"Fatih!" Suara Rani memekik. "Apa-apaan kamu?" Rani yang hendak mencari kembali liontin yang telah lenyap entah ke mana langsung dicegah oleh Fatih. "Dasar wanita tak tau malu! Kemarin kau menggoda Papaku, sekarang kau menggoda bawahannya? Lantas, setelah ini siapa lagi? Aku?" Seringai mengejek itu selalu mengikuti setiap ucapan Fatih. "Bukan urusan kamu!" Saat Rani terus menjawab, Arfan mencoba melerai. Pemuda yang lebih tua dari Fatih itu tak ingin mereka menjadi bahan perhatian para pengunjung. Rani melepaskan tangan Arfan yang menyentuhnya. Napasnya tersengal hanya dengan satu kalimat saja. Namun, di dalam dada sana ia menyimpan ribuan kata yang tak mampu terlontar."Sudahlah, Ran! Kita tidak perlu berlelah-lelah meladeni dia. Apakah kamu lupa, Om Bram sendiri yang mengatakan kalau dia itu ...." Arfan sengaja menyudahi kalimatnya. Ia rela Rani mengalami tekanan terus menerus. Apalagi, semua itu karena ulah Fatih.Bibir mengatup, Fatih seketika melangkah dan menantang dengan dada
Fatih membalik badan. "Ran!" Ia melihat Rani tiba-tiba ambruk dan tak sadarkan diri. Wajah yang menoleh kanan kiri itu memastikan bantuan. Dengan segala daya yang ia miliki, Fatih mengangkat tubuh kurus Rani dan membawanya kembali ke hotel. Arfan sudah tak terlihat lagi di dalam kamar. Fatih lantas meletakkan Rani di atas ranjang. Namun, saat memastikan sekelilingnya, Fatih tak menemukan barang-barang Arfan tak terlihat lagi. Koper sedang yang tadi pagi masih teronggok di sudut ruangan, kini bersih tanpa jejak. Fatih segera menuang air dalam gelas. Ia mencipratkan pada wajah Rani. Rani masih diam tak juga sadar juga, membuat Fatih semakin gelisah, sungguh ini keadaan di luar bayangannya. Ada apa dengan gadis itu?Fatih sudah mencoba menghubungi Papanya, tetapi tidak diangkat. Akhirnya, hanya sebuah kepasrahan yang mampu ia perbuat. Menunggu Rani hingga sadar. Selain itu, pekerjaan kantor yang baru saja disepakati tadi pagi, ia cek kembali di sofa dalam ruangan itu.Keputusan yang te
Ragu Rani mengatakannya. Akan tetapi, ia tak punya cadangan benda itu. Kedua mata menatap ke bawah mencari solusi yang tepat. Sejujurnya, Rani pun malu mengatakan hal itu."Apa, Ran? Cepat katakan!" Fatih mulai lelah menunggu. Ia berdecak tetapi tak tega."Aku ... nitip pembalut," bisik Rani dengan sangat pelan. Bahkan hampir saja Fatih tak mendengar. "CK, ada-ada saja. Enggak mau! Beli aja sendiri!" Dengan nada sewot, Fatih menyedekapkan tangannya di depan dada. Ia menyandarkan punggungnya pada dinding dan menatap ke depan."Please, Fatih! Perutku kram, ini sudah biasa terjadi. Kalau lagi begini, tensiku pasti rendah. Ibu biasanya membuatkan jamu khusus. Tapi, kan, kita sekarang lagi ada di sini." Tak kuat lama-lama berdiri, Rani mencoba meraih pegangan setelah kaki kanannya yang basah menjejak kain keset di bawah mereka."Hem, biar kubantu!" Meskipun terlihat menyebalkan, tetapi Fatih diam-diam memiliki sifat perhatian.Ia membantu Rani lagi kembali ke atas tempat tidur. Ketika gadi
Tak ada pergerakan lagi dari gadis itu, Fatih mulai melirik. Ia termenung sesaat hingga berdiri meraih bantal di sebelah Rani. Fatih pun meredupkan cahaya lampu utama dan tidur di sofa tadi. Malam ini, suasana tambah lain. Wajah gadis itu kembali mengganggu ruang kepalanya. Juga melapisi kelopak mata di atas senyuman semanis madu.Apalagi saat Rani mengulas senyum ikhlas pada Arfan, dada Fatih terasa sesak dan kesal. Pemuda dengan kaus hitam itu bangkit dari tidurnya lagi. Ia meneguk satu gelas berisi air putih lalu menyalakan lampu utama. Dua tiket untuk besok pagi pun siap dipesan dari ponselnya.***Ruangan yang mereka tempati begitu penuh. Dua kursi telah siap menjadi sandaran empuk penghuninya. Rani duduk di bagian dekat jendela, sementara Fatih masih saja memasang wajah juteknya. Namun, mereka mempunyai misi yang sama. Yaitu, sampai di tempat tujuan dengan segera dan selamat.Pramugara telah menunjukkan aksinya, memberi pengumuman mengenai apa saja yang harus dilakukan dan yang
Punggung lelah, seharian dalam perjalanan. Kini, menggelepar sudah menyandar kursi sederhana dalam ruang tamu yang juga tampak apa adanya. Anggi datang membawa nampan berisi dua gelas minuman segar dan satu piring pisang goreng yang masih terlihat kepulan panas."Silakan," ucap Anggi. Senyumnya tak berhenti berkibar karena kedua mata tak lepas dari melirik sosok tampan berbalut jaket bombers keluaran terbaru. "Mas Arfan, silakan, Mas! Jangan sungkan. Di sini adanya ini. " Beralih pada sang adik yang terus salah tingkah, Rani bertanya, "Siapa yang bikin, Ang? Eh, Ibu mana? Kenapa dari tadi enggak ada?" Sambil mengunyah, Rani melirik lebih ke dalam. Lalu, tatapan keluar lagi karena memang tampak sepi sejak tadi. Pria dengan potongan rambut rapi itu mulai meraih makanan yang disediakan di meja. Arfan adalah tipe lelaki yang sangat menghargai pemberian siapa pun. "Ang? Aang?" Rani kembali mengulangi pertanyaannya. Ia menyadari sebuah kerlingan mata yang baru saja beralih padanya. "Heee
Udara di pinggiran kota Jakarta, menuai banyak pujian. Embun yang membasahi dedaunan dan rumput hijau pagi ini, bukan hanya memanjakan mata tetapi membuat penduduk setempat menikmatinya dengan olahraga. Waktu libur telah tiba, Rani baru saja keluar dari kamarnya setelah selesai mengecek berkas untuk besok. Hari ini, ia mempunyai jadwal lari pagi di sekitar tempatnya tinggal. Semoga tidak mendengar para tetangga membicarakannya lagi."Ran, kapan nikah? Lu udah umur berapa, tuh?""Jangan lama-lama sendirian, nanti takut jadi perawan tua!" "Gimana mau hidup enak, orang rumah aja dikasih orang."Dan lain sebagainya, terus terngiang dalam benak dan tak jarang menggores luka di hatinya apalagi saat sang ibu yang menjadi bahan perbincangan.Menautkan tali sepatu hingga menjadi simpul kupu-kupu, membenahi pakaian yang tidak ketat, satu lagi uang. Rani menyelipkan lembaran biru pada saku gamis ringannya. Sebelum pulang, dia berencana mampir membeli bubur ayam. "Ang! Aang? Kamu jadi ikut, en
"Ih, enggak jelas!" Rani hendak menghindar tetapi tangannya langsung dicekal oleh Fatih. Ia berusaha melepaskan tetapi tetap saja percuma.Keramaian pagi itu tak membuat surut nyali Faith untuk mengganggu ketenangan Rani. Padahal, hanya menyapa saja, Fatih merasa Rani telah menggoda Papanya."Jangan sok-sokan mencari muka di hadapan Papa! Dia itu sudah tua sementara kamu gadis dari desa. Jangan sok perhatian!" "Astaga, Fatih! Jaga ucapan kamu! Aku bukan seperti yang kau tuduhkan." Napas Rani naik turun. Ia mencoba mengalah karena menjaga Marwah keluarga.Seringai tajam Fatih berhasil membuat Rani menahan luka. "Sudahlah, Ran! Tidak usah menutupi. Kau sam saja dengan Ibumu yang berniat mengambil hati Papaku! Enyah kau dari hadapanku!" Fatih menabrak gadis itu dan mendekati Papanya yang kebetulan tidak melihat pertengkaran mereka."Mbak, siapa, sih itu? Kenapa omongannya pedes banget? Amit-amit, deh, aku punya laki begitu. Sembarangan nuduh orang." Anggi mulai menunjukkan perhatian. Ga
"Mereka lagi, Mbak." Menjawab dengan fokus masih pada dua lelaki di luar sana, Anggi kemudian membalik badan dan menemui Ibu dan kakaknya.Erika yang masih belum paham pembahasan kedua putrinya itu masih plonga-plongo. Wanita tua yang mengenakan jilbab soft green itu ditarik masuk ke kamar. Mereka bertiga berunding di dalam sana. Namun, waktu sudah menunjukkan untuk mereka segera keluar.Suara ketukan pintu yang disertai dengan salam lembut dari sosok gagah Bramantyo, membuat Erika terperanjat. Ia baru paham kalau sejak tadi dua gadisnya tengah membicarakan pria itu. Pria yang sempat melamarnya tetapi gagal."Itu Pak Bram," pekik Erika. "Udah, Bu. Ibu di dalam aja! Tidak perlu keluar karena kita tidak bisa menjamin ucapan si Fatih tidak akan menyakiti Ibu." Rani memberikan peringatan."Bener kata Mbak Rani, Bu. Tunggu sini, kita yang akan keluar," tambah Anggi. Mereka pun berpura-pura bersikap biasa dan seperti tidak terjadi apa-apa. Lalu, mereka keluar menjawab salam secara bersama