepala Nara dari sinar matahari. Aku mengecup kening buah hatiku dengan lembut saat Nara berada dalam gendongan.
"Bunda, Adik haus," ucap Nara.Aku segera meraih botol minum yang ada di dalam tas Habib, lalu memberikannya pada Nara yang sedang kehausan."Ini, Nak, minumlah!" Aku membantu Nara untuk meminum dari botol bekas air mineral yang ada di tangan.Bekal air minum itu selalu aku bawakan pada Habib agar setiap Habib kehausan bisa langsung mengambil dari persedian yang sudah ia sediakan.
Dengan pelan kemudian kami bertiga melanjutkan perjalanan menuju ke arah desa. Begitu memasuki perbatasan desa, aku bertemu dengan Bu Helmi yang berhenti tepat di samping kami bertiga."Lho, Ayi, Habib, kok jam segini sudah pulang?" tanya Bu Helmi heran.Habib menjinjing tas sekolahnya dengan memakai pakaian seragam sekolah. Padahal waktu masih menunjukkan pukul sepuluh pagi.
"Iya, Bu Kepdes. Tadi, Habib ada ulangan makanya pulang cepat," jawabku berbohong.Tidak ingin mengatakan pada Bu Kepdes kalau Habib disekor dari sekolah. Kalau Bu Helmi, tahu Habib sekor dari sekolah karena belum melunasi uang tunggakkan maka Bu Helmi akan memberiku uang untuk melunasinya. Aku tidak ingin dianggap pengemis karena meminta bantuan pada Bu Helmi. Sebab Bu Helmi sudah banyak membantu dalam hal materi selama ini.
"Oh, begitu," jawab Bu Helmi mengangguk. "Kalau gitu ayo temanin Ibu sebentar yuk."
"Kemana, Bu?" tanyaku kemudian."Belanja," sahut Bu Helmi.Aku masih berpikir untuk menjawab tidak dan menolak ajakkan Bu Helmi. Tapi, baru saja aku hendak menolak ajakkan Bu Kepdes, ia sudah turun dari mobilnya lalu menuntunku masuk ke dalam beserta anak-anak."Ibu, tahu kamu pasti akan menolak, iya' kan?""Bukan begitu, Bu Kepdes," sergahku."Sudahlah, Ay. Ibu, tahu kamu pasti menolak jika tidak dipaksa," lanjut Bu Helmi.Seraya menyuruh sopirnya untuk menjalankan mobilnya. "Jalan, Pak!"
Aku hanya menunduk tidak berani menatap Bu Helmi. Bu Helmi hanya tersenyum ramah ketika melihat anak-anak yang lucu dan imut. Nara kecil sudah di ajari memakai hijab meskipun umurnya masih sangat kecil. "Bu, kita mau kemana?" tanyaku kemudian."Kita akan pergi ke mall untuk membeli perlengkapan Rida saat acara pertunangan," jelasnya."Mall, itu apa Bunda?" tanya Nara polos.Bu Helmi tersenyum saat mendengar Nara bertanya tentang Mall pada bundanya."Mall, itu tempat menjual mainan, baju, dan perlengkapan lainnya, Nak," jawab Bu Helmi menerangkan."Adik, mau mainan ya, Bunda," ucap Nara polos.Aku hanya tersenyum kecut mendengar permintaan putri kecilku. Jangankan untuk beli mainan, untuk membeli makan saja aku masih kekurangan."Nanti, kalau Bunda sudah punya uang kita akan beli, ya, Nak," Aku menangkup wajah Nara lalu memberi kecupan."Nanti, Ibu akan belikan mainan buat, Nara," sela Bu Helmi."Abang, juga mau mainan ya, Bun," seru Habib girang.Aku hanya bisa mengelus dada mendengar permintaan kedua anakku yang penuh semangat.
Bu Helmi tersenyum kepada kedua anakku."Ibu, akan membelikan mainan yang kalian mau.""Gak usah, Bu," tolakku."Tak apa, Ay. Sekali-kali aja," jawabnya mengulas senyum.***Setiba di depan mall mobil langsung berhenti dan sopir menempatkan pada tempat parkiran yang berada di belakang. Sementara aku dan juga Bu Helmi serta anak-anak menuju ke pintu utama untuk memasukki mall tersebut yang terkenal besar dan menyediakan semua kebutuhan.Bu Helmi mengajak kami berkeliling-liling sekitar mall hingga menuju ke tempat permainan. Sejujurnya aku merasa canggung berada di tengah keramaian. Mereka memasukki ke dalam mall memakai pakaian bagus dan terlihat menarik. Sementara aku dan anakku hanya memakai pakaian lusuh seadaanya.Tapi, Bu Helmi tidak pernah melihat dari penampilan atau pun fisikku. Baginya aku tetap sama seperti yang lainnya yang tidak di bedakan karena status sosial.Kemudian Bu Helmi memesan dua tiket permainan untuk Habib dan Nara. Lalu memberikannya ke padaku."Ayi, ini tiket permainan sudah Ibu beli. Anakmu bisa bebas bermain apa saja yang di sukai selama dua jam," ucap bu Helmi sembari menyodorkan dua lembar tiket permainan."Terimakasih, Bu," sahutku menerima pemberian Bu Helmi.Aku segera membawa anakku pada permainan mandi bola. Banyak anak-anak seusia Habib dan Nara menyukainya sembari bermain perosotan."Bunda, itu Ayah," kata Habib sembari menunjuk Mas Anan yang juga ada dalam permainan itu.Mas Anan sedang mengendong gadis kecil berusia sekitar tiga tahun sedang mengajari bermain bola.Hatiku hancur seketika menyaksikan orang yang aku kenal ternyata telah mempunyai buah hati dengan wanita lain. Dari sampingnya terlihat wanita cantik berkulit putih tinggi sempai sedang merekam vidio putri kecilnya yang sedang bermain bola dalam gendongan Mas Anan. Wanita itu yang kulihat tempo hari saat Mas Anan datang ke rumah memakai mobil mewah.
Senyum terpancar bahagia dari bibir Mas Anan yang bermain bersama putri kecilnya. Ternyata ini alasan mas Anan menjatuhkan talak padaku. Sebabnya ada wanita lain di hatinya yang melebihi aku dari segalanya. Pantas saja selama lima tahun ini ia tidak pernah merindukanku dan juga anak-anak. Seketika aku tersadar dari lamunanku dan mengusap air mata yang sedari tadi tertahan perih dengan punggung tanganku. Aku tidak ingin terlihat lemah di hadapan kedua anakku."Ayah," panggil Habib menyapa Mas Anan. Segera ia berlari menghampiri Mas Anan yang sedang bermain bersama putri kecilnya.Aku berusaha mengejar Habib dan mencegahnya agar tidak bisa mendekati ayahnya yang sedang menggendong seorang anak kecil. Namun, usahaku gagal. Aku kalah cepat dari Habib yang sudah berhasil mendekat pada Mas Anan. Aku mencegah sekuat mungkin agar Habib tidak mendekati ayahnya dan wanita itu. Nara yang ada dalam gendonganku seketika juga menyebut Mas Anan dengan panggilan Ayah."Ayah!" seru Nara.Mas Anan seketika terkesiap melihat kedatanganku bersama Habib dan Nara.
"Maaf, aku tidak kenal kalian," ucapnya sembari bangkit dari permainan mandi bola lalu beringsut pergi.Semua mata yang memandang ke arah kami menatap heran dengan pandangan penuh selidik."Ayah," panggil Habib kembali berusaha memeluk Mas Anan yang masih menghindar. "Ayah, ini Habib. Habib juga datang bersama Bunda dan adik Nara.""Maaf, kamu salah orang, Nak. Aku bukan ayahmu," ucapnya sambil mendorong tubuh Habib dengan kasar.Tidak kusangka Mas Anan tega berkata demikian. Bahkan darah dagingnya sendiri malu ia akui di depan umum.
Habib terjatuh ketika Mas Anan mendorongnya hingga lututnya berdarah ketika terbentur sudut kotak yang berisi bola."Habib," seruku. Segera aku membantu Habib untuk berdiri. "Kamu gakpapa, Nak?"Habib mengeleng. "Tidak, Bunda.""Heh, dengar anak kampung! Jangan ngaku-ngaku sebagai anakku. Kamu itu gembel, gak pantas jadi anakku," celetuk Mas Anan.Bagai disambar petir saat siang hari menyambar tubuhku. Mas Anan malu mengakui darah dagingnya sendiri di hadapan istri barunya yang lebih terlihat kaya dan bergelar konlongmerat. Bu Helmi yang melihat adegan dramatis tersebut hanya menggelengkan kepala. "Sombong, mentang-mentang sudah jadi orang kaya anak dan istri dilupakan," ketus bu Helmi."Anda, jangan ikut campur urusan orang lain! Siapa kamu berani mengajariku hah?" tanya Mas Anan geram.
"Anan, lihatlah dirimu sekarang, kaya tapi miskin hati," tukas Bu Helmi.Semua mata yang menyaksikan adegan dramatis kami, memandang belas kasihan.
"Sayang, ayo segera kita pergi dari sini! Jangan pedulikan orang kampung seperti mereka," ucap Mas Anan sembari merangkul wanita muda berkulit putih.Hatiku hancur perih tiada terkira. Kusaksikan dengan kedua mata kepalaku sendiri bagaimana suami yang sangat aku cintai selama ini tega meninggalkanku demi wanita lain hanya karena aku miskin. Bahkan dengan sengaja ia menolak mengakui anaknya di depan umum. Katanya kami gembel yang tidak pantas berdekatan dengan orang kaya sepertinya.Habib menangis memanggil ayahnya yang pergi menjauh. Tanpa belas kasihan atau meminta maaf sepatah kata pun ia berlalu meninggalkan luka yang mendalam mengoyak hati serta jantungku."Ayah, jangan pergi! Ayah ... kami merindukanmu," panggil Habib berurai air mata. Kupeluk tubuh Habib dan memberi semangat padanya."Sabar, Nak. Mungkin pintu hati ayahmu belum terbuka untuk kita sekarang. Kita doa'kan saja semoga ayahmu menyadari perbuatannya," kuusap air mata Habib dengan jari tanganku dan memberinya semangat."Sabar, Bib. Ibu juga berharap agar ayahmu dikasih hidayah dan bertaubat," sela Bu Helmi. "Bunda, Ayah jahat," ucap Nara sembari menunjuk ke arah Mas Anan yang semakin terlihat menjauh."Ayah, tidak jahat, Nak. Ia mungkin sedang tidak ingin diganggu," ucapku."Ayah, tidak sayang sama kita," lanjut Nara lagi.Aku tidak bisa lagi membendung air mata ini yang sedari tadi sudah kutahan.
Anak seusia Nara begitu peka perasaannya terhadap orang tuanya. Ia mengatakan dengan polos kalau Mas Anan jahat dan tidak sayang.Mungkin benar aku sekarang adalah mantan istrinya. Tapi, di antara hubungan darah yang mengalir antara Mas Anan dan kedua anaknya tidak ada yang namanya mantan anak. Terlebih Habib dan Nara adalah darah dagingnya.
Setega itu ia tidak mengakui darah dagingnya hanya karena kami miskin. Kekayaan dan harta dunia sudah membuat Mas Anan silau akan dunia hingga melupakan ada tiga hati yang tersakiti karena perbuatannya.
Mata hatinya tertutup dan di butakan oleh cinta wanita yang berharta kaya-raya.Bersambung.Jangan lupa like dan komen ya guys.Habib masih menangis sembari memegangi lututnya yang berdarah akibat terjatuh sewaktu mengejar ayahnya. Ada rasa ngilu yang terkoyak menyayat hatiku. Tega-teganya Mas Anan tidak mengakui darah dagingnya sendiri."Nak, sudah jangan menangis lagi. Ayo bangunlah!" titahku pada Habib.Baju lusuh, seragam sekolah yang ia pakai telah menjadi perbedaan status sosial di mata ayahnya."Habib Sayang, ayo kita keliling mall ini. Ibu akan belikan mainan mobil-mobilan yang bagus untukmu," bujuk Bu Helmi.Bu Helmi menimpali pembicaraanku dengan Habib yang masih terisak sejak pertemuan dengan Mas Anan tadi yang dramatis.Binantang saja tahu kalau itu anaknya, tapi Mas Anan seorang Ayah tega melalaikan buah hatinya demi harta, tahta dan wanita.Masih segar dalam ingatanku bagaimana dulu Mas Anan pergi berpamitan merantau pergi mengadu nasib ke Jakarta untuk mencari p
Mentari pagi masih terlihat malu-malu muncul di garis cakrawala. Udara yang terasa dingin menusuk kulit pun tidak mengendorkan semangatku untuk bangun melakasakan semua kegiatan.Pada pukul empat pagi aku sudah bangun untuk melaksanakan salat tahajud setelah itu aku melanjutkan mengaji membaca Al-Qur'an sampai menjelang subuh. Baru setelah itu aku akan menyiapkan sarapan untuk ke dua buah hatiku. Sudah menjadi kebiasaan setiap hari senin dan kamis aku akan melaksanakan puasa sunah. Kebiasaan ini sudah aku jalanani sejak masa gadis dulu.Kedua orang tuaku bukanlah berasal dari orang kaya. Tapi, hanya penduduk biasa yang sehari-hari hanya bertani. Itu pun menjadi buruh ladang di tempat warga desa yang meminta jasanya. Kehidupan yang di jalananinya bisa terbilang sederhana. Meskipun aku terlahir dari keluarga tak mampu tapi kedua orang tua selalu
Sebelum fajar terbit, mentari bergegas naik di atas ufuk timur. Aku sudah bersiap-siap untuk berangkat menemani Habib, pergi ke Jakarta untuk mengikuti perlombaan MTQ.Persiapan pakaian, sajadah, mukena dan minyak angin sudah semua aku packing dalam tas ransel. Tidak banyak yang kubawa, karena memang kami hanya beberapa hari saja di sana. Setelah perlombaan selesai akan kembali ke sini.Kami pergi diantar oleh Bu Helmi dengan mengendarai mobilnya. Pak Nurmin juga memberikan alamat Mas Anan yang ada di Jakarta. Ia mengatakan kalau rumah Mas Anan sangat besar dan bagus."Ayi, ini alamat suamimu yang ada di Jakarta," ucap Pak Nurmin menyodorkan selembar kertas."Makasih, Pak," balasku mengulas senyum."Suamimu sudah menjadi orang kaya yang sukses di sana. Rumahnya besar dan punya mobil mewah," jelas Pak Nurm
Pesawat yang ditumpangi rombongan kami sedang landing. Setelah melakukan perjalanan selama dua jam, di atas angkasa setinggi 10000 kaki akhirnya tiba dengan tepat waktu pada bandara Soekarna-Hatta.Ustaz Rahman masih menggendong Nara, saat menuruni tangga keluar pintu pesawat. Aku berjalan mengekor di belakangnya. Sementara Ustaz Iman Farzan juga mulai turun dan berjalan di belakang mereka.Udara siang itu di bandara Soekarno-Hatta, begitu sejuk. Angin menyapu sepoi-sepoi, basah terasa menembus kulit ari. Gamis syar'iku yang menjuntai ke bawah pun, ikut melambai di terpa angin."Ustaz Rahman, gantian aku yang gendong, Nara. Pasti, Ustaz sudah lelah sedari tadi menggendongnya," ucapku.Wajah Ustaz Rahman yang berkarismatik tersenyum ke arahku."Tak apa, Ay. Tulangku masih cukup kuat untuk menopang tubuh Nara," Ustaz Rahman berkata se
"U- Ustaz," aku tertegun melihat lelaki berpakaian jubah panjang ke bawah dan memakai kopiah, kini berdiri di depan pintu wisma. Seraya tersenyum sembari menangkupkan tangan di depan dada."Asalamualaikum ya, Ukhti," ucapnya tersenyum."Waalaikumsalam," jawabku."Namaku, Adam. Aku adalah teman Ustaz Rahman, sewaktu di pesantren," lanjutnya memperkenalkan diri.Sejenak aku tertegun dengan tutur kalimat yang diucapkan. Bersahaja dan berwibawa, wajahnya juga tampan mirip dengan bangsa Arab, tinggi besar."Ada apa gerangan, Ustaz datang berkunjung? Maaf, kalau Saya lancang bertanya," tuturku sopan.Pandanganku seketika menunduk kebawah."Kedatanganku kemari untuk bersiraturrahmi, karena kita satu tim sesama dari Medan," ucapnya secara gamblang."Maaf, Ustaz. Tapi, Usta
Mobil yang di kemudikan ustadz Rahman memasuki rumah sakit. Kami pun segera turun dan membawa Habib ke ruang UGD. Sampai di ruang UGD kami di sambut oleh para petugas media. "Suster, dokter, tolong anak kami," teriak Ustaz Rahman. Seraya meletakkan tubuh Habib di atas bangsal. Suster menyambut dengan segera ke datangan kami. "Tenang, Pak. Kami akan menolong anak, Anda," ucap dokter. Habib segera ditangani para dokter dan suster. Lima menit kemudian dokter keluar dari ruang UGD. "Maaf, Ibu dan Bapak. Anak Anda mengalami keracunan makanan yang di namakan arsenik. Racun ini bekerja dalam waktu dua puluh empat jam. Sehingga saat makan yang di bubuhi racun tidak berbau rasa dan warna. Tapi, akan membuat pasien kehilangan kesadaran dan demam tinggi," jelas dokter. Aku dan Ustaz Rahman saling berpandangan. Seing
"Habib, Nak bangunlah!" Ayi menguncangkan tubuh Habib yang diam tak bergeming.Dokter yang sedari tadi menangin Habib, berusaha agar bisa menyelamatkan nyawanya. Beberapa suster mencoba membantu dokter, memasangkan jarum infus dan selang oksigen.Racun arsenik yang bekerja dalam tubuh Habib beraksi sangat lambat. Namun, bisa mematikan kalau terlambat menanganinya. Bisa berakibat fatal dengan kematian yang terkena racun tersebut.Aku terisak melihat tubuh Habib, tak sadarkan diri. Hati ibu mana yang tidak sedih bila menyaksikan buah hatinya terbaring sakit. Ustaz Rahman mencoba menenangkanku. Aku menangis sejadi-jadinya menyaksikan jarum suntik menusuk tubuh Habib yang kurus. Andai bisa biarlah aku saja menggantikan rasa sakit yang di rasakan Habib."Sudah, Ay jangan menangis! Doa'kan, Habib segera sadar. Kamu ingat-ingat
Bruk.Hampir saja Anan menabrak truk kalau saja dia tidak membanting setir. Alhasil mobilnya menabrak pohon di pinggir jalan. Bemper mobilnya rusak parah di bagian depan. Pelipis Anan juga berdarah karena membentur dasbord. Darah seger menetes dari dahi Anan.Warga yang melihat kejadian langsung berhamburan mendatangi tempat kejadian.Mobil Anan mengeluarkan asap, segera para warga bergotong-royong membantu mengeluarkan Anan dari dalam. Anan dalam keadaan pingsan, sehingga warga yang mau menolongnya kesulitan untuk mengeluarkannya dari mobil.Pintu mobil Anan di ketuk dari luar. Para warga berteriak agar Anan segera terbangun sebelum mobil meledak kebakaran."Pak, buka pintu mobilny!" teriak warga bertubuh kurus tinggi.Hening tidak ada jawaban.Warga memgulangi lagi panggilan yang sama."Tuan, buk