Share

Bab 4 : Sendok Es Krim

Kakiku terayun sambil menjilati ujung sendok es krim dengan brand yang terkenal dari Negara sebelah. Es krim yang berbentuk tempat bekal yang selalu bikin aku mikir puluhan kali untuk membelinya. 

Lagi asik-asiknya menikmati es krim, pandanganku tidak sengaja melirik ke salah satu kafe di dekat kami duduk. Mata memicing menatap seorang gadis berambut sepunggung yang berdiri menyamping bersama seorang pria. Kayak kenal, tapi di mana?

Kelihatan dari raut wajah tegang keduanya, sepertinya mereka lagi terlibat masalah.

Tidak mau ambil pusing, aku kembali fokus ke es krim di tangan sebelum perhatianku kembali terenggut saat tidak sengaja menatap ke arah di mana wanita dan pria tadi berada. Tampak wanita itu berusaha mengejar si pria yang melangkah cepat meninggalkan kafe. Wanita itu berusaha meraih lengan si pria, tapi justru genggamannya dihentak kuat hingga wanita itu terhempas. Bagian tubuh sebelah kanannya menghantam dinding mall dan berakhir tubuh ringkih itu jatuh terduduk dengan tangan kanan sebagai penyangga. 

Aku hendak berdiri melihat kejadian tidak terduga itu, tapi kerumunan masa lebih dulu menghentikan. Napasku terembus lega melihat gadis itu dibantu oleh beberapa orang. 

"Kenapa, Mbak?"

Aku menoleh pada Zein yang duduk di samping sebelum menggeleng. Lalu kembali menikmati es krim sambil mengayunkan kaki membuat kaki kanan dan kiri yang terbalut sepatu saling bertubrukan pelan.

"Seneng, enggak?"

"Banget!" 

"Enak?"

"Iya, dong!"

"Mau nambah lagi?"

"Mau bangeeet!"

Aku mengangguk semangat banget rasanya. Apalagi AC di sekeliling mall sangat sejuk. Kalau tadi aku tetap maksa beli es krim di taman atau di pinggir jalan, mungkin aku sudah mengeluh dan merengek pulang pada Zein. Untung Zein langsung mutar mobil dan berhenti di gedung berlantai lima ini.

Bukannya sombong ya, tapi Bandung lagi panas-panasnya terumata sekarang matahari lagi tinggi-tingginya. Apalagi aku yang hamil ini, entah kenapa sangat mudah sensitif pada temperatur di sekitar. Bukan berarti aku nanti akan semakin menyusahkan Zein dengan merengek tidak jelas padanya. Ditraktir es krim saja sudah syukur.

Zein yang duduk di samping, menggeleng.

"Untung ya, Mbak, aku ini bukan anak orang sembarangan. Kalau enggak, kita udah diusir pramuniaga tadi!"

Aku cuman cengengesan mendengar gerutuan Zein. Teringat tadi saat aku menarik tangannya ke beberapa restoran dan stand makanan. Bukan hanya bakso dan gado-gado, nyaris semua makanan yang belum pernah aku makan dan sangat ingin aku coba, aku cicipi tadi. Alhasil saat sampai di Restoran bercorak Jepang dengan menu andalan khas dari negara itu, Zein panik melihat isi dompetnya yang kosong melompong saat ditagih untuk bayar.

Tapi, oh, tapi ... kalian ingat, kan, siapa Zein Attaya Malik? Dengan sekali embusan napas, jari putihnya secara ajaib menarik kartu ATM berwarna gold dari dompet seiring ekspresi wajahnya yang kembali tenang memahat senyum manisnya.

Ah, Zein memang yang terbaik!

"Habis ini mau ke mana lagi?"

Satu alisku terangkat meliriknya. "Emang masih betah mbak kuras?"

Dia tergelak bahkan sampai memegangi perut. "Duh, Mbak! Kalau, Mbak cewek lain, aku mana ikhlas! Tapi enggak papalah, ya, itung-itung nyicil kasih nafkah buat calon istri."

Calon istri isi dompetmu penuh, Zein! Emang udah siap dijotos Mas Zaid-mu, kamu mau persunting istrinya?

Eh, ya, iya, Mas Zaid mana peduli, ya. His, bodo amatlah, pusing!

Pandanganku beralih ke depan, bingung mau respon apa candaannya. "Terserah kamulah, Zein!"

Dia ketawa lagi. Malas meladeni, aku kembali memasukkan sesendok es krim ke mulut. Sayang, Zein lebih gesit mencondongkan wajahnya. Detik itu juga es krim di sendok raip dilahapnya.

Aku meliriknya sinis sambil mendengkus. "Enggak sopan banget ya, kamu, Zein!"

"Santai kali, Mbak. Btw, manis, ya. Semanis senyuman, Mbak." Dia terbahak seolah tidak malu jadi tontonan pengunjung mall lain.

Secara kami duduk di luar tokoh, di bangku panjang berbahan besi. Kayaknya daripada malu, Zein malah betah-betah saja. Wajah tampan Zein cukup menjelaskan teori kalau "Orang tampan mah, bebas".

Aku cuman bisa mendelik membuang muka sebelum kembali memasukkan sendok es krim ke mulut. Rasa dingin dan sangat amat enak itu perlahan mendinginkan hati yang nyaris terbakar karena kelakuan Zein. 

Sayang banget kayaknya aku keluar bareng Zein. Aku pikir dia berhenti betingkah. Namun, ucapannya yang bernada godaan membuatku tersedak.

"Btw, Mbak, makan di sendok yang sama bukannya disebut ciuman enggak langsung, ya?"

"Zein, Astaghfirullah!"

***

"Apa lihat-lihat?!" ketusku sebelum turun dari mobil.

Jangan kira aku sudah tidak marah, ya. Oh, dendam ini masih membara. Malu dilihatin orang di mall, tidak main-main. Sampai rasanya aku pengen tenggelamin Zein ke dasar Palung Tangkuban Perahu!

Dari belakang, Zein masih mengoceh. Anak baru gede itu, gencar menggoda. Tepatnya mengejek mungkin.

"Mbak—"

"Dari mana?"

Kakiku beku di depan pintu saat benda bercat putih itu disentak kasar memperlihatkan seorang pria dengan tubuh tegapnya. Mendadak lidah kelu dan bibir kaku ingin berucap kala wajah datar Mas Zaid menguarkan aura dingin yang berbeda. 

Oke, kali ini aku hanya bisa menunduk memilin jemari.

"Oh, ini, Mas. Aku habis nemenin bumil satu ini jalan-jalan–duh, Mbak!" Kekehan jahil Zein terhenti sedetik siku melayang ke perutnya. Dia meringis sambil mengangkat dua jari saat mendapati pelototan dariku. "Becanda, elah! Ya, kali juga, mbakku yang cantik ini hamidun enggak ada lakinya. Ye, 'kan, Mas?"

Sontak tatapanku beralih pada Mas Zaid yang melirikku sebentar sebelum membuang muka dan menyingkir dari pintu. Masih dengan tampang datar tidak terbaca, dia membuka pintu lebih lebar masih sambil berdiri di depan daun pintu. Bahkan punggungnya pun menempel di sana.

"Masuk!"

Aku melirik Zein yang menggaruk tengkuk sebelum melangkah dan disusul oleh pemuda itu. Bukannya tidak tahu sopan santun, aku hanya mendadak takut menghadapi aura dingin Mas Zaid yang kali ini nyaris membuatku beku berdiri. Bahkan aku tidak peduli lagi saat di belakang terdengar Zein berusaha menjelaskan bahwa kami hanya keluar sebentar.

Telingaku yang terpasang siap mendengar lebih banyak dengan langkah sedikit dipelan-pelankan. Diam-diam berharap lelaki di belakang sana bertanya lebih lanjut. Biar aku bisa tahu kalau dia juga mengkhawatirkan aku yang pergi tanpa izin darinya. Namun, aku lupa kata pepatah.

Ekspetasi terkadang tidak sesuai realita. Akhirnya hanya kecewa yang kupetik saat mendengar balasan Mas Zaid.

"Lain kali pergi minta izin. Zareen banyak pekerjaan di belakang."

Senyumku kecut melangkah ke arah dapur. Mas Zaid memang paling bisa soal memperingatiku di mana posisiku yang sebenarnya.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
udah tau cuman dijadikan babu merangkap lontenya msh aja bertingkah. otak mu cuman cukup utk level babu krn itu pilihan mu. sadar diri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status