Share

Ibu Super (Aku bisa Tanpamu, Mas!)
Ibu Super (Aku bisa Tanpamu, Mas!)
Author: Yuniartinoor

Permulaan

Aku adalah Istri sekaligus Ibu dari seorang anak laki-laki tampan bernama Brama. Namaku Gina, sekarang genap sudah 3 tahun aku ikut merantau bersama Mas Satya, suamiku. Sejak Brama berumur 4 tahun aku dan Mas Satya mengontrak sebuah rumah tak jauh dari tempatnya bekerja.

Mas Satya ingin merubah perekonomian keluarga, ia memilih pekerjaan lain selain bertani. Di kampung tempat kami tinggal pekerjaan cukup sulit karena itu aku dan Mas Satya tetap bertahan merantau meskipun bekerja sebagai karyawan pabrik biasa.

Sebuah perusahaan elektronik yang bekerja sama dengan perusahaan China menjadi tempat Mas Satya mencari nafkah, untukku dan Brama. Seiring berjalannya waktu gaji Mas Satya lumayan, tidak hanya cukup untuk kehidupan kami bertiga di rantau tapi juga bisa memberi sedikit untuk orangtua di kampung.

Tahun ketiga ini Mas Satya naik jabatan, dia sudah tidak mengawasi bagian gudang lagi. Mas Satya dipindahkan ke gedung utama sebagai staff. Dengan naiknya jabatan Mas Satya Insya Allah akan naik juga penghasilan keluarga kami perbulan.

Aku dan Mas Satya sepakat menambah momongan, kebetulan tahun ini Brama masuk Sekolah Dasar. Menurut kami berdua, sudah cukup usia untuk Brama jika memiliki seorang adik. Tanpa mengikuti program kehamilan Allah menganugerahkan rizki yang tak terhingga untuk keluargaku. Belum dua bulan melepas kontrasepsi aku dinyatakan hamil.

Kebahagiaan semakin bertambah untuk aku dan keluarga. Brama sangat senang dan begitu antusias saat mendengar akan memiliki seorang adik. Begitupun Mas Satya, suamiku semakin sayang dan perhatian padaku dan calon anak yang bersamayam di rahimku.

Mas Satya memang tipe suami idaman. Tetangga sekitar tempatku mengontrak saja iri melihatku. Sebagai suami Mas Satya mau membantu istri mengerjakan pekerjaan rumah dan tidak malu untuk mengerjakan pekerjaan seorang istri termasuk belanja ke warung, menyuapi Brama bahkan mencuci dan menjemur pakaian.

Mungkin aku adalah satu dari bebrapa wanita beruntung yang berjodoh dengan laki-laki baik seperti Mas Satya. Apalagi setelah kehamilan anak kedua ini, Mas Satya semakin memanjakanku. Pagi sekali ia bangun untuk beres-beres rumah, mencuci piring, pakaian dan menanak nasi. 

Saat Mas Satya membangunkanku untuk Shalat Shubuh semua perabotan rumah sudah kinclong, aku hanya tinggal memasak dan menyiapkan sarapan.

"Ya Ampun, Mas ... kenapa repot-repot ini semua tugasku. Nanti Mas di Pabrik ngantuk gara-gara kurang tidur," ocehku.

"Gak apa-apa, Sayang. Mas semalam tidur nyenyak sekali. Daripada melamun sebelum Shubuh, mendingan Mas beres-beres bantuin istri. Kamu kan lagi hamil, jangan kecapean! Kalau Mas bisa bantuin pekerjaan kamu, Mas senang!" cerocos Mas Satya.

Saking tidak mau merepotkan istri, siang hari Mas Satya memesankan makanan via aplikasi untukku dan Brama. Sore hari saat pulang bekerja bisanya suamiku juga membeli lauk siap makan entah dari warteg, pedagang kaki lima atau dari warung nasi dekat kontrakan.

Mas Satya memang simpel sekali, makannya tidak rewel makanan favoritnya hanya ayam goreng dan sambal goreng dadakan buatanku. Bahkan jika tidak ada lauk apapun di lemari es ia bisa lahap hanya makan nasi putih dengan lauk kerupuk dan kecap.

"Suami Soleh," kata tetangga Mas Satya "limited edition" hanya ada beberapa saja di dunia ini. Sekali lagi mereka bilang aku wanita paling beruntung. Sudah dapat suami tampan, baik, mapan, sayang keluarga lagi.

Aku mengakui itu, semuanya memang benar. Aku begitu beruntung karena itu aku tak berhenti bersyukur pada Allah karena telah dianugerahkan Suami seperti Mas Satya.

Menginjak kehamilan empat bulan, aku dan Mas Satya mengadakan tasyakuran. Orangtua kami dari kampung datang dan menginap di kontrakan. Mama dan papakku tidur bersama Brama sedangkan mertuaku disewakan sebuah kamar kontrakan kosong tak jauh dari rumah kontrakan kami.

Lingkungan tempat tinggalku memang tempat orang-orang rantau, banyak buruh pabrik mengontrak di sini. Kontrakannya macam-macam ada yang di sewa tahunan, bulanan, mingguan bahkan harian seperti yang Mas Satya sewakan untuk mertuaku.

Mas Satya menyewakan kamar hanya untuk dua hari saja, selama acara masak-masak sampai acara tasyakuran selesai. Hampir semua tetanggaku sama-sama orang rantau, kami merasa memiliki keluarga baru saat tinggal di deretan rumah kontrakan yang sama.

Alhamdulillah acara berjalan lancar, setelah pengajian selesai suamiku membagikan nasi box dan beberapa makanan pada tetangga yang tidak bisa menghadiri acara tasyakuran. Maklum rumah kontrakan kami tidak begitu luas hanya beberapa orang tetangga saja yang bisa hadir.

"Sudah kebagian semuanya, Nak?" tanya Ibu mertua pada suamiku.

"Sudah, Bu!" jawab Mas Satya.

"Tadi Mama lihat ada tetangga baru di kontrakan selisih dua deret dari sini. Kalau nasi box nya masih ada, kasih tetangga barunya, tadi dia lagi beres-beres," ujar mamaku. 

Kebetulan masih ada beberapa box nasi karena ibu mertua dan mamaku memasak lebih. Aku berniat mengantar nasi box tersebut tapi seperti biasa Mas Satya mengambil alih semuanya karena khawatir aku kecapean.

*****

Kata Mas Satya, tetangga baru kami masih sangat muda, lulusan SMA dan baru saja terjun ke dunia kerja. Namanya Rena, gadis muda pemberani yang hebat.

Aku suka kegigihannya, jika sedang off tak jarang aku mengajak Rena main ke kontrakanku untuk sekedar mengobrol atau menonton drama Korea.

Rena juga bekerja di perusahaan yang sama dengan Mas Satya, jika kebetulan bekerja satu shift tak jarang Rena pulang bersama Mas Satya. Mas Satya memang tidak tegaan, apalagi saat shift malam ... mana mungkin Mas Satya membiarkan Rena pulang berjalan kaki dari Pabrik ke kontrakan.

*****

Biasanya Mas Satya pulang jam sebelas malam, entah kenapa sudah lewat tengah malam ia belum pulang. Tidak ada pesan yang mengabarkan jika Mas Satya pulang terlambat. Aku mencoba menghubunginya beberapa kali tapi handphone Mas Satya tidak aktif.

Brama sudah tidur sejak jam 8 malam dan aku masih menunggu Mas Satya  pulang sampai di ruang tam. Aku baru ingat sore tadi Mas Satya dan Rena berangkat bersama karena malam ini bekerja dalam shift yang sama.

Aku sangat khawatir, tidak tenang jika suamiku belum pulang. Aku mencoba menghubungi Rena, siapa tahu Rena tahu kenapa Mas Satya malam ini pulang terlambat?

Beberapa kali aku mencoba menelepon Rena ... setali tiga uang dengan Mas Satya, handphone Rena juga tidak bisa di hubungi. Penasaran akupun memberanikan diri keluar rumah meskipun telah lewat jam 2 malam.

Aku berniat bertanya pada Mas Galih, tetanggaku yang juga bekerja di perusahaan yang sama dengan Mas Satya. Namun, aku urung bertanya karena kulihat motor Mas Galih sudah terparkir di depan rumah kontrakannya.

"Berarti Mas Galih sudah pulang," gumamku.

Aku berbalik badan dan berniat kembali ke rumah kontrakanku tapi tak tahu kenapa aku begitu penasaran untuk bertanya pada Rena. Aku kembali berbalik menyusuri beberapa pintu rumah kontrakan menuju kontrakan Rena.

Sepi ... sepertinya Rena sudah tidur. Saat berniat pulang dan tidak jadi mengetuk pintu aku tertegun. Aku menginjak sepatu milik Mas Satya yang berada tepat di depan pintu kontrakan Rena.

"Mas Satya! Kenapa sepatunya di sini? Di mana motornya?" Aku bergumam dalam hati.

Ada sesak yang tak bisa aku hindari, kepala mulai pusing, kakiku lemas dan pandanganku menghilang begitu saja ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status