"Baiklah, saya akan pulang dulu." Lelaki berwibawa itu menegakkan punggungnya lagi setelah menekan lutut dengan menahan nyeri pada dada yang akhir-akhir ini kembali mengikat dari dalam. "Saya tunggu jawaban kamu, Ran. Bersedialah menjadi menantu saya. Bukan hanya hutang Bapakmu saja yang lunas, tetapi aku akan sangat lega karena telah menjalankan satu amanah besar almarhum." Begitu besar harapan pria itu pada Rani, tak peduli dengan Fatih yang akan menolak atau tidak. Bram tahu persis, Fatih tidak akan bisa hidup tanpa naungan darinya."Insyaallah, Om. Tapi ... saya tidak bisa janji akan menjawab dengan cepat. Bagi saya, itu permintaan yang sangat berat." Rani berdiri diapit oleh dua wanita lainnya. Mereka mengantar Bram hingga pergi dari sana."Oke. Saya pamit dulu, assalamualaikum?" Bram mulai melangkah mendekati mobil. Sebenarnya, ia masih sangat ingin menginjak tanah subur di bawah pepohonan rindang itu. Sebab, dia begitu betah di sana. Akan tetapi, tak enak dengan tetangga yang m
Rani sudah tak sanggup lagi mendengar yang sangat keterlaluan menurutnya. Akhirnya, mobil sampai juga di pelataran kantor. Rani pun kembali mencoba membuka pintu berkaca itu tetapi percuma. Fatih masih menguncinya.Seringai yang terlukis di sudut bibir pria egois itu menunjukkan betapa dia telah puas melontarkan semua kata yang patut untuk Rani."Buka pintunya, Fatih! Kau masih belum puas juga menghinaku? Suatu saat hinaanmu itu akan kembali pada dirimu sendiri." Sudah tak tahan lagi, kedua mata Rani pun memerah siap meletupkan buliran bening. Mereka saling berbalas tatapan dan beradu emosi."Aku belum puas!" Fatih terus menajamkan tatapannya. Bahkan dia sudah berani semakin mendekatkan wajahnya pada Rani tetapi gadis itu segera memberikan kepalan tangannya yang akhirnya berhasil membuat Fatih meringis, menahan panasnya tamparan."Jangan macam-macam kamu, Fatih! Aku tidak segan-segan membuatmu menyesal nanti. Cepat buka pintunya!" Kembali terdengar sentakan keras Rani. Fatih pun seger
"Hallo?" Arfan mengangkat panggilan dari nomor kantor. Suara wanita di seberang sana terdengar panik dan gugup. Pria berkumis tipis itu pun mendelik kala sebuah nama terkabarkan kembali memasuki ruangan IGD. Rani yang mendengar lirih dari balik telepon itu juga tak kalah kaget. Mereka saling melempar pandangan dan Rani segera berdiri menyamai Arfan."Kenapa dengan Om Bram, Mas? Ada apa?" Tubuh yang terasa meremang kembali menekan debat dalam dada."Om Bram masuk rumah sakit lagi. Dia telah menulis wasiat untuk kalian, kabarnya. Ayo, kita ke sana!" Arfan mengemasi barang-barang yang tergeletak di meja makan. Mereka segera meluncur ke rumah sakit.Brankar didorong dengan kuat dan kaki-kaki berlari mempercepat penanganan. Masuk ke ruangan khusus dan lampu-lampu berpusat di tengah. Bram sudah tak sadarkan diri. Napasnya lemah dan denyut jantung kembali dipompa.Fatih hanya bisa menyesali perbuatannya dan duduk menunggu di depan ruangan tertutup itu. Kedua telapak tangan berubah dingin da
Di atas meja, sebuah benda bulat dengan angka-angka yang melingkar tengah menunjuk waktu yang telah disetel. Berbunyi nyaring hingga membuat dua insan yang tak saling sadar melepas pelukan masing-masing. Menggeliat bagai ulat yang hendak berubah jadi kepompong.Fatih membuka matanya karena merasakan pegal pada bagian tangan kanannya. Siapa sangka, dia melihat Rani sudah tak memakai jilbab lagi dan tidur di atas sebelah tangannya. Fatih hendak memindahkan kakinya yang tertindih sebelah kaki Rani. Namun, dalam hati jangan sampai gadis itu ikut terbangun atau melihatnya dalam keadaan begini.Ketika mata terfokus hanya pada wajah, Fatih melihat raut yang begitu polos terlelap seperti bayi tanpa dosa. Rambut yang panjang dan berwarna hitam pekat itu sedikit menutupi pipi. Oleh pemuda itu disibak hingga ke belakang telinga. Putih bersih dan lembut bagai kapas, Fatih tak sadar ia telah membelainya.Rani pun membuka mata karena terganggu dengan sentuhan-sentuhan itu. Digaruknya dengan telunju
Masuk ke dalam ruangan yang sunyi senyap. Sang pemimpin menghadap ke jendela kaca. Mereka berdua merasakan aura yang tak enak. Baru kali ini, Bram menunjukkan sikap dingin ketika seseorang terdengar memasuki ruangannya. Diam dengan wajah datar ketika singgasananya memutar badan. Rani dan Arfan menunduk, menghormati Bram. "Dari mana saja kalian?" Keduanya mendongak segera dan saling melempar pandangan. "Maaf, Om. Kami selesai istirahat di kafe sebelah. Itu pun dengan jalan kaki. Ada apa, ya, Om?" Arfan mewakili jawaban Rani."Arfan." Bram berdiri. Mengitari separuh mejanya dan tepat di depan mereka langkah terhenti. "Kamu tahu, Rani ini adalah istri sepupumu. Tolong, jaga jarak kalian. Hargai Fatih sebagai suami Rani." Beralih pada menantunya. "Dan kamu, Rani, hormati suamimu. Kasihan Fatih, tadi makan siang sendirian dan terlihat kesepian."Rani hanya diam. Terus menundukkan kepala. "Memang Om meminta kamu untuk menikah dengan dia bukan tanpa alasan. Semua karena amanah yang kamu
Yang tadinya tenang dan pulas, sosok tampan itu mulai terbangun karena suara keras dan membuat jantungnya hampir lepas. Dadanya berdebar hingga tak dapat ia kendalikan. Fatih bangkit dan memastikan keadaan. Namun, apa yang dia lihat kini tengah mendekam di pojok ruangan. Kaki bertekuk dan tubuh bergetar. Rambut yang semula terbungkus jilbab, kini sudah terurai dan menutupi bagian wajah."Rani!""Rani, ada apa?" Kedua tangan berotot itu menyentuh pangkal lengan yang terasa ringan. Membuat Rani semakin kencang berteriak dan meminta tolong."To ...." Untungnya, dengan sigap Fatih menutup mulut Rani segera. Agar tak membuat gaduh suasana yang sudah mulai tenang dan air sudah mulai surut. Hujan semalam membuat sebagian warga yang tinggal di dataran agak tinggi berjaga-jaga."Diam!" Fatih mendekap tubuh sang gadis. Rani mulai menguasai keadaan. Ia menuruti kata Fatih setelah ancaman yang ia kumandang lirih di dekat telinga. "Kalau kau teriak lagi, kucium sampai kapok!" Ancaman macam ap
Suara sepeda motor terdengar memasuki halaman. Rintik hujan pun sudah tak terdengar lagi. Rani bangkit dari pembaringan. Ia langsung menyibak gorden dan melihat ke luar. Melihat Fatih di sana, bergegas gadis itu membuka pintu kamar. Menuruni anak tangga dan membuka pintu utama.Fatih yang tadinya berjalan dengan kepala menunduk, kini mendongak kaget melihat siapa yang datang menyambut.Fatih bersikap tak acuh. Dia melewati Rani begitu saja."Fatih, tunggu!" Rani buru-buru menutup pintu lagi dan mengejar pemuda itu. Jaket kulit terhempas ke sembarang arah, Fatih melepas sepatunya dan membuka lemari pakaian. Ia mencari kaus ganti."Fatih, kamu dari mana saja?" Rani mengikuti setiap gerakan pemuda itu. Fatih sama sekali tak mengindahkan, ia membuka kaus yang sejak siang melapisi tubuhnya. Melihat pemandangan putih mulus dengan lekukan otot pria itu, seketika Rani berhenti bicara. Gadis itu langsung membalik badan. Memejamkan matanya sesaat. Seolah hanya sendirian tanpa ada orang di d
Fatih dengan kesal mengintip dari balik pintu. Seorang pria dengan kumis melintang tipis tengah membukakan pintu mobilnya dan keluarlah seorang wanita cantik berbalut gamis hitam. Di tangannya terdapat setumpuk buku dan tas yang biasa dipakai ke mana-mana."Makasih, ya, Mas Arfan? Sudah diantar sampai rumah." Senyum manis tersaji untuk pria itu."Sama-sama. Kamu segera istirahat aja, lagian besok juga libur. Enggak usah terlalu ngebut juga, tugas kita, kan, dibagi dua. Nanti bilang aku kalau ada yang tidak bisa atau tidak kamu mengerti," jelas Arfan dengan sangat lembut. Sosok yang sangat dewasa dan selalu menjaga tutur kata serta ucapan, Arfan banyak ditaksir oleh karyawati kantor. Menjadi idola dan sangat disegani."Tinggal sedikit lagi, Mas. Lagian baru jam delapan." Rani mengangkat tangannya melilit benda melingkar dengan jarum berdetak."Oke, aku pulang dulu, ya?! Assalamualaikum?" "Wa'alaykumsalam. Hati-hati, Mas!" Arfan melambaikan tangan. Rani menatap mobil yang terus berja