Share

Bab

Rani benar-benar menarik keras pakaian kebanggaan lelaki berwajah muram itu. Hingga Fatih hampir saja terjungkal ke belakang. Rani sudah tak bisa sabar lagi mendengar setiap umpatan Fatih sejak pertama Bramantyo menyatakan niatnya menikahi sang Ibu.

"Apa sih maumu sebenarnya?" bentak Fatih. Hingga beberapa karyawan dan karyawati berdiri menyaksikan dua anak manusia itu bertengkar. Fatih memang berwajah tampan, tetapi sifatnya sangat jauh berbeda dengan fisiknya.

"Seharusnya aku yang tanya seperti itu padamu! Sekali lagi kau sebut Ibuku dengan sebutan seperti tadi, kupastikan kau akan menyesal!" ancam Rani. Gemeretuk gigi Rani bisa terdengar hingga ke telinga Fatih.

Melihat Rani yang menyeringai tajam, Fatih tak mau kalah. Lelaki berhidung bangir itu mengayun langkahnya semakin maju. Membuat Rani terbelalak. Fatih telah membuat gadis itu terpojok di sudut ruangan. Lalu, mendekatkan wajahnya hampir bersentuhan kulit hidung Rani. "Jangan harap kau akan tenang kerja di sini! Sebentar lagi kupastikan kau akan mengajukan surat pengunduran diri."

Di dalam ruangan itu, dengan pintu terbuka lebar, Rani menutup mulutnya. Memejamkan mata sejenak untuk menetralisir rasa kesal dan debaran jantung yang tak bisa diatur. Hampir saja Fatih berbuat kurang ajar. 

Keadaan kembali tenang, Rani mulai beradaptasi dengan berkas-berkas yang sudah ada di hadapannya. Ia sangat cekatan dan menyelesaikan setiap tugas yang diberikan kepadanya. Rani terus fokus pada layar segi empat di depannya hingga tak menyadari Bram telah masuk.

"Ran," sapa Bram dengan lembut. Dalam relung hatinya, melihat Rani sama seperti melihat Erika. Wajah mereka nyaris seperti pinang dibelah dua.

"Eh, ada Om. Maaf, Om, Rani tadi enggak tahu." Gadis itu membalas senyuman Bramantyo. Ia segera berdiri dan mendekati bos-nya sekarang.

"Ran, bagaimana kerajaanmu? Apa ada kendala? Semoga kamu betah kerja di sini. Jika ruangan ini terlalu panas, bilang saja! Nanti akan direnovasi ulang," kata Bram sambil menatap sekeliling ruangan berkaca itu.

"Tidak, Om. Saya sangat senang kerja di sini, nyaman. Saya karyawati baru tapi sudah diberi tempat nyaman seperti ini. Apa nanti tidak ada yang iri, Om?" Gadis itu menekan ucapannya agar tidak terdengar yang lain. Ia takut terjadi persaingan kelak dan menimbulkan iri dengki.

Lelaki dengan setelan jas dark blue itu membalik badannya. Menatap lurus pada gadis yang gagal jadi anak tirinya. Napas berat dan pundak luruh, Bram tersentuh dengan kata-kata Rani. Biasanya seorang karyawan akan mendambakan dan mati-matian mendapatkan posisi ini apalagi dengan instan. Berbeda dengan Rani, memang gadis itu mirip sekali sifatnya dengan Erika. 

"Tidak akan ada yang iri, Ran. Kamu memang pantas mendapatkan jabatan ini. Selamat bekerja, jangan lupa minta do'a pada Ibumu agar karirmu selalu diberkahi." 

Rani merasakan perhatian kecil lelaki itu sudah seperti ayah sendiri. Ia teringat Santoso. Lelaki yang selalu mengajarinya ikhlas ketika menjalani sesuatu. 

"Iya, Om. Tentu saja, Rani selalu meminta do'a dari Ibu. Terima kasih banyak, Om."

Bramantyo tersenyum lagi. Mereka tak tahu, di balik pintu ruangan Rani, Fatih tengah menahan luapan api yang tengah membara. Lelaki itu tak terima jika Papanya memberikan sejumlah fasilitas kepada Rani. 

Fatih segera pergi sebelum ia ketahuan menguping. Tak lama setelah Bram keluar, tatapan Fatih sangat tajam pada lelaki itu. Fatih kemudian mengikutinya dari belakang.

"Pa," panggil Fatih dari belakang Bram.

Bram berhenti seketika. Sebelum menoleh, ia mengatur napas agar tidak terbawa emosi karena sikap semena-mena Fatih. Jangan sampai keributan kembali terjadi di kantor apalagi pagi-pagi seperti ini.

"Ya, ada apa, Fatih?" tanya Bram.

"Papa pilih kasih! Kenapa anak pembantu itu dengan mudah mendapatkan tempat yang enak di kantor? Dia baru saja masuk ke sini belum ada 24 jam. Apakah karena Papa menginginkan Ibunya? Sehingga memberikan semua fasilitas pada Rani? Memalukan!" Otot-otot rahang Fatih mengeras. Sorot tajam bagai elang siap menyambar Bramantyo. 

"Jaga ucapanmu, Fatih! Kalau kau tidak mau bekerja dengan Papa, ya, sudah. Silakan pilih sendiri jalan hidupmu. Papa hanya mengarahkan kamu agar menjadi penerus yang bisa bertanggung jawab. Menjaga lisan saja kamu tak bisa, bagaimana mau menjadi pemimpin perusahaan?" Bram tak ingin masalah semakin berlarut. Lelaki dengan segudang kesabaran itu takut lepas kendali lagi. Ia segera pergi ke ruangannya sendiri.

Fatih masih tergugu, berdiri sendiri di sana. Sesaat menoleh ke samping dengan hamparan gedung-gedung tinggi yang bersebelahan dengan kantor Papanya. 

***

Rapat akhirnya dimulai, di sana Bram mengenalkan Rani sebagai perwakilan juru bicaranya. Beberapa jajaran petinggi perusahaan mulai mengatur strategi pemasaran. Rani tak tanggung-tanggung memberikan tanggapan dan pendapatnya.

Semua tampak memperhatikan dengan serius. Kecuali seorang lelaki yang masih dan terus mengepalkan tangannya karena Rani terus mendapat kesempatan bicara dan ucapan selamat dari semua yang hadir. 

Fatih tak tahan dengan kerlingan mata hazel milik Rani. Gadis itu membuatnya membara. Sepanjang rapat, Fatih hanya bungkam. Hingga tiba di penghujung acara, Fatih keluar lebih dulu. Sampai di luar, tiba-tiba satu tangannya dicekal dari belakang.

Fatih berhenti seketika. Tatapannya berubah malas. "Ada apa?" tanyanya pada wanita berambut pendek itu.

"Sepanjang rapat, kau diam saja. Apa ada yang membuatmu kesal?" tanya Dini, saudara pertama Fatih.

"Malas," jawab Fatih, ketus. 

Tak lama setelah itu Rani keluar. Ia berjalan beriringan dengan Bram dan karyawan lainnya melewati Fatih begitu saja, tanpa kata, tanpa sapaan.

"Aku tahu, kau kesal dengan mereka, bukan? Sama. Aku juga tak suka dengan sikap Papa yang mendadak perhatian dengan anak pembantu itu." Dini menyedekapkan kedua tangannya di depan dada. Menatap mereka yang hendak memasuki lift.

Fatih mendesah kesal. Ia tak menanggapi pernyataan kakaknya. Lelaki itu segera meninggalkan Dini yang masih terus menghina kedudukan Rani di samping Bram. Dini semakin kesal karena sikap adiknya yang seperti tak peduli. Wanita dengan penampilan fashionable itu kesal sampai mengentakkan kakinya. Menimbulkan bunyi khas dari high heels setinggi lima senti.

"Oiya, Ran, besok ada karyawan baru juga. Dia yang akan membantu kamu membuat design untuk produk baru kita. Dia memang ahli kata teman saya di salah satu perusahaan ternama. Untungnya, dia mau pindah kerja di sini," ujar Bram saat mereka berhenti di depan lobi. 

"Baik, Om. Besok, Rani, ikuti arahannya." 

Bram mengangguk. Ia hendak pergi untuk pertemuan makan siang di lain tempat. Saat langkahnya baru saja terayun, tiba-tiba kedua matanya melihat sosok yang baru saja dibicarakan. Bram mengurungkan niatnya. Senyumnya mengembang membentuk lengkungan manis.

"Ran, apa kamu lihat lelaki itu?" Bram menunjuk dengan tatapannya, jauh ke depan. Seorang lelaki dengan wajah segar dan penampilan paripurna baru saja menuruni kendaraan mewahnya. Kedua tangannya membenahi kancing jas berwarna nude. 

Seketika Rani menajamkan indera penglihatannya. Ia benar-benar memindai lelaki itu dari bawah hingga ke atas. Rani merasa seperti mengenalnya.

"Assalamualaikum, Om?" sapa lelaki itu ketika ia sampai di depan Bram dan Rani. Ia mengulurkan tangannya menyalami lelaki bergelar direktur utama itu.

Bram menepuk pundak pemuda itu. Umurnya tak jauh beda dengan Fatih. Pantas Bram merasa pemuda kepercayaannya itu seperti anak sendiri. 

"Wa'alaykumsalam. Bagaimana kabarmu, Nak? Papa gimana, sehat?" tanya Bram.

Rani yang masih berdiri kokoh tanpa sengaja terus menatap tanpa berkedip. 

"Alhamdulillah, sehat, Om. Papa kirim salam untuk Om," balas lelaki itu."

"Oiya, kenalin ini Rani," sela Bram di tengah obrolan mereka.

Rani tampak terkejut melihat lelaki itu. Gadis itu benar-benar memastikan apakah dia orang yang sama dengan yang ia kenal sebelumnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status