"Fatih, jangan! Kamu mau apa?" Rani berusaha bangun, tetapi Fatih selalu mencegahnya. "Aku hanya ingin rujuk, Ran. Aku mau kita bersama lagi." Fatih menatapnya lekat. "Fatih, jangan memaksaku! Aku sudah tidak bisa bersama kamu lagi.""Kenapa?" Fatih membalas tatapan sendu mantan istrinya. Rani menggeleng lalu ia bangkit dan menjauh dari mantan suaminya itu. Fatih menarik tangan Rani yang hendak keluar. "Aku menyesal, Ran. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku melakukan itu semua karena ... tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Aku termakan oleh api cemburu.""Aku sudah pernah mendengar kalimat ini darimu dulu, Fatih. Maaf, sekarang aku tidak bisa lagi memberikan kesempatan ketiga. Dan selanjutnya, kita jalani saja hidup kita sendiri-sendiri.""Ran, tolonglah! Aku sudah meninggalkan semuanya. Semua apa yang pernah papa berikan. Demi kamu, Ran.""Sayang sekali, Fatih. Hatiku sudah mati. Dan juga sedang tak mau menjalin hubungan dengan siapa pun." Rani kembali memuta
Sepekan sudah Fatih dirawat di rumah sakit, ia sudah tak mau lagi di sana karena merasa bosan. Apalagi Rani sering meninggalkannya karena harus ke kantor. Pagi ini, pria itu meminta papanya untuk membawanya pulang. "Pah, aku sudah enggak apa-apa. Tinggal kakiku saja yang masih belum bisa maksimal," ujarnya. "Iya-iya. Nanti Papa bilang sama dokter. Tapi kamu harus janji, jangan buat Rani sedih lagi." Bram tertawa. "Papa enggak percayaan banget sama aku. Aku sudah tobat, Pah. Aku tau, aku salah sejak awal." Hampir saja ia tersulut emosi lagi karena Bram. "Iya-iya, Fatih. Papa hanya bercanda. Tapi Rani hari ini ada perwakilan di tempat lain dari perusahaan kita. Dia pasti tidak bisa datang ke sini. Dia Papa mintai tolong karena enggak ada lagi yang bisa membantu. Papa hanya percaya dengan dia.""Tapi, bukannya dia kerja di tempat Roy?" Kening Fatih terlihat karena merasa heran. "Iya, tapi ini kan mendadak. Tidak bisa lagi ditunda. Makanya, habis ini kamu harus bilang makasih sama di
Fatih berjalan bersama Rani pagi itu lorong kantor. Mereka tampak semringah karena kisah mereka kembali dimulai. Fatih tak mau melepaskan tangan Rani selama mereka berjalan. Senyum di bibir tiada henti menatap sang kekasih. "Fatih, aku harus ke ruanganku sendiri." Rani menghentikan langkahnya. "Iya, aku tau. Kita juga sudah sampai di depan ruanganmu. Jangan lupa, kiss dulu." Fatih tertawa. "Malu. Kita kan lagi di kantor. Bukan di rumah.""Yah, padahal aku sangat ingin.""Tadi pagi kan sudah." Rani tersipu malu. "Lagi." Fatih tertawa lagi. Tak lama saat mereka ingin berpisah ruangan, tiba-tiba muncul seorang wanita berwajah tegas melangkah mendekati mereka. Rani pun segera mundur dua langkah karena menghormati wanita bernama Melania itu. "Mama ...." Fatih bergumam."Fatih, Mama mau bicara sebentar. Bisa?" Melania menyentuh lengan putranya. Ia tak mau menoleh pada Rani sama sekali. "Bisa, Mah." Fatih beralih pada Rani yang masih membisu di dekatnya itu. Rani pun mengangguk sebaga
"Hallo, Mah?" Fatih menerima panggilan dari nomor mamanya malam itu."Datanglah ke sini, Fatih! Mama sedang sakit. Enggak ada orang di rumah Mama." Suara serak itu membuat Fatih panik. Bagaimanapun juga, wanita itu adalah mamanya. Yang melahirkannya. "Mama di rumah Mama sendiri?" tanya Fatih seraya melirik ke samping, pada Rani yang sudah terlelap dengan pakaiannya tidurnya. Fatih tak tega membangunkan Rani, masih mendengarkan cerita dari wanita di seberang sana. Dengan segala pertimbangan, akhirnya fatih berangkat juga. Ia menarik jaket hitamnya lalu pergi setelah mencium kening istrinya. Hujan lebat malam itu Fatih terobos dengan mobilnya. Ia buru-buru karena tak ingin mamanya kenapa-kenapa. Fatih memutar kemudinya memasuki halaman rumah mamanya yang terlihat sepi sekali. Satpam pun tak ada di sana. Ia harus membuka pagar sendiri, sampai pakaiannya setengah basah. Fatih kembali masuk ke dalam mobil dan masuk ke halaman. Lelaki itu mulai berlari ke dalam rumah yang tak terkunci i
"Mamaaaa!" Fatih berteriak kencang sampai semua orang yang ada di sana menoleh padanya. Sementara itu, Rani menutup mulutnya dengan kedua tangan. Semua orang melihat kejadian kecelakaan itu. Dengan suasana yang ramai itu, semua orang berhamburan mendekati wanita yang tadinya terpental karena tertabrak kendaraan. "Mama!""Mah!""Maaah!" Fatih mengguncang-guncangkan lengan mamanya. Dengan wajah penuh air mata itu, ia ingin sekali menggendong mamanya dan membawa masuk ke dalam rumah sakit. Namun apa daya, ia tak kuasa karena semua persendian terasa ngilu dan tak kuat karena melihat darah bersimbah di kepala wanita itu. "Mah! Mama dengan suara Fatih, kan?" Melania masih bisa membuka matanya. Bibirnya yang terasa kaku itu kini bergetar. "Maaf." Hanya satu kata itu saja yang keluar dari lisan Melania. Ia pun lantas memejamkan matanya karena nyawa telah tiada. Fatih berteriak memanggil karena histeris. Beberapa orang langsung membantunya mengangkat tubuh wanita itu dan membawanya ke ge
"Apa? Papa mau nikah lagi?" Tubuh Fatih seketika meremang. Kepalanya berdenyut nyeri, ditambah rasa panas membakar dadanya. Kedua tangan Fatih pun mengepal seolah siap melayangkan tinju kepada lelaki yang baru saja menalak Mamanya pekan lalu."Iya, Fatih. Papa akan menikahi Bu Erika, Ibunya Rani. Mereka akan tinggal di sini, bersama kita." Bram mengulas senyuman. Tangannya terayun menyentuh pundak Fatih, berharap dia akan menganggap Rani seperti adiknya sendiri.Rani dan Ibunya hanya bisa menunduk. Berdiri di tempat pertama kali kedua kakinya menjejak bumi kota Jakarta, di depan rumah Fatih. Rani baru saja mengetahui kalau Fatih, teman satu kampusnya adalah calon saudara tiri. Ia tak bisa membayangkan bagaimana jika mereka tinggal satu atap nanti.Begitu pula Bu Erika, ia gugup sampai-sampai tubuhnya gemetaran. Ia menggigit bibirnya karena takut Fatih tidak akan bisa menerimanya. Wanita mantan pembantu paruh waktu itu paham betul bagaimana sifat Fatih. "Tidak. Papa jahat! Papa baru s
Jingga di ujung senja membuat hati Rani semakin nelangsa. Semua barang miliknya telah terlempar keluar dari rumah beserta Ibunya yang tengah tersedu tepat di depan pagar bertuliskan 'Disita'. Rani baru saja sampai dan mendapati Ibunya dengan memar di pipi serta tangis pilu. Wajah keriput Erika membuat Rani langsung menghambur dalam pelukan wanita itu. Sekarang, sedetik pun Rani berjanji tak akan meninggalkan Ibunya lagi."Maafkan Rani, Bu." Gadis itu mengusap wajahnya setelah melepas pelukan. "Tidak usah takut lagi, Bu! Rani sudah di sini. Rani akan jagain Ibu." Gadis itu terus menguatkan Erika. Wanita tua yang baru saja mendapat perlakuan tak enak oleh dua lelaki berbadan kekar. Sayang, sampai di sana Rani hanya melihat Ibunya saja.Gadis mungil yang kini tumbuh dewasa itu bersumpah dalam hati. Jika ia bertemu dengan para rentenir yang tak punya hati itu, ia akan memberinya pelajaran karena telah menyakiti Erika."Ibu enggak apa-apa?" tanya Arfan. Yang sejak tadi masih tercengang me
Rani benar-benar menarik keras pakaian kebanggaan lelaki berwajah muram itu. Hingga Fatih hampir saja terjungkal ke belakang. Rani sudah tak bisa sabar lagi mendengar setiap umpatan Fatih sejak pertama Bramantyo menyatakan niatnya menikahi sang Ibu."Apa sih maumu sebenarnya?" bentak Fatih. Hingga beberapa karyawan dan karyawati berdiri menyaksikan dua anak manusia itu bertengkar. Fatih memang berwajah tampan, tetapi sifatnya sangat jauh berbeda dengan fisiknya."Seharusnya aku yang tanya seperti itu padamu! Sekali lagi kau sebut Ibuku dengan sebutan seperti tadi, kupastikan kau akan menyesal!" ancam Rani. Gemeretuk gigi Rani bisa terdengar hingga ke telinga Fatih.Melihat Rani yang menyeringai tajam, Fatih tak mau kalah. Lelaki berhidung bangir itu mengayun langkahnya semakin maju. Membuat Rani terbelalak. Fatih telah membuat gadis itu terpojok di sudut ruangan. Lalu, mendekatkan wajahnya hampir bersentuhan kulit hidung Rani. "Jangan harap kau akan tenang kerja di sini! Sebentar lagi