Share

Bab 5

Dengan hati perih, Fatih dan dua orang di belakangnya membuka pintu ruangan tempat Bram terkulai tak berdaya. Selang infus serta cup oksigen telah menempel pada bagian tubuhnya. Bram masih belum sadarkan diri.

Fatih segera mendekat dan menatap setiap jengkal tubuh lelaki yang telah menyebabkan ia terlahir di dunia ini. Saat seperti ini, pemuda itu menyesali semua perbuatannya. Ia terduduk di samping ranjang rumah sakit dengan bibir mengatup rapat.

"Sabar, Fatih!" Rani menyentuh pundak lelaki itu. 

Fatih tak menjawab. Pikirannya masih bergulat tentang sebab-sebab Bram terbujur di sana.

Lepas beberapa detik berlalu, Bram menunjukkan gerakan lewat tangannya. Napasnya juga terdengar berat membuat Fatih segera beranjak dari kursi. Bram telah melewati masa kritis.

"Pa," panggil Fatih seraya menyentuh tangan Papanya.

Rani dan Arfan pun sontak mendekat. 

"Papa," panggil Fatih lagi. Ia tak sabar ingin melihat Bram membuka mata. 

"Fatih." Bram mengeratkan genggaman tangan putranya. Suasana berubah haru biru, Bram berkata lagi, "Fatih, Papa ingin kau bisa bertanggung jawab di perusahaan. Menjadi kebanggaan Papa dan Mamamu meski kami sudah tak bersama lagi."

Bibir Fatih hanya bungkam. Sesaat tatapannya mengarah pada Rani lalu, mengangguk pelan ketika Bram menaruh banyak harapan padanya. Kini, lelaki yang usianya hampir setengah abad itu bisa istirahat tenang.

Tak lama di rumah sakit karena kondisi Bram mengalami kemajuan, ia dibolehkan pulang dalam catatan tetap menjalani program rawat jalan.

****

Satu pekan sudah Bram pulang ke rumah. Keadaannya sudah lebih baik meskipun terkadang nyeri bagian dalam rusuk kiri membuatnya harus menjeda segala aktivitas. Lelaki jelang usia 50 tahun itu duduk di kursi khusus dalam ruangannya, menandatangani beberapa berkas.

"Pa." Fatih tiba-tiba masuk. Membawa map berwarna kuning lalu menyerahkan pada Bram.

"Kamu sudah mengerjakannya, Fatih?" tanya Bram.

Fatih mengangguk tetapi wajahnya masih sama seperti kemarin-kemarin, kurang bersahabat.

"Fatih, besok kamu dan Rani akan mengurus proyek di Bali. Papa, harap kamu tidak menolak. Papa, juga belum bisa kasih tahu Rani. Minnta tolong sama kamu, ya? Dada, Papa, masih sedikit nyeri." Bram tersenyum. Di tangannya masih sibuk memegangi bolpoin dan menggores di atas berkas dari putranya.

" Iya, Pa. Fatih, akan memberitahu Rani."

Dengan hati yang berbunga-bunga, Fatih keluar dari ruangan Bram. Membawa kembali berkasnya menuju ruangan Rani. Setiap kenangan ketika kuliah dulu, berputar tentang mereka berdua. Saat Fatih mengganggu gadis itu dengan melempar bola basket.

Entah kenapa, pemuda itu tiba-tiba tersenyum ketika membayangkan Rani dengan wajah kesal. Apalagi saat gadis itu menatapnya. Bola mata hazel milik Rani seperti permata zamrud.

Fatih membuka pintu ruangan Rani. Betapa terkejutnya ia ketika melihat Arfan ada di sana. Di tangan Arfan terdapat buket mawar merah. Rona wajah Fatih mendadak berubah, sudah seperti langit yang hampir saja runtuh. 

Tangannya mengepal meremas map yang sempat dibawanya tadi. Fatih segera menghampiri mereka. Membanting map tadi tepat di hadapan Rani. " Kalau mau pacaran jangan di sini! Ini tempat kerja, jangan mentang-mentang orang terdekat Papa, kalian bisa seenaknya saja!"

Rani menatap dua lelaki di hadapannya secara bergiliran. "Jangan sembarangan menuduh Fatih! Kalau kamu tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, lebih baik kamu tanya dulu."

"Bullshit! Kau sejak dulu memang pandai sekali beralasan, Rani! Pantas saja Papaku sampai terperdaya olehmu dan Bu Erika. Kalian memang sangat jago." Rahang Fatih mengeras. Kedua matanya melotot siap menampar Rani dengan hujatan.

"Fatih, jaga ucapanmu! Kau sudah berjanji dengan Om Bram akan berubah. Kalau kau masih sama saja seperti sebelumnya, Om Bram pasti kecewa," sahut Arfan. 

"Sudah-sudah! Kalian tidak perlu saling menyalahkan. Lebih baik kamu kembali lagi ke ruanganmu, Fatih! Berkasmu sudah kutandatangani." Rani melihat beberapa karyawan membisik karena ruangannya terdapat pintu kaca. Ia tak mau terjadi keributan lagi apalagi mengenai hal sepele.

"Kau menyuruhku keluar, Ran? Sementara kalian akan melanjutkan adegan mesra? Aku tidak akan membiarkan kalian terus memanfaatkan keadaan. Aku akan bilang sama Papa!" Fatih membalik badan dan ternyata di belakang sana, Bram baru saja sampai. 

Melihat tiga orang di dalam dengan tatapan tegang, Bram mengerutkan dahinya. Ia merasa baru saja terjadi sesuatu. "Ada apa? Kenapa kalian diam semua?" 

Rani dan Arfan memberikan hormat dengan menundukkan badan. Berbeda dengan Fatih yang terlihat mengatur napas. 

"Om, ini kira-kira sudah cocok belum?" Arfan menunjukkan buket mawar tadi serta sebuah parcel di sudut ruangan. 

"Oh, sudah siap? Bagus, kok, kalau sudah siap semua tolong kasih tau Riana untuk mengirimkan ke kediaman Pak Agung." Bram tersenyum lagi lalu menunjukkan tugas-tugas Rani selanjutnya. 

Di sebelah sudut yang lain, Fatih merasa malu sendiri. Ia telah menuduh Rani dan Arfan karena prasangkanya. Pemuda itu lantas mendesah kesal, dalam hatinya berkecamuk samudra api, ia masih bergeming seraya mengumpat dua orang yang ia tebak pasti tengah menertawakannya. 

"Oiya, Ran kamu sama Arfan juga  Fatih besok akan ada jadwal proyek ke Bali. Apakah Fatih sudah bilang tadi?" tanya lelaki yang kerap disapa Tuan Ramah itu ketika ia baru saja hendak keluar. Bram membalik badan menghampiri mereka bertiga lagi.

"Belum, Om. Fatih belum bilang apa-apa. Dia malah ...." Arfan yang baru saja akan mengadukan sikap Fatih, langsung disenggol lengannya oleh Rani. Gadis itu memberi isyarat dengan kerlingan matanya. 

"Kenapa dengan Fatih?" tanya Bram lagi. Sesungguhnya ia bisa menebak apa yang terjadi, tetapi ia tak ingin menghancurkan usaha Fatih untuk memperbaiki diri.

"Fatih belum bilang, Om. Cuman dia tadi fokus pada rangkaian parcelnya. Mungkin dia lupa," sahut Rani cepat. Ia tak mau ambil pusing lagi karena perdebatan. 

"Oh, begitu." Bram mulai menerangkan perlahan mengenai agenda besok. Tiga anak muda itu akan menginap selama lima hari kerja di Bali untuk bertemu klien dan membangun bisnis di sana sebab Bram tak mungkin keluar kota karena kondisinya yang masih kurang stabil.

Lepas itu, Bram langsung keluar. Fatih pun ikut keluar karena ia tak mungkin mengatakan terima kasih pada mereka karena mengucapkan kalimat tersebut adalah pantangan baginya apalagi kepada Rani dan Arfan.

Waktu berputar begitu cepat, mereka berangkat dari Bandara internasional Soekarno-Hatta. Di dalam pesawat Rani ditemani oleh rekan kantornya bernama Fita sementara di kursi belakang dua lelaki tampak saling memalingkan pandangan.

Sampai di Bali, keduanya langsung cek in hotel. Mereka memesan dua kamar masing-masing dua pasang. Rani membuka kamarnya, terlihat satu ranjang dengan tatanan rapi dan jendela kaca yang menampilkan pemandangan laut lepas dan sebuah kapal tengah berlayar. Perjalanan hanya memakan waktu satu jam, Rani yang tidak terlalu lelah langsung mengirim pesan pada Arfan mengenai agenda hari ini.

Rekan Rani tersebut langsung menghambur ke atas tempat tidur. Ia sudah seperti anak kecil yang kegirangan karena melihat sesuatu yang nyaman, indah, dan menyenangkan mata.

"Sering-sering aja Pak Bram menyuruh kita kerja di luar kota, ya, Mbak. Kan, bisa sekalian liburan." Fita terkekeh. Ia berguling ke samping kanan kiri dengan wajah riang.

"Kamu, nih, kita, kan, mau kerja. Bukan mau adventure." Rani ikut tertawa. "Eh, tapi bener juga kamu, Fit! Aku baru kali ini ke Bali." Rani menggeret kopernya ke sudut ruangan. Lalu, membuka jendela kaca dan menikmati sejuknya pemandangan.

"Nah, kan, apa aku bilang. Mbak, aku tidur bentar, ya? Biar nanti malam enggak ngantuk." Fita segera memeluk guling di dekatnya. Gadis berambut ikal itu membuat Rani geleng-geleng, pasalnya baru saja selesai bicara sudah langsung terlelap.

Rani melihat pesan di layar ponselnya setelah beberapa saat tak ada suara. Keningnya mengerut ketika membaca pesan dari Fatih. Ia diminta menemuinya di tepi pantai tepat di depan hotel berbintang tempat mereka menginap saat ini.

Rani pun segera beranjak dari tempat duduknya. Menuruni lift sendirian dan keluar dari sana mencari sosok yang baru saja menyuruhnya keluar. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status