Share

Bab 8 : Posisi Sebenarnya

Rintik-rintik hujan seolah membuat pola di jendela kamar. Tempat menjadi titik aku menatap. Meniti kembali hati yang porak-poranda dengan segala macam jalan pikiran yang tak menentu arahnya.

07.12 pagi ini dengan ditemani hujan yang seolah paham rasa hati, aku berdiri bersedekap dada. Kepala bersandar di jendela kamar. Hamparan taman yang bersimbah hujan jadi pemandangan meski pikiranku tidak benar-benar berada di antara bunga yang terguyur itu.

Membayangkan bagaimana suami akan mengucap kabul tersemai nama perempuan lain. 

Seharusnya acara ijab kabul dilaksanakan kurang lebih dua jam delapan belas menit lagi. Tepatnya jam 09.30 di salah satu Masjid termegah di Bandung.

Coba kuingat-ingat lagi saat dulu Pak Zaid mengikrar janji depan Penghulu. Dengan berbekal meja di salah satu kamar hotel bintang ... yang entah bintang berapa aku lupa dan omku—yang mungkin kini semakin tidak sudi menganggapku sebagai ponakannya—juga satu orang kepercayaan Pak Zaid dan satunya OB serta mahar seperangkat alat salat dan satu set perhiasan. Aku dan Pak Zaid resmi secara agama.

Oke, untuk OB itu, aku tidak tahu bagaimana ceritanya dia bisa bergabung menjadi saksi hidup pernikahan menyedihkanku. Jelasnya saat aku dibawa ke kamar itu oleh laki-laki suruhan Pak Zaid, OB dengan lap kain tersampir di bahunya sudah berada di ruangan president suite itu. 

Sekilas memang tampak mewah, tapi bukankah momen itu sewajarnya berada di tempat sakral? Bukan di tempat yang akan menimbulkan pikiran ambigu orang lain.

Aku menggeleng, mengetuk kepala sendiri di kaca yang menampilkan tetesan hujan dari luar sana.

“Mikir apa sih, Reen! Dek, bunda kudu gimana? Bunda udah mau ngilangin ayahmu dari pikiran bunda, tapi ya, enggak bisa ....”

Aku memonolog, lebih tepatnya mungkin mengajak bicara si jabang bayi. Mengelus perut perlahan mencoba menghalau perasaan tidak enak yang menimbulkan rasa mual. 

Ayolah, sudah cukup. Tadi subuh aku nyaris pingsan muntah-muntah di kamar mandi. 

Ketukan di pintu membuatku menoleh, malas berjalan ke arah pintu bercat putih.

Sejak dua hari kemarin aku diwanti-wanti agar tidak datang ke acara keluarga terpandang itu. Pak Zaidan sendiri yang kasih doktrin. Jadi dari semalam sudah kuputuskan tidak akan ke luar kamar, bahkan hanya untuk membuka pintu kamar. 

Ya, bukan begitu sih, perintahnya. Namun, ya ... ya, sudahlah!

Ketukan yang semula pelan mendadak jadi gedoran. Aku jadi sanksi pintu kayu itu masih kuat menahan brutalnya si pelaku.

“Iya, sebentar!” Aku bahkan nyaris menggeram. 

Saat pintu terbuka, wajah dipenuhi cengiran menyebalkan terpampang di sana.

“Ngapain sih, Zein? Kamu mau robohin ini pintu?!”

Kupandangi penampilan pemuda 19 tahun yang baru menyandang status Mahasiswa itu dari ujung kaki sampai kepala. 

Pagi ini dia memakai kaos oblong warna putih dengan celana pendek selutut warna krem. Sepatu snicker bermotif hitam putih. Rambutnya yang memang biasa acak-acakan kayak orang baru bangun tidur, tapi anehnya penampilan itu terlalu cocok untuk anak ini. 

Dengan penampilan begitu mempesonanya, mau ke mana dia sepagi ini?

“Ngapain nyengir-nyengir?”

“Ye, Mbak kenapa sih, kek orang galau aja! Sensi mulu bawaanya!” Dia mencebik.

Tidak salah lagi!

Tidak tahu saja kamu ya, Zein. Aku begini karena ulah kakakmu.

“Cepetan mau ngapain? Jangan lama-lama di sini, entar pikiran pembantu lain enggak baik soal kita, Zein.”

Peringatku dibalasnya cengiran. Ini anak suka banget ketawa. Meski kelihatan agak gimana, tapi percayalah tidak ada tawa yang lebih mempesona daripada tawa milik Zein.

“Mbak, jalan-jalan, yuk!” Alis tebalnya naik turun seiring kerlingan matanya yang genit.

Jalan-jalan? Hujan-hujan begini?

***

“Jangan bilang-bilang, Mas Zaid ya, kalo kita makan es krim hujan-hujan begini, Mbak.”

Satu jilatan penuh membuat lidahku digerayangi dingin. Rasa manis cokelat berpadu strawberry. 

Masya Allah, nikmat mana lagi yang kamu dustakan wahai, Zareen Aishadisti?

“Enggak bakallah, Zein. Tenang aja. Selama kamu kasih jajan buat tutup mulut, mulut mbak ini bakal amanah, kok.”

Pemuda yang duduk di samping berdecak, lirikannya tajam juga ternyata. Hahaha.

“Untunh ya, Zein sayang sama, Mbak. Mbak Zareen itu udah aku anggap kayak kakakku sendiri, coba aja kalo orang lain, udah aku pites dari tadi. Jajannya, Mbak enggak sedikit ya, dari tadi!”

Dia mendumel dan itu salah satu kesukaanku kini. Kayaknya anakku suka banget buat omnya sengsara. Haha, pertahankan, Nak!

“Siapa coba yang ngajak jalan-jalan tadi, hmm? Lagian kamu suka-suka aja tuh, diporotin sama mbak.”

Lagi dan lagi, dia mendengkus sebelum menyuapkan es krim dengan sendok kecil. 

Melihatnya membuatku terhibur dan tertawa.

Untung kedai es krim ini agak sepi. 

Dari balik kaca, kami duduk berdampingan sambil melihat hujan mengguyur jalanan. Setelah naik mobil menuju mall hanya untuk nonton bioskop dan bermain bola juga beberapa permainan anak-anak, kami putuskan pergi ke lantai bawah mall yang terpisah menuju kafe-kafe dan kedai berjejer. 

“Kamu kok, enggak datang ke acara akad masmu?”

Pertanyaan yang sejak meninggalkan rumah menggeluti pikiran akhirnya keluar juga.

Pemuda itu terdiam beberapa saat. Sendok es krim kembali ditaruhnya di cup es krim. 

Melihat bagaimana dia menatap datar ke luar dinding kaca membuatku mencoba menerka-nerka.

Ini anak jarang pasang tampang serius. Kalau lagi mode begini aku bingung bagaimana cara menghadapi Zein. Dia lebih tertutup dengan perasaannya, kecuali satu rasa yang sejak dulu tertuju pada seorang gadis. Aku jadi lebih suka saat dia merengek curhat padaku ketimbang mimik serius ini.

Zein jadi sulit terbaca. 

“Zein ...” panggilku pelan.

Pemuda berkumis tipis itu menoleh, senyumnya kembali mengembang sebelum mengangkat bahu tak acuh.

“Males aja. Entar di sana ketemu sepupu-sepupu yang Neng Pamer! Ck, males banget aku, Mbak. Toh, masih ada resepsinya juga entar malem.”

Keluarga Malik memang keluarga terpandang, menjunjung tinggi nilai sosial. Memasang standar tinggi untuk level mereka. Tidak salah memang Bu Mareta saja penampilannya selalu modis meski berada di rumah.

Mungkin untuk ukuran anak laki-laki seperti Zein itu terlalu mengganggu.

***

“Dari mana?”

“Astaghfirullahal'azim!” Aku mengelus dada, nyaris tumbang ke belakang mendengar suara barinton seseorang. Sontak pandangan terarah ke anak tangga terakhir.

Pak Zaidan masih dengan kemeja putih yang dua kancinh teratas terbuka dan celana hitam duduk di sana. Kedua tangannya menyatu memangku dagu. Tatapan sekelam telaga nyalang menatapku.

Apa lagi kesalahanku kali ini? Coba bilang apa salahku sampai dia mirip Singa yang lagi ngawasin mangsanya.

Dengan dagu sedikit diangkat tinggi, perlahan aku mendekat. Bukan untuk mengantarkan diri, ya. Hanya mau lihat apa yang akan dia lakukan dengan mimik menyeramkan itu.

“Sekarang kamu tuli?” sambarnya tajam, menusuk telingaku hingga aku tidak tahan untuk tidak mendelik kesal.

“Maksud, Bapak apa, sih?! Jangan berbelit-belit, to the point aja, aku enggak ngerti!”

Andai aku hanya pembantu tanpa embel-embel 'istri', seharusnya bukan hanya makian yang kudapat. Namun, juga kata pecat.

Laki-laki itu menghela napas panjang, terdengar berat dan aneh di telingaku. Kemudian dia bangkit, berjalan dengan dua tangan berada di saku celana.

Saliva tertelan gugup mendadak kaki gamang buat tetap berdiri dengan tampang sok menantangnya. Tiba-tiba saja leherku pegal hingga dagu yang tadinya terangkat tinggi, perlahan merunduk dalam.

Pak, aku boleh mundur saja tidak? Auramu terlalu gelap untuk aku yang hanya abu-abu ini.

Tengkuk bagai ditiup angin kencang. Dingin, merinding, bahkan tubuh nyaris menggigil saat suara sepasang sandal rumahan berhenti menapak tepat di depanku.

“Jam berapa sekarang?” 

Suaranya masih sedingin Antarktika, seberat ton batu.

“Empat.”

Oke sekarang aku paham di mana letak salahku.

“Suamimu sedang tidak berada di rumah dan kamu keluyuran tanpa izin. Apa kamu sadar posisimu, Zareen Aishadisti!”

Suara bariton yang seolah membelah langit-langit ruang tamu itu sontak membuatku tersentak, sontak menatapnya. Mata nanap melihatnya yang mengeraskan rahang.

“Maaf, saya salah,” kataku kemudian setelah berhasil berkedip. “Tapi saya enggak pernah lupa dengan posisi saya sebagai pembantu di rumah ini, Bapak Zaidan Arkana Malik yang terhormat!”

Entah karena melihatku yang berani menatapnya tak kalah nyalang atau dia terkesiap karena kata-kataku yang penuh penekanan, lelaki itu mengendurkan mimiknya yang keras. Laki-laki dengan alis agak tebal menghela napas, satu tangannya mencoba meraihku.

Refleks aku mundur selangkah, masih dengan menatapnya tajam. Entah bagaimana dadaku sampai sepanas ini, bahkan rasanya mengalir hingga kepala. 

“Saya juga enggak lupa kalo suami saya lagi ada di luar buat nikahin perempuan lain. Karena tahu posisi suami saya, makanya saya tahu diri buat enggak hubungi dia dan ganggu acara sakralnya. Saya cukup tahu diri kok, Pak dan sadar betul di mana posisi saya!”

Luapkan semua, Reen. Biar dia tahu juga gimana perasaanmu jangan kira cuman dia saja yang mau menang di sini.

“Kalau enggak ada lagi yang mau, Bapak ingetin, saya permisi. Soalnya pembantu ini masih ada kerjaan. Permisi, Pak Zaid!”

Gigiku gemeletuk berjalan menjauh. Tidak sedikit pun sudi menoleh ke belakang. Tangan yang terkepal kuat ingin kulayangkan ke wajah yang hanya diam saja itu. 

Kamu juga kepengen ya, Nak nonjok muka ngeselin bapakmu? Iya? Kita satu sama, Sayang, kamu memang anak Bunda.

Bersambung 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status