Share

Bab 6. Makan Bersama

Oliv membuka matanya perlahan, ia menguap pelan dan melihat ke sekitarnya. “Aku, di mana?” gumamnya. 

Perempuan itu segera bangkit dari tidurnya dan melirik ke sampingnya yang tak ada siapapun di sana. “Bukannya aku di sofa semalam?” gumamnya. 

Oliv terdiam sejenak, mengingat kejadian semalam. “Nick? Apa Nick yang membawa aku ke sini?” gumamnya. 

Perempuan itu segera bangkit dari duduknya, kemudian mengikat rambutnya asal.  Dia bergegas untuk keluar dari kamarnya itu dan segera ke arah dapur. 

Oliv menghentikan langkahnya ketika melihat Nick yang sedang memasak di sana. Keningnya mengkerur seketika. “Tu–an? Kenapa kamu masak sih? Kan aku belum bangun? Kalau nggak ada yang masak kan bisa dimasakin bibi,” kata Oliv dengan nada cepat. 

Nick menoleh ke belakang sekilas. “Sudah bangun kamu? Kalau mau makan, makan saja.”

Oliv menghela napas pelan, kemudian mendekat ke arah pria itu. Tepatnya ia berdiri di samping Nick dan melihat pria itu yang kini sedang membuat nasi goreng. “Nasi goreng?” tanyanya. 

“Ya, kenapa? Kalau kamu tidak suka, kamu bisa masak sendiri. Lagian, Bibi juga pulang kampung supir juga pulang kampung. Tinggal kita saja yang ada di sini.”

Oliv mengangguk kecil. “Yasudah, aku buatkan telur sama nuget saja kalau begitu. Biar ada lauknya,” katanya, kemudian ia mengambil telur dan sisa nuget yang masih tersisa tiga butir dari kulkas. 

“Sudah habis bahan di kulkas?”

“Menurut kamu?” ucap Nick dengan nada datar. Pria itu meletakkan nasi itu di dua porsi piring yang sudah di sediakan di meja makan tersebut. 

“Kenapa nggak beli?”

“Bukannya kamu yang harus beli untuk saat ini?”

Oliv terdiam sejenak. Benar juga yang dikatakan oleh Nick barusan. “Yaudah, nanti aku beliin sekalian pas mau ke stand aku.”

Nick hanya berdehem pelan seakan tidak peduli apa yang dikatakan oleh Oliv barusan. 

Oliv segera menghidupkan kompor itu dan memasak telur dan nuget itu sampai matang. “Kamu nggak ke kantor?”

“Nanti, mending kamu diam deh, tidak usah banyak tanya.”

Oliv melirik dari sudut mata sambil menggembungkan pipinya. “Kan aku tanya, apa salahnya?”

Setelah matang, Oliv meletakkan piring itu di meja. “Nih makan, jangan lupa lauknya.”

Nick melirik ke Oliv dan mengambil lauk yang dibuatkan olehnya. 

Oliv mengulas senyuman kecil dan segera duduk di kursi. Kemudian mengambil porsi nasi goreng dan tak lupa dengan lauknya juga. 

“Nanti saya pulang malam. Kamu bersihkan rumah ya, jangan lupa buatkan saya makanan malam. Ah ya, nanti saya transfer setengah dulu,” ucap Nick disela-sela makan. 

Oliv mengunyah pelan dan menatap pria itu. Kemudian ia mengangguk kecil. “Oke, aku kirim rekening aku.”

Setelah beberapa menit kemudian. Oliv langsung bangkit dan mengambil beberapa sisa piring untuk di cuci diwastsfel sana. Nick? Pria itu sudah ke kamar untuk bersiap-siap ke kantor.

“Saya mau berangkat, tolong kamu beneran bersihkan rumah dan jaga rumah. Saya tidak mau kalau saya balik rumah berantakan.”

Oliv melirik pria itu dari sudut mata dan mendesis pelan. “Yasudah, pergi sana. Tidak usah banyak bicara.”

Nick berdecak pelan. “Jangan sampai lupa, saya tidak akan masuk ke rumah jika kamu tidak membersihkan rumah ya,” kata pria itu sambil membenarkan dasinya itu. 

Oliv mengelap tangannya. Dia melihat pria itu nampak kuwalahan. Tanpa di suruh ia mendekat ke arah pria itu dan membantu untuk membenarkan dasi. “Biar aku bantu, kalau kesusahan lebih baik kamu minta bantuan bisa?”

Nick terdiam dan menatap ke Oliv. “Biasanya saya minta bantuan mama atau tidak asisten saya pas di kantor.”

“Makanya lain kali belajar! Bukan memanfaatkan orang lain untuk membantu kamu,” desisnya. “Sudah. Masa kamu kalah sama anak muda kayak aku?”

Nick melihat hasil dasi yang dibantu oleh Oliv dan menatap ke arahnya sambil menautkan alis. “Muda? Emangnya kamu umur berapa? Tiga puluh?” kata pria itu sambil mendesis pelan, kemudian berjalan ke kulkas untuk mengambil minuman di sana. 

Mata Oliv membulat, sungguh dirinya ingin menjambak rambut Nick saat ini. “Enak aja! Kamu aja kali yang tiga puluh tahun!”

“Memang, saya umur tiga puluh tahun. Jadi ... kita seumuran kan?”

“Dih! Nggak ya! Aku masih umur dua puluh dua tahun!” kata Oliv dengan nada tidak terima.

Nick hampir menyemburkan minuman yang diminum tadi dan menatap ke arah Oliv tidak percaya. 

“Are you serious?”

Oliv menganggukkan kepala polos. “Serius, makanya kalau kontrak sama aku tanya kebiasaan aku data diri sampai ke dalam. Bukan asal kontrak. Dasar om-om,” desisnya. 

Nick meringis kecil dan menutup pintu kulkas itu kembali. “Saya tidak peduli apapun. Yang penting mereka tau kalau kita sudah menikah dan dia tidak akan pusing mencari pendamping buatku.”

“Itu salah kamu sendiri. Sudah tua kenapa belum nikah-nikah? Nunggu apa lagi? Nunggu punya rambut putih?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status