"Hallo, Mah?" Fatih menerima panggilan dari nomor mamanya malam itu."Datanglah ke sini, Fatih! Mama sedang sakit. Enggak ada orang di rumah Mama." Suara serak itu membuat Fatih panik. Bagaimanapun juga, wanita itu adalah mamanya. Yang melahirkannya. "Mama di rumah Mama sendiri?" tanya Fatih seraya melirik ke samping, pada Rani yang sudah terlelap dengan pakaiannya tidurnya. Fatih tak tega membangunkan Rani, masih mendengarkan cerita dari wanita di seberang sana. Dengan segala pertimbangan, akhirnya fatih berangkat juga. Ia menarik jaket hitamnya lalu pergi setelah mencium kening istrinya. Hujan lebat malam itu Fatih terobos dengan mobilnya. Ia buru-buru karena tak ingin mamanya kenapa-kenapa. Fatih memutar kemudinya memasuki halaman rumah mamanya yang terlihat sepi sekali. Satpam pun tak ada di sana. Ia harus membuka pagar sendiri, sampai pakaiannya setengah basah. Fatih kembali masuk ke dalam mobil dan masuk ke halaman. Lelaki itu mulai berlari ke dalam rumah yang tak terkunci i
"Mamaaaa!" Fatih berteriak kencang sampai semua orang yang ada di sana menoleh padanya. Sementara itu, Rani menutup mulutnya dengan kedua tangan. Semua orang melihat kejadian kecelakaan itu. Dengan suasana yang ramai itu, semua orang berhamburan mendekati wanita yang tadinya terpental karena tertabrak kendaraan. "Mama!""Mah!""Maaah!" Fatih mengguncang-guncangkan lengan mamanya. Dengan wajah penuh air mata itu, ia ingin sekali menggendong mamanya dan membawa masuk ke dalam rumah sakit. Namun apa daya, ia tak kuasa karena semua persendian terasa ngilu dan tak kuat karena melihat darah bersimbah di kepala wanita itu. "Mah! Mama dengan suara Fatih, kan?" Melania masih bisa membuka matanya. Bibirnya yang terasa kaku itu kini bergetar. "Maaf." Hanya satu kata itu saja yang keluar dari lisan Melania. Ia pun lantas memejamkan matanya karena nyawa telah tiada. Fatih berteriak memanggil karena histeris. Beberapa orang langsung membantunya mengangkat tubuh wanita itu dan membawanya ke ge
"Apa? Papa mau nikah lagi?" Tubuh Fatih seketika meremang. Kepalanya berdenyut nyeri, ditambah rasa panas membakar dadanya. Kedua tangan Fatih pun mengepal seolah siap melayangkan tinju kepada lelaki yang baru saja menalak Mamanya pekan lalu."Iya, Fatih. Papa akan menikahi Bu Erika, Ibunya Rani. Mereka akan tinggal di sini, bersama kita." Bram mengulas senyuman. Tangannya terayun menyentuh pundak Fatih, berharap dia akan menganggap Rani seperti adiknya sendiri.Rani dan Ibunya hanya bisa menunduk. Berdiri di tempat pertama kali kedua kakinya menjejak bumi kota Jakarta, di depan rumah Fatih. Rani baru saja mengetahui kalau Fatih, teman satu kampusnya adalah calon saudara tiri. Ia tak bisa membayangkan bagaimana jika mereka tinggal satu atap nanti.Begitu pula Bu Erika, ia gugup sampai-sampai tubuhnya gemetaran. Ia menggigit bibirnya karena takut Fatih tidak akan bisa menerimanya. Wanita mantan pembantu paruh waktu itu paham betul bagaimana sifat Fatih. "Tidak. Papa jahat! Papa baru s
Jingga di ujung senja membuat hati Rani semakin nelangsa. Semua barang miliknya telah terlempar keluar dari rumah beserta Ibunya yang tengah tersedu tepat di depan pagar bertuliskan 'Disita'. Rani baru saja sampai dan mendapati Ibunya dengan memar di pipi serta tangis pilu. Wajah keriput Erika membuat Rani langsung menghambur dalam pelukan wanita itu. Sekarang, sedetik pun Rani berjanji tak akan meninggalkan Ibunya lagi."Maafkan Rani, Bu." Gadis itu mengusap wajahnya setelah melepas pelukan. "Tidak usah takut lagi, Bu! Rani sudah di sini. Rani akan jagain Ibu." Gadis itu terus menguatkan Erika. Wanita tua yang baru saja mendapat perlakuan tak enak oleh dua lelaki berbadan kekar. Sayang, sampai di sana Rani hanya melihat Ibunya saja.Gadis mungil yang kini tumbuh dewasa itu bersumpah dalam hati. Jika ia bertemu dengan para rentenir yang tak punya hati itu, ia akan memberinya pelajaran karena telah menyakiti Erika."Ibu enggak apa-apa?" tanya Arfan. Yang sejak tadi masih tercengang me
Rani benar-benar menarik keras pakaian kebanggaan lelaki berwajah muram itu. Hingga Fatih hampir saja terjungkal ke belakang. Rani sudah tak bisa sabar lagi mendengar setiap umpatan Fatih sejak pertama Bramantyo menyatakan niatnya menikahi sang Ibu."Apa sih maumu sebenarnya?" bentak Fatih. Hingga beberapa karyawan dan karyawati berdiri menyaksikan dua anak manusia itu bertengkar. Fatih memang berwajah tampan, tetapi sifatnya sangat jauh berbeda dengan fisiknya."Seharusnya aku yang tanya seperti itu padamu! Sekali lagi kau sebut Ibuku dengan sebutan seperti tadi, kupastikan kau akan menyesal!" ancam Rani. Gemeretuk gigi Rani bisa terdengar hingga ke telinga Fatih.Melihat Rani yang menyeringai tajam, Fatih tak mau kalah. Lelaki berhidung bangir itu mengayun langkahnya semakin maju. Membuat Rani terbelalak. Fatih telah membuat gadis itu terpojok di sudut ruangan. Lalu, mendekatkan wajahnya hampir bersentuhan kulit hidung Rani. "Jangan harap kau akan tenang kerja di sini! Sebentar lagi
"Mas Arfan, bukan? Ya Allah." Rani terkejut setelah lelaki itu membuka kaca mata hitamnya. "Iya, Ran. Ini aku, Arfan." Pemuda tampan dengan segudang prestasi itu mengulum senyuman. Membuat Bram tercengang. "Kalian sudah saling kenal?" Bram menunjuk dengan jarinya pada mereka secara bergantian. "Iya, Om. Saya dan Rani satu kampus dulu. Dalam hati Arfan, ia memang sengaja pindah kantor karena tahu kalau Rani bekerja pada Bram, sahabat Papanya."Wah, saya yakin perusahaan ini akan semakin maju dengan adanya kalian." Kedua mata Bram berbinar-binar. Tak salah ia mengajak Rani dan Arfan bekerja di sana. Bram mengajak mereka makan siang mewah. Sebagai acara penyambutan mereka berdua. Dalam hati lelaki itu, sebenarnya ia teringat dengan Fatih. Andai, Fatih seperti Arfan atau Rani yang mudah diatur dan menerima keadaan. Pasti Bram akan menjadi orangtua paling bahagia."Oiya, Om, gimana Fatih? Apakah dia juga bergabung di perusahaan Om?" tanya Arfan di sela-sela menikmati jamuan siang. Meat
Dengan hati perih, Fatih dan dua orang di belakangnya membuka pintu ruangan tempat Bram terkulai tak berdaya. Selang infus serta cup oksigen telah menempel pada bagian tubuhnya. Bram masih belum sadarkan diri.Fatih segera mendekat dan menatap setiap jengkal tubuh lelaki yang telah menyebabkan ia terlahir di dunia ini. Saat seperti ini, pemuda itu menyesali semua perbuatannya. Ia terduduk di samping ranjang rumah sakit dengan bibir mengatup rapat."Sabar, Fatih!" Rani menyentuh pundak lelaki itu. Fatih tak menjawab. Pikirannya masih bergulat tentang sebab-sebab Bram terbujur di sana.Lepas beberapa detik berlalu, Bram menunjukkan gerakan lewat tangannya. Napasnya juga terdengar berat membuat Fatih segera beranjak dari kursi. Bram telah melewati masa kritis."Pa," panggil Fatih seraya menyentuh tangan Papanya.Rani dan Arfan pun sontak mendekat. "Papa," panggil Fatih lagi. Ia tak sabar ingin melihat Bram membuka mata. "Fatih." Bram mengeratkan genggaman tangan putranya. Suasana beru
Pemandangan laut lepas membentang di hadapan gadis cantik itu. Ia seperti orang kebingungan karena mencari keberadaan Fatih yang tak kunjung terlihat batang hidungnya. Sudah beberapa menit berlalu, sejauh hamparan pasir di depan mata Rani, Fatih nihil tak ditemukan."Fatih, jangan mulai membuatku repot dan kehilangan waktuku!" gumam Rani seraya pasrah dan duduk menyandar pohon kelapa dan menatap laut biru yang menggulung ombak, menerpa karang.Di belakang sana, tepatnya di kursi kayu dengan kaki bertopang, Fatih menyeringai puas. Satu sudut bibirnya terangkat bersorak dalam hati. Ia mulai berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana, lalu mendekati gadis muda yang telah menunggunya sejak tadi.Rani masih mencari sosok yang membuatnya bimbang, awan mulai bergumul membentuk kepalan hitam. Ia khawatir jika badai akan datang. Angin pun seakan tak mau tenang, menerbangkan jilbabnya ke sana ke mari."Heh!" Fatih membuat Rani terkejut. Gadis itu mengguncangkan bahu yang menjiplak k