Share

Bab 5. Satu Kamar Dengan Nick

Nick mendesis pelan. “Yasudah, makan saya yang ada. Tidak usah masak. Makanannya sayang kalau tidak dimakan,” kata Nick. 

Oliv melirik pria itu dari sudut mata. “Bisa nggak sih kamu nggak pelit-pelit sedikit? Lagian aku nggak bakalan masak kalau sudah ada makanan di meja makan.”

“Ya, kali aja kamu bakalan masak lagi.”

Oliv berdehem kecil, kemudian ia mengambil porsi makanan untuknya sendiri di sebuah piring. “Orang tua kamu di mana?”

“Mereka pergi, sibuk sama pekerjaan mereka. Maksud saya papa yang sibuk, mama cuma menemani papa saja,” jawab Nick spontan. 

Oliv mengangguk kecil, ia menarik salah satu kursi di sana dan segera melahap makanannya dengan pelan. “Kamu belum makan, kan?”

Nick melirik ke arahnya dan menautkan alisnya. “Kalau kamu tau saya belum makan. Kenapa kamu tidak mengambilkan makanan untuk saya?” tanya pria itu dengan nada datar. 

Oliv menelan makanannya dengan pelan. Apa dia salah? “Mana aku tau, aku kira kamu makan bareng sama tamu tadi. Yaudah aku makan sendiri.”

“Kalau begitu, bisa ambilkan makanan buat suamimu ini?”

Oliv menghela napas kasar dan memutarkan bolamata jengah. “Jangan buat moodku ancur karena kamu ya.”

“Bukannya itu sudah kewajiban istri? Melayani seorang suaminya?”

Lagi-lagi Oliv menghela napas kasar. Ia bangkit dari kursi dan mengambilkan porsi makanan untuk Nick. 

“Nih, makan. Nggak usah bawel ya kamu, untungnya aku baik hari ini, belum lihat kalau aku marah.”

Nick melirik kearahnya sambil menautkan alis. “Coba saja kamu marah. Mungkin saja uang kamu aku potong satu juta,” kata pria itu dengan wajah santai.

Oliv terdiam, ia menggertakkan giginya bahkan tangannya hampir saja ingin mencakar pria itu. “Tahan, Oliv. Cuma sebentar kok,” batinnya. 

Oliv segera duduk kembali dan melahap makanannya itu dengan mood hancur. 

“Makannya bisa santai tidak, hah?”

Oliv melirik dari sudut mata. “Suka-suka akulah. Kenapa kamu yang repot sih?”

“Kamu perempuan kan. Harusnya perempuan makan yang sopan.”

Oliv menghela napas pelan, ia memakan makanannya dengan santai. Jujur saja dirinya sangat muak dengan ucapan Nick barusan. 

Setelah selesai makan, Oliv membawa sisa piring mereka ke wastafel untuk mencucinya.

“Ada bibi, kamu tidak usah mencucinya,” kata Nick yang sedang membuka kulkas di sana. 

Oliv melirik dari sudut mata dan menghembuskan napas kasar. “Kan aku ada waktu juga kan? Sesekali bantu bibi kan bisa?”

“Yasudah kalau itu mau kamu. Saya juga tidak melarang,” kata Nick sebelum pergi dari hadapannya. 

Oliv menghela napas kasar. Ia membersihkan tangannya setelah selesai mencuci. Kemudian melangkahkan kakinya ke kamar dan ternyata pria itu sudah berbaring di kasur tersebut. 

Perempuan itu kembali menutup pintu itu dan duduk di tepi kasur. 

“Kamu besok kerja?” tanya pria itu tiba-tiba.

Oliv melirik dari sudut mata, melihat Nick yang bermain ponsel di sana tanpa menatapnya. “Ya, seperti biasa,” jawabnya. 

“Yasudah kalau begitu. Saya juga kerja, saya akan mengantarmu besok,” ucap pria itu sebelum meletakkan ponsel itu di meja. 

“Aku bisa sendiri. Lagian nggak jauh juga dari sini.”

“Tidak ada penolakan. Nanti saya dimarahi orang tua saya, jika tidak bersamamu nanti.”

“Bukannya mereka ke luar negeri?”

Nick mendesis pelan. “Kamu kira mereka bodoh? Mereka pasti memasang cctv untuk melihat kita. Jadi, kita masih akting meskipun tidak ada mereka.”

Oliv menghela napas pelan. “Yaudah, yang penting di kamar kamu nggak ngapa-ngapain aku gitu aja,” katanya, kemudia ia membaringkan tubuh di kasur dan menarik selimutnya ke tubuhnya. 

“Kenapa kamu di sini? Ini kasur saya, harusnya kamu tidur di sofa sana.”

Oliv melirik ke pria itu dengan tajam. “Gila ya kamu!”

Nick mengangkat bahunya acuh. “Kontraknya cuma itu sja akan? Akting di depan orang tuaku saja dan tidak ada aturan lainnya. Jadi ... Kalau diluar itu. Berarti kamu tidak berhak untuk tidur dikasur saya,” kata pria itu dengan santai. 

Wajah Oliv nampak merah menahan amarah di dalam sana. “Sumpah, ngeselin ya kamu! Kalau tau gitu kenapa kamu bawa aku ke rumah ini, hah!” 

Oliv segera bangkit dari tidurnya dan mengambil salah satu bantal. Kemudian melemparkannya ke pria itu. “Makan tuh bantal!”

Dengan rasa kesalnya itu, dia berbaring di sofa dengan bantal kecil yang berada di sana. 

Nick melirik ke arahnya. “Kenapa kamu yang marah? Aneh banget.”

“Aneh-aneh mata kamu tuh. Bisanya bikin emosi orang terus. Jangan bilang orang yang deket sama kamu dulu langsung kabur soalnya kamu ngeselin.”

“Mending kamu tidur, tidak usah banyak bicara.”

Di detik itu juga, Nick mematikan lampu di sana. Sehingga membuat Oliv terdiam dan merasa ketakutan. “Emm ... Nick?”

“Humm ....” Hanya deheman kecil yang didengarkan oleh Oliv. 

Oliv melihat ke sekitar kamar itu. Tidak ada lampu sama sekali. Apa Nick sering tidur seperti ini? Tidak ada lampu tidur sama sekali. 

“Nih, bantal sama selimut. Jangan coba-coba kamu pindah ke kasur,” kata Nick memberikan bantal dan selimut ke Oliv. 

Spontan Oliv menerima bantal dan selimut itu. “Serius kamu tidur dengan keadaan gelap seperti ini?” tanyanya dengan nada ragu. 

“Ya, saya tidak suka tidur dengan keadaan ada lampunya,” kata pria itu sebelum kembali ke kasur. 

Oliv menerjapkan mata pelan. Ia membungkus tubuhnya itu memakai selimut dan membenarkan bantal untuk menyandarkan kepalanya di sana. Kemudian memeluk bantal kecil itu sebagai guling. “Nick?”

“Apa lagi?” ucap Nick dengan lirih. Sepertinya pria itu mau tidur. Suaranya juga mulai melirih.

Oliv menghela napas pelan dan menggelengkan kepala cepat. “Nggak, selamat tidur,” ucapnya dengan pelan. 

Meskipun dirinya takut akan gelap. Namun, dia memaksakan diri untuk memejamkan matanya. “Untuk beberapa bulan doang Oliv, tahan ya,” batinnya. 

Tiba-tiba saja lampunya hidup. Oliv membuka matanya pelan, dia melihat ke sekitar dan ternyata Nick menghidupkan lampunya di sana. 

“Kenapa?”

“Tidur aja dulu, nanti kalau udah tidur. Saya matikan lampunya,” kata pria itu sebelum duduk di tepi kasur kembali. 

Oliv menerjapkan mata pelan dan menghela napas. “Peka banget ternyata dia,” batinnya. Ia mengangguk kecil dan memejamkan matanya kembali. 

Tak lama kemudian, Oliv tertidur di sofa sana dengan pulas. Entah karena kecapekan, makanya Oliv sangat cepat untuk tidur.

Melihat itu, Nick segera bangkit dari kasur itu dan kembali mengecek Oliv. “Dia sudah tidur?”

Nick melambaikan tangan di depan wajah Oliv. Ternyata Oliv beneran tidur di sana. Tak mau berpikir panjang, akhirnya Nick memutuskan untuk menggendong perempuan itu dan membaringkan ke kasur. Tidak lupa menarik selimut untuk menyelimuti tubuh Oliv supaya tidak kedinginan. 

Oliv merasakan ada yang mengangkatnya, matanya terbuka sedikit dan tersenyum tipis saat melihat Nick di sana. “Makasih,” lirihnya, kemudian kembali melanjutkan tidurnya di sana. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status