Share

Semakin Terbuka

"Setelah berpakaian nanti kita makan, Mas! Lauknya sudah matang," ajakku.

"Aku sudah makan di tempat Rena, kamu dan Brama makan saja berdua! Aku akan berangkat lebih awal, mau mengantar Rena dulu mengirim uang untuk ibunya," tegasnya.

Apa! Makan di rumah Rena? Lalu ... aku susah-susah memasak untuk siapa? Mas Satya sudah semakin keterlaluan, dia sudah tidak bisa menghargai lagi aku sebagai istrinya.

Iuh ... kelakuan Mas Satya lama-lama membuatku kesal.

*****

Lelah rasanya ditengah usia kandungan yang semakin hari semakin membesar sikap dan kelakuan Mas Satya benar-benar membuatku hancur. Harusnya kasih sayang dan kelembutan dari suami aku dapatkan lebih di saat-saat menjelang melahirkan.

Ya Allah, cobaan ini begitu indah. Aku mencoba ikhlas walau kenyataannya sungguh menyakitkan.

Aku tidak ingin bayi dalam kandunganku terdampak perasaan yang dialami ibunya sekarang aku berusaha lebih tenang.

Kepulangan Mas Satya sudah tak kutunggu lagi, terserah dia mau pulang atau tidak aku sudah tidak ambil pusing. Hampir semua kewajiban berusaha aku kerjakan mengurus anak, beres-beres rumah, mencuci, dan memasak walaupun sudah jarang Mas Satya makan di rumah.

Aku juga sudah tidak mau tahu bagaimana hubungan Mas Satya dan Rena sekarang. Selentingan-selentingan tentang kedekatan Mas Satya dan Rena aku tak pedulikan, aku tidak ingin mendengar apapun tentang mereka berdua.

Mulai memutar otak bagaimana aku bisa bertahan hidup kedepannya. Uang belanja yang diberikan Mas Satya semakin bulan malah semakin berkurang. Aku harus bisa berusaha agar uang yang kumiliki bisa sampai dan bertahan sampai akhir bulan.

Aku mencoba membuat camilan seperti cilok, baso goreng pedas, cireng, risol dan masih banyak lagi. Semua hanya dijual secara online seseuai jumlah pesanan. Hari-hari pertama memang hanya beberapa saja yang memesan daganganku via aplikasi tapi, mudah-mudahan kedepannya laris dan banyak yg memesan.

"Ini belanjaannya, Mbak Gina," seru Mbak Ivi.

"Terima kasih, Mbak. Maaf tiap hari merepotkan," ucapku.

Alhamdulillah aku mempunyai tetangga yang baik, sekarang Mbak Ivi sudah seperti kakak bagiku. Dia berbaik hati mau dititipi belanjaan setiap hari, mungkin tidak tega juga melihatku yang setiap pagi berbelanja dengan perut membesar.

Bukan hanya Mbak Ivi, Mas Galih suaminya juga sangat baik. Mas Galih mempromosikan jualanku pada karyawan pabrik lain sehingga banyak yang memesan dan menitip padanya.

Rasa sakit ini sedikit banyak membawa perubahan pada diriku. Aku yang lemah berusaha untuk menjadi wanita tangguh.

Semenjak berumah tangga dengan Mas Satya mana pernah aku mengganti tabung gas yang habis. Takut meledak dan tidak berani. Sekarang mau tidak mau harus bisa sendiri karena Mas Satya sudah tidak pernah memperhatikan lagi, mana peduli dia dengan gas yang habis.

Beberapa kali meminta tetangga mengganti gas, kuperhatikan bagaimana cara mereka memasang tabung gas yang benar. Sekarang dengan modal keberanian dan menyampingkan rasa takut, aku bisa memasang gas sendiri. Jujur malu rasanya jika tiap gas habis harus merepotkan tetangga terus.

Untunglah Brama tumbuh jadi anak yang pintar dia sedikit-sedikit mau membantu ibunya dan berusaha menjagaku dan calon adiknya. Saking pintarnya Brama bisa tahu perubahan pada ayahnya. 

Padahal aku sama sekali tidak mengeluh tentang Mas Satya tapi Brama begitu peka. Jika Mas Satya pulang dia selalu stand-by di dekatku. Katanya takut jika ayah nanti menyakiti ibu.

Masya Allah, aku bersyukur sekali telah dititipkan malaikat kecil itu. Brama yang selalu ada, memeluk dan menenangkan saat aku terpuruk sekalipun. Sekarang aku hanya berdua dengan Brama, harus kuat dan selalu bersama dalam situasi apapun.

"Dengar! Aku akan mengikuti acara yang diadakan pabrik ke luar kota. Selama tiga hari, Galih, Ivi dan anaknya juga ikut," celoteh Mas Satya.

Aku mengangguk dan tak banyak berkomentar, malas dan takut salah juga. Dimata Mas Satya sekarang sedikit saja aku membuat kesalahan semuanya bisa berabe.

"Kalau begitu Brama ikut! Ajak juga Ibu," seru Brama.

Aku tidak menyangka jika anak tampanku. seberani itu pada ayahnya.

"Ibu kan sedang hamil besar, bagaimana kalau nanti melahirkan disana? Daripada menyusahkan orang di tempat yang jauh lebih baik kamu dan ibu tidak ikut ... Brama jaga ibu baik-baik ya? Kalau ada apa-apa kabari, telepon ayah!" bujuk Mas Satya.

Aku menyuruh Brama pergi dan bermain bersama teman-temannya agar tidak melihat saat Mas Satya pergi bersama Rena.

"Simpan uang untuk melahirkan, Mas! Menurut perkiraan Bu Bidan aku akan melahirkan besok. Untuk jaga-jaga, takutnya nanti aku melahirkan saat Mas belum pulang," pintaku.

"Ribet sekali, melahirkan saja belum sudah minta uang. Aku tidak akan memberikan uangnya, nanti habis!" sentaknya.

Ya Allah ... setega itu Mas Satya padaku, sekarang. Selain cinta dan kasih sayangnya ternyata kepercayaannya terhadapku juga sudah hilang.

"Lalu ... jika aku benar melahirkan besok bagaimana?" tanyaku lagi, pelan.

"Ini bukan di kutub, tekhnologi canggih, tinggal menggeser layar handphone saja aku bisa mengirimkan uang ke sudut dunia manapun," pungkasnya.

Aku mengalah, tak ada gunanya juga berdebat. Aku membawa tas ransel milik Mas Satya dan mengantarnya sampai ke teras.

Setelah aku menyalami Mas Satya, Rena datang dan naik ke motor Mas Satya. Dia begitu tanpa dosa, pergi dibonceng suamiku tanpa permisi sama sekali. Nauzubillah ... dia bisa setenang itu.

Mas Satya dan Rena sudah tak peduli lagi dengan apa kata orang sekitar. Mereka berdua sudah tidak malu atau sungkan saling panggil sayang di tempat umum. Sekali lagi aku hanya bisa mengelus dada dan mengucap istighfar. Terus bersabar, menutup mata dan telinga agar pikiranku tenang dan kesehatan tetap stabil menjelang melahirkan.

Wajah Brama berubah murung, aku faham ... anak seumuran Brama pasti ingin sekali pergi liburan dan bermain pasir di tepian pantai. Aku tidak mau hatinya kecewa, setelah Mas Satya pergi aku mengajak Brama pergi membeli mainan di toko mainan yang tak jauh dari kontrakan.

Meskipun tidak akan menghilangkan rasa kecewa Brama terhadap ayahnya setidaknya mudah-mudahan dia senang bisa membeli mainan yang sudah lama ia inginkan. Ada sedikit simpanan, tak apa aku belikan separuh yang penting jagoanku bisa bahagia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status