Share

Bab 6 : Tak Lagi Sama

Selesai dengan urusan memasak, aku sedikit merenggangkan otot-otot. Ah, ini pinggang nyeri lagi. Sakitnya baru agak berkurang kalau sudah kuusap-usap. Apalagi kalau sampai bayangin Tuan Zaid yang mengusap di sana, pasti nyerinya jadi makin cepat hilang.

Efek Tuan Zaid seajaib itu malah. Nalarku saja sampe dibuat buntu hanya untuk memecahkan misteri nyeri pinggang dengan membayangkan Tuan Zaid yang mengelus di sana. Korelasinya aneh memang.

“Sudah, Nak Zareen. Astaga, Nak istirahat saja, ini juga masaknya udah kelar. Udah ya, Nak, ini biar saya saja yang kerjain.”

Ketawa boleh tidak, sih? Lihat ekspresi memelas Mpok Yanti bikin gemes. Selalu kayak gini kalau beliau lihat aku ambil pekerjaan rumah yang sebenarnya sudah seharusnya aku kerjakan. Selain sebagai istri—diam-diam—tapi aku juga masih berstatus ART di rumah ini, sama posisinya dengan para pembantu Tuan Zaid.

“Iya, Mpok, iya. Ini aku mau cuci tangan aja, kok,” kataku sambil terkekeh membasuh tangan di wastafel usai diberi sabun. 

“Habisnya, Nak Zareen ini bandel banget, loh. Kalo sampe bapak tahu kamu kerja sekeras ini, yakin pasti nanti bapak marah-marah.”

Ah, masa? Bukannya selama ini dia tidak peduli pada apa pun yang aku lakukan, ya? Ck, sok banget.

“Bapak cuman lagi capek aja sama kerjaan itu, Mpok makanya marah-marah. Lagian, siapa saya dia mau marah cuman karena saya masak sarapan.”

Senyum tersungging, miris. Emang bener, 'kan.

Dari belakang terdengar helaan napas. “Kan, Nak Zareen pacar diam-diamnya, bapak. Iya, 'kan.”

Itu pernyataan, ya, aku sadar betul bagaimana Mpok Yanti melihat kedekatan kami. Bagaimana kadang kala dia menyaksikan sendiri saat Tuan Zaid main sosor mencium kening bahkan pipiku entah itu di meja makan, ruang tamu atau di beberapa tempat di sudut rumah ini. Berbeda lagi dengan penilaian pekerja lain di rumah ini.

“Nak!” Sentuhan di bahu membuatku tersentak, gegas mematikan kran air dan berbalik sambil tersenyum pada wanita bertubuh kurus itu.

“Aku udah selesai, Mpok. Aku izin ke taman belakang, ya, Mpok.”

Wanita yang sebentar lagi memasuki usia kepala lima itu, mengangguk sambil tersenyum. Tanpa buang waktu, sebelum diintrogasi, langkah lebih dulu ngacir ke pintu belakang yang berada di ruang tengah. Namun, belum mencapai pintu sebuah tangan kekar lebih dulu mencekal, menarikku masuk ke kamar.

Mataku sempat melotot melihat siapa pemilik tangan putih berurat itu. Bahkan saat dengan satu kakinya mendorong pintu dan menguncinya, aku seperti kehabisan napas.

Mau apalagi dia? Belum puas apa semalam mempertontonkan aksi romansanya? Apa sekarang dia mau bilang kalau undangan pernikahan sudah dicetak? Harus banget ya, lapor ke aku? Biar apa coba?! 

Ha?! Coba bilang, biar apa?!

“Kenapa semalam bilang begitu?”

“Ha?”

Suer, aku cengo dengar pertanyaan ini orang yang tidak pernah bisa selesai. Bisa tidak sih, dia itu kalo ngomong diselesaikan dulu, jangan yang keluar malah pertanyaan rangkuman. Ini otak butuh mencerna, kalo cuman rangkuman tidak jelas yang keluar mana bisa otakku nyampe.

“Mamanya Andine.”

Oke, itu clue dan otakku lagi loading cari memori semalam. Apa saja kira-kira yang kami bicarakan semalam. Kalimat apa yang kali ini dia permasalahkan. Entah kata yang mana yang membuat jiawa bossinya terungging, eh, tersinggung. Sampai typo, kan, yang keluar dari mulutku, habisnya memikirkan arti dari pertanyaan pria di depan ini bikin kepala mumet.

“Kamu mau pergi? Kenapa?”

Bentar, ini otak masih loading agak lambat nyambungnya.

Percakapan dengan mamanya Andine, pergi, aku yang ....

Jangan-jangan maksudnya ... dia tidak anggap itu serius, 'kan?

Mendadak aku menatap tak percaya pada pria pemimpin perusahaan ternama yang berdiri di depanku sekarang. Apa cuman segini hebatnya pemikiran seorang pemimpin perusahaan yang telah berhasil mengeluarkan puluhan bahkan mungkin ratusan merek produk itu?

“Mas—”

“Coba saja lakukan itu dan kamu lihat sendiri apa akibatnya, Zareen!” Dia mendesis syarat ancaman.

Tatapan pria itu menghunus tajam, bak sebilah pedang menghunus merobek jantungku yang menggila sejak merasakan terpaan embusan napasnya di wajah.

Gemeletuk gigi pria itu malah mengobarkan api di dadaku. Dengan tatapan nyalang dan berkaca, aku seolah menantangnya.

Daguku terangkat tinggi dengan mata nyalang tak mau kalah untuk kali ini.

“Mau sampai kapan, Mas begini terus? Kekang aku, buat aku seolah-olah budak yang berjalan di bawah kaki majikannya. Aku juga manusia kalo, Mas lupa! Aku butuh kebebasan, bahkan aku ... aku butuh ketenangan.”

Nada yang sempat berapi, berubah memelan di akhir kalimat. Seolah sadar dengan apa yang baru saja kulakukan, pandangan seketika tertunduk menatap ubin lantai yang terasa dingin menusuk di telapak kaki kali ini.

“Aku juga butuh kebebasan, enggak melulu ikut apa mau, Mas. Sedangkan, Mas sendiri enak-enakan di luar sana, bebas jalan dengan siapa pun, bertemu siapa pun, bahkan ... bahkan, Mas bebas suapin siapa pun itu. Mas, juga sudah mau menikah, apa aku enggak bisa ngerasain kebebasan sama seperti yang, Mas nikmatin selama ini?” Selama pernikahan kita? Pada setiap detik delapan bulan yang terlewati?

Kini secuil keberanian berhasil membuat kepala terangkat. Saling memandang dengan tatapan berlawanan makna. 

Sebelum akhirnya pria itu mengakhiri kontak, membuang muka ke samping hingga terdengar helaan nafasnya yang berat.

“Kebebasan seperti apa yang kamu mau?”

Mengapa pertanyaan itu seolah menohokku. Malah napas tercekat di kerongkongan kala mendengar ucapan barusan.

Tanganku terkepal kuat menahan diri sekuat mungkin. Sayangnya, lidahku selalu berkhianat.

“Aku juga pengen bebas jalan sama siapa pun! Bercerita pada siapa pun, bertemu orang baru, menjalin sebuah hubungan baik, dan ... dan aku juga mau disuapi oleh orang yang benar-benar menganggapku istimewa!”

Dih, kok, jadi drama sih, Reen? Sejak kapan aku kepengen hal tidak penting begini. Namun, mengingat lagi bagaimana adegan suap-suapan semalam ... itu–itu sangat mengganggu.

Wajahku menoleh ke samping. Melirih, “Mas juga lakuin itu, suapin dia di depanku.”

Tidak ada jawaban, tidak ada elakkan. Hanya bunyi sandal rumahan yang melangkah menjauh terdengar di tengah sunyi lautan emosi. 

Aku tertunduk, menangis sambil sesekali terkekeh pelan. Lucu, ya. Masa sekolah, di-bully seperti apa pun tidak akan membuatku segoyah ini. Segala kesakitan dari caci maki yang mereka beri tidak akan sampai seberharga itu membuat air mataku luluh hingga membanjir seperti saat ini.

“Aku apaan, sih!” Berkat lengan baju, air mata sempat terhenti dari pelupuk. Wajah yang sembap sedikit mengering. Senyumku kembali terbit. Namun, semua hanya sesaat sebelum sakit luar biasa mendera pinggang.

Tangisku makin menjadi seraya berjalan pelan menuju ranjang. Berbaring di tengah empuknya kasur dan menyelimuti diri di balik selimut. Berharap hanya dengan mengelus pinggang dan mewakili rasa sakitnya melalui tangis, semua penderitaan ini akan menghilang. 

Bayangan wajah tersenyum Kak Faisal yang tersenyum terakhir kali saat menggenggam tanganku semakin menambah tumpukan pasir di dada. Bahkan saat aku memukul dada berharap pasir-pasir itu berkurang, tapi yang ada aku malah terbatuk hanyut dalam tangis.

Teringat sore itu saat murotal Masjid saling bersahutan penanda akan tiba waktu salat, aku yang baru pulang dari Supermarket bingung melihat banyak kemurungan warga di jalan raya yang bahkan beberapa kendaraan berhenti. Gegas menuju ke lokasi sambil menenteng belanjaan. Mencoba menerobos kerumunan yang akhirnya terhenti pada satu titik.

Saat itu juga, dunia seolah runtuh menghujami kepalaku. Sakit berdentum hingga suara riuh sekitar dan sahutan Ambulance berdengung di telinga. Langkah tertatih menuju sebuah tubuh yang tergolek di jalan, bahkan tidak aku hiraukan lagi belanjaan yang jatuh dan beberapa isinya menggelinding di aspal.

“Ka–Kak ....”

Tenggorokan tercekat, gegas kurebut pelan kepala lemah itu dari rengkuhan seseorang. Pandanganku kabur oleh bulir bening yang berdesakkan ingin keluar.

“Areen ... apa pun yang terjadi, kamu harus kuat. Kakak enggak pernah ragu dan kecewa dengan kehebatan adik aku.” Suara Kak Faisal melemah, bergetar bahkan terbata seiring napasnya tersendat-sendat.

Aku menggeleng kuat merengkuh kepalanya. Menghujani kening yang berlumur darah dengan kecupan.

“Enggak, jangan ngomong dulu. Kakak harus diobatin, kita ke rumah sakit dulu, ya.”

Tanganku gemetar menyentuh tangannya yang masih terdapat bekas pasir dan debu semen. Tangan hebat itu terasa kasar di genggaman. Priaku, priaku satu-satunya justru tersenyum hangat. Pandangannya yang sendu dan redup, tidak berbinar seperti biasanya kini beralih pada pria yang berjongkok di sampingnya yang sejak tadi menelepon entah siapa.

Gurat cemas itu kentara di wajahnya yang makin mengerut kala tangan kanan Kak Faisal terangkat dan menggenggam tangan pria tersebut.

“Saya hanya mau kamu pegang amanah ini. Saya ... saya percayakan adik saya padamu. Tolong jaga dia, dia enggak punya siapa-siapa lagi selain saya. Dan setelah ini, dia enggak akan punya siapa-siapa lagi.”

“Enggak! Aku punya, Kak Faisal! Enggak ada yang enggak punya siapa-siapa! Aku punya! Kak Faisal punyanya Areen! Zareen enggak sendiri, ada, Kakak!” Aku meraung memeluk kepalanya yang tergolek berlumur darah. Deras cairan merah mengalir dari balik kepala pria itu.

Percayalah, tidak ada yang lebih menyakitkan di dunia ini setelah kematian Ayah dan ibuku selain setitik air mata di ujung mata Kak Faisal. Hingga senyum terakhirnya bersama ucapan terindah yang bak sebuah pesan manis untukku.

“Berbahagialah, Zareen bahkan jika itu harus kamu nikmati sendiri.”

Senja kala itu menjadi cahaya jingga paling sendu sepanjang masa dalam hidupku. Penutup ceritaku bersama Kak Faisal untuk selamanya. Sebuah akhir yang membukakan lembaran baru.

Sebuah amanah yang akhirnya membawakan keputusan sepihak Tuan Zaidan untuk menikahiku. Aku tidak pernah tahu dan tidak ingin mencari tahu mengapa sore itu dia sampai berada di lokasi. 

Majikan yang baru dua bulan mempekerjakanku, pria yang menolong Kak Faisal meski kebaikannya harus menerima penolakan dari Yang Maha Kuasa. 

Entah apa yang ada di kepalanya, dia justru menjagaku dengan cara yang berbeda. Dia meminangku, menjadikan aku istri tanpa status hukum yang jelas.

Dinding kamar seolah telinga yang sedang mendengarkan aku yang bercerita melalui tangis. Meraung di balik selimut sembari mengelus pinggang yang sesekali memijatnya pelan. Menikmati sendiri rasa sakit dan memori kelam beberapa bulan yang lalu.

Hingga sebuah rengkuhan dari belakang dan usapan di pinggang membuat persendianku lemas. Perlahan rasa linu yang amat menyiksa tadi mulai meluap seiring elusan disertai pijatan lembut.

“Bagaimana rasanya, Reen melihatku menyuapi Andine?” bisiknya tepat di samping telingaku.

Tega sekali dia, jadi dia memang sengaja? Anda memang picik, Zaidan Arkana Malik!

Kecupannya di bahu dan elusan di pinggang memang sedikit mengurangi nyeri di pinggang dan beberapa bagian tubuhku, tapi tidak dengan sakit di hati.

“Begitu juga yang saya rasakan saat melihatmu disuapi oleh Zein.”

Disuapi? Oleh Zein?

Alisku mengerut tajam mencoba menerka arah ucapan pria ini. Sesaat setelah memori dapat diputar balik, aku nyaris berbalik kalau saja lengan kekar itu tidak menahan pinggulku.

Napas hangatnya terasa menerpa punggung yang aku yakin tidak tertutup daster. Dia tidak tahu apa, napasnya itu bikin aku kegelian?

“Jadi, Mas balas dendam?”

Baiklah, aku ikuti permainannya. Jangan salahkan aku kalau sampai nekat berbuat lebih kali ini.

“Tidak panggil saya 'Bapak' atau 'Tuan' lagi, hmm?” Pria itu menelusupkan wajahnya ke punggungku, mendusel pelan di sana.

Aku sedang marah, sumpah! Malah rasa kecewa itu seakan memerintahkan tangan ini agar mencakar wajah sok tampan Tuan Zaid. Namun, kalau mendadak begini sikapnya, aku mana punya daya?

“Tuan Zaid ... geli.” Meski sudah berusaha menggerakkan bahu, menggeliat tidak nyaman, tapi ini manusia satu tetap betah dengan posisinya.

Mana makin anteng dia dengan mendusel di punggungku yang kegelian. Tuan Zaid hanya menggumam seolah protesku barusan cuman angin lalu.

Mau marah, tapi lagi, aku mana sanggup kalo dia semanja ini?!

Ya Allah, Reen ... itu hati lemah banget, sih!

Mataku berkaca menahan semua gejolak yang berperang hebat di dalam sini. Rasanya pengen marah, tapi di waktu bersamaan Tuan Zaid sukses menenangkan atma yang terbakar api cemburu sejak melihat aksi suap-menyuapnya dengan Andine. 

Iya, aku mengaku cemburu. Memangnya istri mana yang tidak cemburu kalau di depan mata sendiri melihat suaminya menyuapi perempuan lain yang notabene 'calon istri barunya'. Baru calon itu loh, bagaimana nanti kalau mereka beneran jadi dan tinggal di rumah ini. Mungkin, paru-paruku bisa kering terkuras luka.

“Dua Minggu lagi,” bisiknya yang disusul helaan napas berat.

Apa coba maksudnya? Ada yang paham? Sumpah, aku lagi tidak mood buat mengkaji ulang ucapan pria yang lagi modus-modusnya meluk dari belakang.

Bayangkan bagaimana dongkolnya hati setelah semalam lihat suami suapin cewek lain—calon istri baru lagi—dan sekarang dengan tampang tanpa dosa bak bayi baru lahir, dia malah enak-enakkan meluk. Apa tidak terlalu kelihatan tidak tahu diri banget, ya?

“Masih belum ya, Ai?” Tangannya mengusap perut rataku yang menguarkan sesansi aneh dari dalam sana.

Ah, rasanya sudah lama ini kuping tidak dengar panggilan itu. Teringat saat awal menikah, dia memanggilku berbeda. Tiba-tiba saja begitu, entah kesambet apa. Padahal aku masih ingat betul saat zaman sekolah, jangankan sebut namaku, boro-boro dia mau repot manggil dengan panggilan semanis itu.

'Ai—Aisha—' yang diambilnya dari nama tengahku. Zareen Aishadisti. 

Karena panggilan—yang mungkin tidak disengaja itu—membuat Tuan Zaid sontak salah tingkah menggaruk pelipisnya pelan. Kalau diingat lagi, itu adalah ekspresi tergemas milik seorang Zaidan Arkana Malik.

“Kenapa belum?”

Alisku makin menukik mendengarnya kayak orang mabuk lagi meracau tidak jelas. Dari tadi menggumam aneh.

Ya, memang sih, Tuan Zaid suka berbuat aneh. Bertingkah semaunya.

Embusan napasnya terasa terhela panjang di ceruk leher membuatku meringis menahan geli. Tuan Zaid dari tadi kenapa sebenarnya?

“Selama proses pernikahan nanti, saya mau kamu tidak keluar kamar! Saya akan minta, mpok Yanti buat cari alasan ke mama.”

Oh, jadi itu maksudnya. Mau pamer ceritanya. Mau menegaskan lagi kalau dia terganggu kalau muka jelataku ini muncul di pernikahan mewahnya nanti. 

Ck, tenang saja, Mas. Jangankan hadir, bertahan di tengah kamu dan istri 'sahmu' itu pun aku tidak yakin bisa. 

Tidak ambil pusing dengan tingkah dan segala peringatannya, aku menggumam sebagai balasan. Mending tidur, dapat mimpi enak, bukan air mata dan dengar ocehan rianya mengenai pernikahan yang akan digelar di hotel berbintang.

Ada yang beda kali ini saat dia mengecup keningku. Rasanya hambar, tidak lagi sama.

Bersambung 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
bagus kau mampus aja dg drama mu njing. udah tau cuman dihadikan babu merangkap istri simpanan tapi g juga nyadar diri. 26 th umur mu tapi cara berpikir otak mu lebih rendah dari babu. pintar nhomong sendiri dlm hati tapi tetap juga jiwa babu mu yg dominan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status