Share

Bab 7

Benda persegi panjang dengan layar menyala menampilkan gambar-gambar design milik Rani. Tercatat ratusan design yang telah mendapat persetujuan perusahaan. Design-design itu rencananya akan dibuat bahan meeting dan pengajuan kerja sama. Rani segera menyimpan semua file pada flashdisk yang telah disiapkan sejak dari Jakarta.

"Mbak, enggak tidur?" Fita yang sudah merebahkan diri sejak tadi, kini membuka mata lagi karena merasakan tenggorokan yang kering. Gadis itu pun segera bangkit dan berjalan sempoyongan bak orang mabuk menuju tempat air minum.

"Aku enggak bisa tidur, Fit." Masih dengan tatapan pada laptop, Rani menjawab. Tangannya masih menari di atas keyboard, lalu Fita ikut duduk di sebelahnya. Memahami setiap perkataan Rani agar ia tidak kagok besok.

*

Semburat mentari pagi membuat dua raga melangkah cepat. Mondar-mandir mencari pakaian dan menata berkas, mereka terlihat kalang kabut meski semalam sudah disiapkan, tetapi mereka tak ingin ada satu pun yang tertinggal. Mereka harus siap sebelum jam tujuh pagi, karena konon klien mereka adalah orang yang tak bisa menunggu.

Siap dengan segala penampilan dan bahan meeting, Rani dan Fita bergiliran keluar dari kamar hotel. Blazer hitam dan jilbab senada membuat Rani terlihat cantik. Ia mengetuk pintu kamar Arfan dan tak lama setelah itu pria berwajah manis dengan lesung di pipi itu keluar. Senyum menawan pun tersaji bak seorang pangeran.

Disusul di belakang mereka, Fatih dengan sorot mata tajam siap menyambar mengikuti dari belakang. Bibirnya yang semu kemerahan membuat sedikit perhatian Rani tertuju padanya. Namun, begitu Fatih menyadari bahwa gadis itu menatapnya ia semakin bangga diri.

"Tidak usah heran, aku memang terlahir tampan. Buruan jalan!" Fatih melukis seringai tipis.

Sontak ucapannya tadi membuat Rani mendengkus kesal. Sikap Fatih memang berlebihan. Tabiat yang memang melekat padanya adalah kesombongan.

Mereka memasuki ruang meeting yang disewa dalam hotel tersebut. Dipimpin oleh seorang Fatih yang terlihat gagah tetapi tak main-main jika mengambil keputusan. Fatih berencana mengeluarkan dana besar untuk kerja sama dengan klien di Bali.

Rani dan Arfan selaku penasihat belum memberikan komentar, sebab mereka paham betul jawaban apa yang akan didapat jika berhadapan dengan putra kedua dari Bramantyo Airlangga Nabhan itu.

Setelan semua tanda tangan dan keluar ruangan, Arfan dan Rani sengaja tertinggal. Mereka mendiskusikan keputusan Fatih. Haruskah menghubungi direktur utama mereka atau semua yang Fatih lakukan sudah mendapat persetujuan Bramantyo.

"Menurutmu gimana, Ran?" Arfan menatap dengan senyum mengembang.

"Enggak usah ngeliat aku dengan begitu kali, Mas. Jengah aku!" Rani tertawa, menutup wajahnya segera.

"Ngapain malu? Orang aku cuman ngeliat aja, bukan mau bikin kamu malu." Arfan ikut tertawa.

"Menurut aku, kita ikuti saja permainan Fatih. Jika perusahaan mengalami kerugian, toh, dia yang mengambil keputusan tanpa berunding sama kita." Rani menatap jauh, ia menimbang ucapannya lagi. "Tapi, kasihan juga nanti kalau ada apa-apa. Apa kita bicarakan sama dia lagi?”

"Menurutku jawaban pertama itu lebih tepat. Kalau ada apa-apa, dia sendiri yang akan menanggung. Dia itu tidak bisa dikasih tau."

Rani mengangguk.

Dari balik dinding, sebuah kepalan tangan membentur dengan keras. Namun, tak sampai terdengar oleh dua anak manusia yang tengah membicarakannya di dalam. Mereka telah menertawakannya.

Semua urusan di sana telah mendapat kata sepakat, artinya semua telah finis atau selesai.. Sore itu, Fita pulang lebih dulu karena sebuah urusan keluarga, sementara Rani tertinggal dengan dua lelaki di sana. Sebelum pulang, Arfan mengajak Rani untuk jalan-jalan menikmati alam yang membentang di hadapan mata.

Di sekitar pinggiran pantai, terdapat penjual beraneka buah tangan dan pernak-pernik. Satu sentuhan tangan Arfan memegang sebuah liontin. Pemuda itu tak bertanya harga dan ia segera meminta penjualnya menotal belanjaan.

"Untukmu," kata Arfan. Ia mengalungkan langsung pada leher gadis itu.

Tiba-tiba Fatih datang dan langsung menarik liontin tersebut hingga putus. Bibir mengatup rapat dengan tangan melempar liontin tadi ke sembarang arah. Dua lelaki itu saling beradu pandang dan siap melayangkan amarah meski mereka di depan umum.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status