Share

Bab 2

“Dean, gimana dengan balapan kemarin, sudah keluar belum hasilnya” Arun senam pagi sembari melakukan panggilan video dengan temannya Dean dari sektor 157. Selain ketat dalam hal waktu tidur, ayahnya Arun juga ketat dalam hal olahraga. Walaupun tubuh yang mereka gerakan adalah tubuh virtual, bukan tubuh asli yang memiliki otot dan neuron yang autentik, tapi sinyal-sinyal di otak tetap ditransmisikan dan jalur transmisi neuron dapat juga terbentuk. Malahan di Metaverse ini pembentukkan jalur transmisi neuron lebih mudah dilakukan daripada di dunia nyata. Untuk mempercepat hal itu, atlet-atlet pre-Metaverse melakukan simulasi latihan olahraga yang menjadi keahliannya menggunakan online simulasi. Walaupun pada akhirnya olimpiade atau cabang olahraga lainnya yang membutuhkan gerak tubuh menjadi tidak populer lagi semenjak eSports naik daun dan mengalihkan perhatian penikmat olahraga.

“Gak tau nih, aku bingung Run. Abisnya pengukur kecepatannya mati waktu automobilmu dan punya si Anji ngelewatin garis finis. Lagian tumben kamu peduli banget sama siapa yang jadi pemenangnya. Kamu butuh duit Run?” Arun mengedikkan matanya. Ia teringat lagi pada saat Anji mengejeknya karena Arun adalah satu-satunya perempuan yang ikut balapan pada saat itu. Masalahnya Anji itu adalah jenis orang yang sering menyombongkan keahliannya, walaupun memang kemampuannya sejalan dengan besar egonya. Jenis orang seperti ini yang membuat Arun memiliki keinginan yang tinggi untuk mengalahkannya. Arun ingin menginjak-injak egonya seperti lantai port teleportasi.

Senyuman sinis terbentuk diwajah Arun tanpa ia menyadarinya. Dean yang dari tadi menunggu jawaban dari pertanyaannya menunjukkan wajah bingung. Dean berpikir apa mungkin benar Arun butuh uang, tapi bukannya Arun anak orang kaya, jangan-jangan keluarganya Arun bangkrut jadinya sekarang Arun harus menghidupi dirinya sendiri. Matanya Dean mulai dipenuhi air mata haru, lalu tangannya menutupi mulutnya agar dapat menahan suara sesenggukan yang sepertinya akan keluar dari mulutnya.

Arun yang dari tadi pikirannya ada di tempat lain akhirnya sadar diri dan baru mau menyangkal pernyataan Dean. Tapi melihat reaksi Dean yang terpancar dari persokomnya, Arun menjadi ikut bingung. ‘Ini anak kenapa lagi?’ Pikir Arun. Wajahnya Dean terlihat memerah dan suara sesenggukan mulai terdengar dari persokom Arun.

“Dean, kamu kenapa?”

“Arun udah gak punya duit lagi, udah gak bisa traktir kita lagi ke tempat taman bermain yang seru, uwaaaaa!!!” Arun menjadi semakin bingung akibat tingkah laku aneh temannya ini. Pasti otaknya mulai error karena terlalu banyak dicekoki oleh film-film konspirasi dunia zaman pre-Metaverse.

“Wanda, aku di sini!” Arun melambaikan tangannya ke arah wanda yang baru saja muncul dari transfer port. Gadis yang memakai gaun merah muda yang dihiasi dengan renda bertumpuk dan aksen bunga dan rok yang mengembang itu, datang menghampiri Arun sambil tersenyum. Satu tangan wanda menegakkan payung penghalau matahari dan tangan satunya memegang tas kecil yang berwarna senada dengan pakaiannya.

Wanda memeluk erat Arun dan Arun juga balik memeluk wanda dengan antusiasme yang sama. Arun mengapresiasi pakaian yang digunakan Wanda dari atas sampai bawah.

“Ini apa?” Arun mengangkat kain yang disampirkan di pundak Wanda.

“Ini namanya Capelets.” Wanda menjelaskan dengan suara yang lemah lembut.

Bibir Arun membentuk huruf O, tanda ia mengerti. Walaupun sebenarnya dia tidak terlalu mengerti. Mungkin karena nenek moyangnya Arun menyukai memakai pakaian yang simple, bahkan palet warna yang sama sepanjang hidupnya, selera fashion Arun jadinya nol, besar.

“Ini lagi cosplay karakter apa?” Arun mencoba menebak karakter game mana yang Wanda tiru. Atau malah karakter baru dari film yang baru rilis.

“Bukan, ini tuh cuma pakaian biasa sih, nama gayanya gaya Lolita. Cantik gak?” Wanda memutar tubuhnya untuk memamerkan pakaian barunya. Roknya yang mengembang itu terlihat bertambah megar.

“Cantik, baju apapun yang kamu pakai keliatan cantik,” Arun mengacungkan kedua jempolnya ke arah Wanda. Wanda menunjukkan senyum puas atas pujian ringan dari Arun. Wanda sebenarnya tahu kalau Arun memang tidak mengerti sama sekali tentang fashion, tapi tidak ada salahnya untuk senang karena pujian teman.

“Hayuk kita masuk ke tokonya.” Wanda menunjukkan toko baju yang terlihat elegan di tengah-tengah alun-alun kota. Toko itu dikelilingi  oleh jalan besar, tidak seperti toko lainnya yang terapit oleh gedung-gedung lain.

“Eh, itu toko ya? Aku kira itu gedung kantor?” di wajah Arun terpampang kebingungan yang tidak dibuat-buat. Wanda menghela napas karena tingkah teman kecilnya ini.

“Iya, udah dari dulu itu tokonya berdiri disitu, emangnya kamu gak pernah masuk run?” Arun mengernyitkan dahinya dan mengedikan kepalanya. Wanda menunggu jawaban Arun dengan tidak sabar.

“Sudahlah, kita masuk aja. Nunggu kamu inget tentang hal-hal yang gak berhubungan sama kode atau mobil kayak nunggu ikan bisa jalan ke darat.” Wanda memegang tangan Arun dan menarik badannya yang sedikit lebih tinggi itu ke arah Toko.

Toko yang dimaksud Wanda itu lebih seperti butik dengan baju-baju buatan perancang desain yang terkenal. Dengan bentuk-bentuk dan bahan-bahan yang diluar nalar, dan harga yang juga diluar nalar. Akan tetapi gedung tokonya sendiri berbentuk seperti kotak dengan aksen garis-garis minimalis. Tidak seperti toko lainnya di alun-alun, dengan warna neon dan pajangan yang luar biasa, toko ini berwarna coklat kayu. Karena itu, Arun mengira gedung itu bukan toko, tetapi kantor.

“Selamat datang di Seraphim. Tingkatan kecerdasan gaya anda dengan Seraphim.” Pramuniaga yang merupakan ANI (Artificial Narrow Intelligence) menyapa Arun dan Wanda saat mereka memasuki toko tersebut. Arun terdiam memandang ANI yang memiliki desain yang sangat cantik itu. Wanda, melihat Arun yang memasang wajah terperangah, mendesah pelan dan lanjut menyeret Arun lebih dalam memasuki toko.

Hologram model-model yang mengenakan pakaian dari berbagai jenis dan ukuran terpampang di dinding-dinding toko dari bawah sampai ke langit-langit. Ini pertama kalinya Arun melihat design ANI yang melimpah sampai-sampai tidak ada karakter yang memiliki bentuk yang sama. 

“Buset, Toko ini pasti kaya raya ya Nda. ANI yang mereka punya sangat variatif. Dan bukan cuma ganti warna rambut dan warna kulit aja, tapi juga bentuk tubuh dan wajah.” Arun menjadi sedikit heboh dengan penemuannya yang baru ini. Bukannya Wanda tidak tertarik. Waktu pertama kali kesini juga Wanda mengalami kultur syok yang sama dengan Arun. Tapi kita kesini untuk belanja baju bukan untuk analisis ANI. Dihadapi dengan Arun yang memasang mata berbinar tertuju ke arahnya, akhirnya Wanda mengambil tempat di cafe khusus untuk pembeli istirahat dan mulai menjelaskan sejarah ANI dari Seraphim.

“Wah, orang yang kemarin kalah ada disini rupanya.” Tiba-tiba suara dengan nada mengejek terdengar dari pintu masuk cafe. Wanda dan Arun langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut. Melihat manusia yang melontarkan ejekan tadi, Arun langsung mengernyitkan wajahnya dengan sebal. Anji ada disini rupanya. Arun belum selesai berurusan dengan Anji soal balapan kemarin. Anji menunjukkan wajahnya dengan angkuh, menantang Arun untuk membalasnya.

Arun spontan berdiri dan melangkahkan kakinya ke arah Anji untuk menyelesaikan urusan mereka. Tetapi wanda lebih cepat dari Arun. Dengan gesit, Wanda menghalangi Arun dengan tangan terbuka lebar, dan punggung ke arah Anji menutupi mukanya yang sangat menyebalkan.

“Inget, kita kesini untuk beli baju, bukan untuk berantem,” Wanda mendengus dengan keras ke arah Anji, dan dengan langkah lebar berjalan ke arah display pakaian yang sudah diincarnya dari tadi. Tangan kanannya menarik tangan Arun dengan kencang. Arun sampai tergopoh-gopoh mengikuti Wanda. Sambil melihat ke arah Anji, Arun berteriak,”Nanti malam, jangan lupa kita balapan ulang!” Arun menunjukkan jari tengahnya ke Anji sambil membuat wajah mengejek. Anji terlihat mengembalikan ejekan Arun dengan antusias yang sama.

Dengan sedikit gangguan, waktu belanja Wanda berjalan dengan lancar. Wanda memilih beberapa model baju populer di kalangan Cosplayer dengan warna-warna pastelnya. Dan setelah itu mereka berpisah, Wanda melanjutkan belanjanya sedangkan Arun pulang untuk memeriksa keadaan mobilnya. 

Arun memeriksa performa mobilnya dan menganalisis program yang cocok untuk medan balapan nanti.

“Meow~,” tiba-tiba terdengar suara kucing dari kompartemen belakang mobilnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status