Share

Bab 5 : Nafkah

Malam hari, aku duduk termenung di dekat jendela. Bibir tidak henti bergerak menyebut zikir yang biasa aku senandungkan ketika hati lagi galau. 

Ck, aku sudah mirip ABG baru kenal yang namanya pacaran belum? Kalau belum, mau aku perdalam lagi peran ini, biar mantap!

"Hiisss, mas Zaid dan segala prilakunya yang beracun!" Setelah mengumpat, spontan mulut mengucap istighfar berulang kali.

Oke, untuk panggilan untuk lelaki satu itu aku memang terbilang labil. Untuk berjaga-jaga, aku lebih sering memanggilkan “Pak” atau “Bapak”. Jika hanya berdua, “Mas” adalah panggilan yang kerap dia tuntut dan demi kesopanan antara majikan dan pembantunya aku ikut saja.

Pikiranku ini lagi ke mana sebenarnya?! Lagi berzikir saja, malah ingat suami. Mikirin panggilan untuknya yang sering berubah. 

Ini pikiran isinya duniawi semua, ya, begini jadinya.

Sekeras mungkin aku berusaha agar fokus. Meski pikiran kadang masih oleng belok ke Mas Zaid. 

Setelah menyelesaikan zikir, aku masih enggan beranjak dari jendela kamar. Menatap hamparan bintang yang ditemani siluet cahaya bulan yang sedikit tertutupi awan putih. 

"Suatu saat, pengen deh, nikmatin pemandangan begini bareng, mas Zaid. Kira-kira, dia mau enggak ya, kalau aku ajak?" monologku sembari mengelus perut dari balik mukena.

Kalau tidak salah prediksi, usia kandunganku sudah jalan empat Minggu. Anehnya, tidak ada tanda-tanda mual. Hanya aku jadi suka sensitif, bahkan mudah gerah di waktu-waktu tertentu yang membuatku harus memakai daster yang agak tipis. Kadang juga rasa lelah menghantam seolah menarikku agar bermalas-malasan saja di kamar.

"Zareen!"

"Eh, iya?!" 

Aku yang spontan menoleh ke belakang, lekas mengelus dada. Mas Zaid kenapa muncul tiba-tiba kayak makhluk astral?! Kan, aku jadi sedikit terlonjak tadi.

"Ke ruang tamu."

Sekarang? Atau besok? Lusa, mungkin?

Otakku masih mencerna, sedangkan si pembuat onar tanpa permisi menutup pintu kamar. Dia kira mudah kali memahami ucapannya yang kadang singkat, padat, dan tidak jelas itu!

Aku mendengkus sebelum beranjak mengganti mukena dengan jilbab instan sedada. Dengan daster cokelat bermotif bunga berwarna krem serta jilbab cokelat agak terang, aku bersiap ke ruang tamu. Namun, sebelum itu, jangan lupa kasih serum dan krim malam. 

Oh, ya, suamiku yang eh, bagaimana ya, menyebutnya? Intinya, suamiku yang tadi baru kelur kamar itu—biar begitu kelakuannya—kewajiban soal skincare istri tidak pernah absen dia penuhi.

Usai merasa penampilan sudah pantas, aku bergegas keluar kamar. Sebenarnya ragu mau lanjut kala terdengar suara tawa orang-orang dari ruang tamu. Kepala sedang menebak-nebak siapa gerangan tamu yang mengharuskan aku ikut keluar dari kamar. Sebelum aku sadar siapa aku hingga harus ada saat ada tamu di rumah besar Tuan Zaid.

Malam-malam begini, apa geng sosialita Bu Mareta melakukan arisan? Namun, kenapa harus di rumah anak sulungnya itu? 

Entah sejak kapan Tuan Zaid punya rumah dan memutuskan tinggal sendiri. Jelasnya, saat aku mulai bekerja dengannya, aku sudah berada di sini. Mungkin, bagi orang kaya seperti Bu Mareta tidak masalah bila anaknya memilih tinggal dan punya rumah sendiri.

Aku yang baru sampai, hanya bisa berdiri sedikit menjauh dari sofa yang diduduki oleh Ibu Mareta dan ... wanita yang mungkin saja calon besannya. Tatapanku tanpa tahu diri malah nyasar ke arah suami yang duduk bersama Andine yang digadang-gadang sebagai calon istrinya. Kedua orang itu duduk di sofa yang berhadapan dengan orang tua mereka. 

Seolah lupa padaku, Mas Zaid malah asik menyuapi Andine brownies cokelat keju. Wanita itu tersenyum sesekali menunduk. Tampang Mas Zaid memang memperlihatkan senyuman tipis, tapi aku yakin segitu saja sudah cukup membuat Andine meleleh.

Bahkan aku yang melihatnya pun, cukup membuatku hancur.

Coba kuhitung lagi sudah berapa kali kira-kira Mas Zaid menyuapiku begitu. Jawabannya tidak ada!

Sebagai istri—walau nyaris tak tampak—ingin rasanya aku berlari ke sana dan menerjang tubuh ke dua orang itu. Menjambak rambut keduanya, setidaknya sampai sejumput helai rambut berhasil aku cabut dengan akar-akarnya.

Baiklah, hormon kehamilan tampaknya sangat menyeramkan. Entah dari mana pemikiran saitan itu.

Tahan, Reen, tahan! Please, jangan nangis di sini. Bikin malu!

Daster berusaha aku remas sembari membuang pandang ke arah Bu Mareta yang asik mengobrol. Aku harap, wanita berambut cokelat terang itu memberiku tugas apa pun itu. Asal cepat pergi dari ruangan ini.

Tidak kusangka, Mas Zaid sekejam ini. Dia memanggilku ke ruang tamu, hanya ingin memamerkan aksi suap-menyuapnya? 

Keterlaluan kamu, Mas Zaidan!

"Oh, iya. Aku lupa tanya sama kamu. Itu, pembantu kamu, ya, Ta?" Telunjuk mulus mamanya Andine mengarah padaku yang hanya bisa tersenyum kikuk macam orang bodoh.

Astaghfirullah, aku kesal banget begini ya, Allah. Pengen nangis rasanya. Sangat-sangat ingin!

Di saat seperti ini, aku mengharapkan wajah tengil Zein. Terserah dia mau menjahiliku apa lagi kali ini, aku pasrah. Asal dia ada di sini. Tidak peduli juga kalau dia mau curhat sehari semalam soal kisah asmaranya dengan gadis bernama Marsya yang sudah dua tahun belum kasih hilal lamarannya diterima atau ditolak.

Anak itu biar tengil dan masih berumur 19 tahun, tapi dia sudah berani melamar seorang gadis bahkan saat usianya masih 17 tahun saat itu. Alih-alih mengajak gadis yang ditaksir pacaran, dia justru menginginkan keseriusan yaitu jenjang pernikahan.

Sampai sini, apa kalian sudah paham kenapa aku pernah bilang kalau aku lebih memilih Zein ketimbang Mas Zaid–Andai kata dibolehkan.

Eh, bentar. Dalam keadaan yang keterlaluan bikin tegang ini, kenapa aku malah bahas remaja tengil—yang sayangnya ganteng—satu itu?

"Eh, iya. Dia, Zareen, udah sepuluh bulan kerja di sini."

Suara tenang Ibu Mareta membuatku semakin menunduk dalam. Mas Zaid, setelah ini aku akan benar-benar mendiamimu yang membuatku harus terjebak dalam keadaan aneh ini!

"Ah, begitu, toh. Aku emang pernah lihat dia waktu datang ke sini, pas dia anterin minuman buat kita. Aku kaget aja lihat pembantumu masih muda banget. Tapi lupa nanya waktu itu."

Atmosfer semakin dingin menusuk punggungku kala suara lembut ibunya Andine memenuhi ruang tamu.

"Nak Zareen."

"Eh, iya, Bu?" Aku mengangguk sopan, berusaha keras agar tidak melirik ke samping dua wanita itu.

"Sini, duduk bareng! Kok, berdiri di situ?"

Saya enggak mau, Bu! Kalau bisa saya berdiri di sini sampai subuh pun saya siap ketimbang harus duduk di antara kalian dan menyaksikan lebih banyak lagi aksi mesra dua orang itu.

Ingin rasanya memekik keras. Namun, kaki hanya bisa melangkah setelah mendapat anggukan dari Bu Mareta.

Apa sekarang aku boleh menangis? Percayalah, duduk berdampingan dengan suami yang lagi asik menyuapi wanita lain, sangat-sangat menyakitkan. Bahkan aku rasa hanya dengan melirik sepasang calon pengantin itu, aku bisa mati terduduk akibat kehabisan oksigen. Ini saja leherku seperti dicekik.

"Zareen ini, masih muda loh. Tapi enggak malu ya, kerja sebagai ART. Hebat, loh.”

Makasih banyak, Bu atas pujian Anda, tapi sungguh saya lebih berkali-kali lipat bahagia bila Anda pulang membawa serta putri Anda. Bisa tidak, sekali saja apa yang ada di hati benar-benar keluar biar tidak nyesek banget di sana.

“Hidup butuh makan, Bu. Saya realistis saja, mana mungkin ada yang kasih makan malah sampe suapin saya yang hanya berpangku tangan. Saya enggak mau mengiba sebuah empati pada orang lain hanya untuk sebuah nafkah ... nafkah perut. Hidup saya, tanggung jawab saya, Bu.”

Apalagi itu nafkah perut?! Ya Allah, Reen, kalau mau nyindir yang elite dikit napa!

Andai pria yang sempat kulirik paham nada sindiran yang terselip di kalimat barusan. 

Wanita yang duduk di samping Bu Mareta terkekeh pelan sambil mengangguk. “Ya, ya, kamu bener banget. Saya suka pemikiran kamu, jadi perempuan emang harus realistis begitu. Nanti kalo kamu udah nikah, trus suami kamu enggak kasih nafkah entah itu lahir atau batin, kamu harus ambil tindakan. Kayak kata kamu, 'hidup kamu ya, tanggung jawab kamu'. Jadi ya, mending entar tinggalin aja.”

Tawa wanita itu menggema seolah memang ucapan barusan hanya sebuah lelucon yang tergambar jelas di kedua sudut matanya yang mengeluarkan bulir bening. 

“Duh, jadi ngelantur, kan, ucapan saya!”

“Enggak kok, Bu. Ibu, bener, emang harusnya ditinggalin aja,” tekanku pada kata 'ditinggalin' sambil mencuri lirik pada Tuan Zaid yang sudah selesai menyuapi Andine.

Peka dikitlah, Tuan Zaidan yang terhormat. Setidaknya gunakan IQ luar biasa Anda yang di atas rata-rata itu.

Aku sedang menyindirmu! Menyindir!

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
hei nyet, jgn banyak drama. sadar diri aja krn dari awal kamu menerima jd babu merangkap pemuas nafsu alias istri simpanan. jgn berharap diterima jd ratu klu pantasnya kamu jd babu.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status