“Aku Ayah dari janin itu!”Teriakan lugas Zein membuat semua mata menatap ke arah pintu. Pemuda itu berjalan cepat lalu berdiri tepat di sampingku. “Aku dan Mbak Reen, punya hubungan! Jadi tolong jangan salahin dia. Ini salahku juga!”Entah harus kuapresiasi atau kutabok saja kepala anak ini. Kenapa Zein yang begitu usil dan suka cari gara-gara, justru kini berdiri tegak di sampingku. Pemuda yang masih dengan ransel di punggung, terlihat begitu gantle membela. Ibu Mareta maju selangkah, tanda amarahnya kian naik ke ubun-ubun.Kupikir, Zein akan mengalah melangkah mundur begitu ibunya dengan tampang menyeramkan maju. Namun, pemuda itu malah ikut maju selangkah seolah menantang.“Apa-apaan kamu ini, Zein?!” teriak wanita itu dengan wajah merah padam. Sudah jelas bagaimana kemarahan Nyonya Malik ini. “Sudah dicuci otak kamu itu sama perempuan ini!”Wanita itu sampai menunjuk-nunjuk kepala Zein dengan kuku merahnya. Kuku-kuku panjang yang kapan saja bisa menancap di kulitku atau Zein.“
“Bi ....”Rupanya, bertindak tidak semudah berucap. Di pelukan Bibi, aku menangis hebat. Entah apa yang kutangisi. Entah karena sudah berbulan-bulan tidak menatap wajah teduh itu, atau karena hal lain.“Eh, kok, datang-datang langsung nangis begini?” Terdengar nada bingung Bibi. Meski begitu, Bibi tetap mendekapku seraya mengelus punggung dan bahuku yang bergetar.Bibi terdiam sejenak sebelum menarikku masuk ke rumah sederhananya. “Duduk dulu, ya,” kata wanita itu seraya membawaku duduk bersamanya di sofa usang yang terasa agak keras saat diduduki.Aku masih enggan melepas peluk. Tangis masih berderai dalam dekapan Bibi.Sungguh aku tidak ingin menangis! Tapi aku sendiri tidak tahu bagaimana cara menghentikan ini. Dadaku begitu sesak. Seolah, ada tumpukan pasir di dalam sana, hingga bernapas pun terasa sulit.“Udah nangisnya, Neng. Itu, napasnya sampe kesendat-sendat gitu, 'kan. Udah, ya.” Bibi membujuk. Tangannya yang terasa sedikit kasar mengusap kedua pipiku dari lelehan air mata.
“Reina, pake kaos kaki dulu!”Sudah menjadi rutinitas di pagi hari, aku yang berteriak dan bocah kecil satu itu lari-lari keliling rumah. Ya Rabbi, anak siapa sebenarnya ini?! Kenapa Reina tidak ada kalem-kalemnya macam Bundanya.“Ayo, Ibun tangkap Reina!” Anak itu tertawa-tawa sambil lari ke sana ke mari menghindari kejaranku.Ibun! Ibun! Sudah dibilang, Bunda! Ya Allah, putriku speak Zein!Sama-sama tengil!“Ayo, kejar sini!” Mataku dibuat melotot saat Reina naik ke sofa dan menggoyangkan pinggulnya, anak itu memamerkan bokongnya yang mungil, mengejekku. “Dasar anak cantiknya Bunda, sini kamu!” Aku berlari nyaris meraih lengannya, tetapi Reina lebih gesit melompat lalu kabur.Lengkingan suaranya yang kaget membuatku mengurut dada. Sabar.Sesungguhnya aku ingin mengumpat Ya Allah sambil menyumpah-serapahi, tapi akalku masih waras. Ingat, Reen! Ucapan adalah doa. Terlebih kamu seorang Ibu, doa Ibu lebih mustajab! Rapalku dalam hati sembari menghela napas panjang-panjang.“Rein, stop!
"Zareen, tolong vas ini pindahin ke pojok sana aja, ya. Biar lebih enak diliatnya." Aku hanya tersenyum seraya mengangguk pelan mendengar instruksi Ibu majikan. Gegas mengerjakan perintah wanita berambut sebahu dengan pakaian modis ala-ala ibu sosialita itu. Entah ada angin apa Ibu Mareta datang bertamu ke rumah Pak Zaid—majikanku. Menyebutnya majikan membuat seulas senyum getir tersungging rapuh. Sekuat tenaga aku mengangkat vas ... yang mungkin lebih tepat kalau disebut guci. Besarnya saja nyaris menyamai besar tubuhku. Atau mungkin memang aku yang terlalu ceking. Napas berat aku embuskan karena wadah berbentuk menyerupai gerabah yang berisi tanah dan bunga itu hanya bergeser sedikit. Kuusap dahi yang mulai berkeringat sebelum kembali mengangkat benda berbahan keramik itu. Kenapa orang kaya suka sekali mengoleksi barang merepotkan seperti ini? Bukankah pot berbahan plastik yang dijual di pasaran lebih mudah dan praktis? Harganya juga jelas lebih hemat di kantong. Eh, tapi apa
Kuremas kertas di tangan, berkali-kali mengusap perut yang masih rata. Hamil dua Minggu dan aku tidak menyadarinya? Taksi online yang sempat kupesan membawa kesadaran yang sempat mengambang kembali ke raga. Gegas aku membayar upah taksi, lalu turun setelah mobil sampai di kediaman Pak Zaidan. Rumah tampak kosong saat salam yang kuberi hanya dibalas kebisuan. Rumah minimalis dengan dua lantai itu, seolah mengabarkan padaku bahwa penghuninya sedang berada di luar. Entah urusan apa yang membawa Pak Zaidan pergi meninggalkan aku sendirian di rumah sakit. Mungkin ini jawaban dari kebingungan yang sempat menggorogotiku tadi. Buru-buru aku masuk ke kamar yang terdapat di sisi tangga. Menaruh hasil pemeriksaan yang sudah diremas membentuk bulatan masuk ke kotak perhiasan. Perhiasan yang dulunya menjadi mas kawin yang hingga kini belum pernah kupakai. Cincin pernikahan pun sengaja aku lepas agar tidak memancik api curiga orang-orang. Kotak perhiasan berwarna kuning keemasan itu, aku letakk
Aku berlari memeluk map, berharap Ibu majikan tidak melotot melihatku karena terlambat. Sesekali aku mengusap perut, semoga saja anak ini kuat meski harus sedikit terguncang akibat kelakuan ibunya. Beberapa menit yang lalu, Bu Mareta menelepon lewat telepon rumah meminta aku membawakan map biru yang ada di meja kerja Pak Zaid. Tumben juga pria itu lupa pada berkas yang katanya penting ini. Alih-alih disuruh pergi ke kantor, aku malah diminta membawa map yang berada di pelukan ini ke sebuah kafe. Seolah cobaan belum puas menyiksaku pagi ini dengan permintaan mendadak Bu Mareta, taksi yang membawaku malah mogok di pinggir jalan. Beginilah jadinya, aku harus berlari walau jarak kafe tinggal 100 meter lagi. Kalau begini ceritanya, apa aku sudah bisa dinobatkan sebagai atlet lari jarak pendek? Atlet lari Ibu hamil tepatnya. Dengan napas ngos-ngosan aku serahkan berkas itu pada Bu Mareta. Untung meja yang mereka duduki didekat pintu masuk, jadi tidak perlu banyak waktu menemukan keber
Kakiku terayun sambil menjilati ujung sendok es krim dengan brand yang terkenal dari Negara sebelah. Es krim yang berbentuk tempat bekal yang selalu bikin aku mikir puluhan kali untuk membelinya. Lagi asik-asiknya menikmati es krim, pandanganku tidak sengaja melirik ke salah satu kafe di dekat kami duduk. Mata memicing menatap seorang gadis berambut sepunggung yang berdiri menyamping bersama seorang pria. Kayak kenal, tapi di mana? Kelihatan dari raut wajah tegang keduanya, sepertinya mereka lagi terlibat masalah. Tidak mau ambil pusing, aku kembali fokus ke es krim di tangan sebelum perhatianku kembali terenggut saat tidak sengaja menatap ke arah di mana wanita dan pria tadi berada. Tampak wanita itu berusaha mengejar si pria yang melangkah cepat meninggalkan kafe. Wanita itu berusaha meraih lengan si pria, tapi justru genggamannya dihentak kuat hingga wanita itu terhempas. Bagian tubuh sebelah kanannya menghantam dinding mall dan berakhir tubuh ringkih itu jatuh terduduk dengan t
Malam hari, aku duduk termenung di dekat jendela. Bibir tidak henti bergerak menyebut zikir yang biasa aku senandungkan ketika hati lagi galau. Ck, aku sudah mirip ABG baru kenal yang namanya pacaran belum? Kalau belum, mau aku perdalam lagi peran ini, biar mantap! "Hiisss, mas Zaid dan segala prilakunya yang beracun!" Setelah mengumpat, spontan mulut mengucap istighfar berulang kali. Oke, untuk panggilan untuk lelaki satu itu aku memang terbilang labil. Untuk berjaga-jaga, aku lebih sering memanggilkan “Pak” atau “Bapak”. Jika hanya berdua, “Mas” adalah panggilan yang kerap dia tuntut dan demi kesopanan antara majikan dan pembantunya aku ikut saja. Pikiranku ini lagi ke mana sebenarnya?! Lagi berzikir saja, malah ingat suami. Mikirin panggilan untuknya yang sering berubah. Ini pikiran isinya duniawi semua, ya, begini jadinya. Sekeras mungkin aku berusaha agar fokus. Meski pikiran kadang masih oleng belok ke Mas Zaid. Setelah menyelesaikan zikir, aku masih enggan beranjak dar