Sehari semalan aku menginap di Bidan, sampai mertuaku datang untuk menjemput. Untunglah Bu Bidan sangat baik, beliau tidak masalah saat belum ada keluargaku yang datang untuk menjemput dan menyelesaikan semua biaya persalinan.
Ibu mertua juga sempat marah ketika tahu Mas Satya pergi keluar kota tanpa memberiku uang untuk biaya persalinan. Ibu marah dan menelepon Mas Satya agar men-transfer uang untuk persalinan. Ya ... semua karena aku dan si bayi baru bisa pulang dari Klinik Bersalin setelah semua biaya persalinan lunas.
Sebenarnya bisa saja aku menceritakan semuanya pada mertuaku tapi aku tidak ingin mengadu. Biarlah orangtua Mas Satya juga nanti akan tahu sendiri bagaimana sikap anaknya sekarang.
Orangtua Mas Satya sangat senang saat mendapati cucunya perempuan maklumlah Mas Satya anak mereka satu-satunya. Sejak pulang dari Bidan sampai di kontrakan Ibu senang sekali menimang si kecil. Saking senangnya Ibu hanya memberikannya padaku saat menyusu saja.
"Sudah dua hari anaknya lahir kok Satya belum pulang? Apa dia gak ingin gitu lihat putri cantiknya ini," gerutu Ibu.
"Ya pasti ingin lah, Bu. Satya kan cuma karyawan kalau dikasih tugas dari perusahaan masa harus nolak," bela Bapak.
Bayi mungilku sampai hari ini masih dipanggil cantik karena belum diberi nama. Aku menunggu Mas Satya untuk memberikan nama pada gadis kecilnya.
Allah maha baik, malam itu Mas Satya pulang diantar Rena dalam keadaan mab*k. Tanpa aku beri tahu mertuaku bisa mencium perubahan pada Mas Satya. Ya ... Mas Satya lelaki baik yang tidak suka minum oleh karena itu minum sedikit saja bicaranya ngaco dan sudah tak karuan.
Mulut Mas Satya tak henti memanggil Rena dengan sebutan Sayang, bicaranya ngalir-ngidul. Bapak mertua yang sudah gemas segera membawa Mas Satya ke kamar mandi lalu mengguyurnya dengan air dingin agar Mas Satya segera sadar.
"Bapak mendidikmu jadi anak yang baik, kenapa kamu begini ... Satya?" keluh Bapak sambil menyirami anaknya dengan bergayung-gayung air.
Gara-gara ocehan Mas Satya jadi aku yang diberendeli banyak pertanyaan oleh mertua, terutama tentang Rena. Mertuaku begitu penasaran dengan hubungan Rena dan Mas Satya.
"Maaf, Pak ... Bu ... Gina gak akan cerita apapun, takut jika malah salah bicara. Nanti silakan Ibu dan Bapak tanya langsung pada Mas Satya," terangku.
******
Keputusanku ternyata tidak salah, padahal tidak bicara apapun pada bapak dan Ibu Mertua tapi aku dituduh mengadu Oleh Mas Satya.
Setelah ditegur oleh kedua orangtuanya Mas Satya melampiaskan kemarahannya padaku, aku dituduh mengadu dan menjelekannya dengan Rena. Ya Allah ... padahal aku sudah berusaha untuk menutupi semuanya. Bagaimana mertuaku tidak curiga jika melihat sendiri bagaimana Rena begitu tidak sungkan memel*k tubuh Mas Satya saat mab*k semalam.
"Aku tidak berbicara sedikitpun tentang Mas ataupun Rena pada Ibu dan Bapak! Silakan Mas bisa tanya sendiri. Jika sekarang Ibu marah wajar, Mas. Saat aku melahirkan Mas kemana? Mana tanggung jawab, Mas?" Aku sedikit berteriak karena kesal, jujur saja menahan diri untuk tidak meluapkan emosi sedikit banyak menyiksaku.
"Beraninya kamu berteriak!" Tangan Mas Satya hampir saja menyentuh pipiku saat si bungsu tiba-tiba menangis dan terbangun.
Mas Satya mengayunkan tangannya, kesal lalu ia keluar kamar dan membanting pintu sehingga membuat tangis si kecil semakin kencang karena kaget.
"Astagfirullahhal adzim!" ucapku.
Semenjak mengenal Mas Satya hingga sekarang kami memiliki dua buah hati, ini kali pertama dia berbuat kasar padaku. Dulu jangankan memukul, membentakpun dia tidak pernah. Mas Satya lelaki tampan, gagah, pintar, dan bertutur kata baik.
Entahlah set*n apa yang merasukinya, dia berubah begitu cepat hingga kadang aku merasa tidak mengenalnya. Dia bukan Mas Satya yang dulu ....
Tak ada lagi tutur lembutnya saat menyapaku, belaian tangannya hilang, perhatiannya entah kemana? Kasih sayangnya sirna ... semua karena dia
... wanita yang hadir diantara kita.Aku akan bertahan demi anak-anak, demi orangtuaku dan mertua yang begitu menyayangiku dan anak-anak. Semoga aku bisa melewati semuanya, cobaan yang tak pernah aku harapkan sebelumnya ....
Tak kusangka Rena yang masih muda begitu nekad, memperkenalkan diri sebagai calon menantu pada Ibu dan Bapak mertuaku. Dia begitu gamblang dan berterus terang ingin menikah dengan Mas Satya meskipun harus jadi istri kedua.Mertuaku memang sudah mencium hubungan antara Mas Satya dan Rena tapi tak pernah menyangka jika Rena yang masih muda akan se-berani itu.Hanya berjarak beberapa meter saja dari ruang tamu ke kamar, terdengar perbincangan mereka. Sambil mengelap air mata aku mendekap kedua buah hatiku bersamaan. Perih sekali, aku merasa sangat tak berguna saat wanita lain menginginkan suamiku menjadi suaminya."Kamu sadar, Neng? Satya pria beristri jangan cari masalah!" ujar Bapak."Aku sadar, Pak. Aku tahu Mas Satya pria beristri tapi aku sayang Mas Satya," tegas Rena."Astagfirullah hal'adzim," batinku."Cari lelaki lain, kamu cantik ... di luar sana banyak laki-laki single, masa gak ada yang mau sama kamu?" cerocos mertuaku.Semak
Tiga hari setelah mertuaku pulang ke kampung, Mas Satya benar-benar menikah dengan Rena. Penghulu datang dan menikahkan mereka di kontrakan Rena yang hanya berjarak beberapa kamar kontrakan saja dari tempat tinggalku.Perasaanku? Jangan ditanya, sakitnya Masya Allah tapi aku tetap hadir dan menyaksikan akad antara Mas Satya dan Rena. Sementara anak-anak dititipkan pada Mbak Ivi, aku tidak mau jika Brama ataupun Cantika menyaksikan pernikahan ayah mereka dengan wanita lain.Sebelum akad dimulai Mas Satya beberapa kali melihatku. Pertama kali tergambar jelas ekspresi kaget di wajahnya. Mungkin dia tidak menyangka jika aku akan menghadiri pernikahan sekaligus pengkhian*tan yang Mas Satya lakukan padaku."Sah? Sah?" tanya penghulu."Saaaah!" seru para saksi.Aku segera keluar meninggalkan kontrakan Rena seraya mengucap "Bismillah". Mulai hari ini, aku akan memulai kehidupan baruku. Mejadi Gina yang kuat, single Mom yang akan membesarkan kedua buah hati
Berterima kasih pada pemerintah yang telah membebaskan biaya pendidikan dasar 9 tahun. Aku sama sekali tidak kesulitan saat harus menyekolahkan Brama. Tanpa Mas Satya aku bisa, Aku diberi kelancaran dan kemudahan untuk mengurus semuanya.Karena Brama sekolah di Sekolah Dasar Negeri, aku tidak perlu memikirkan biaya bulanan, uang pandaftaran dan uang untuk pembangunan. Aku hanya perlu membeli seragam, tas, sepatu dan alat-alat tulis saja. Buku-buku bacaan dan buku pelajaran gratis nanti akan disediakan sekolah.Brama sangat bahagia, melihat lingkungan sekolah membuatnya tidak sabar untuk segara memulai tahun ajaran baru."Bu, nanti Rama sekolah diantar ayah ya?" tanya Brama."Insya Allah, kalau ayah tidak sibuk ya ... Ayah kan kerja kadang saat shift pagi jam 6 kan ayah sudah harus sampai di tempat kerja," terangku."Ya ... padahal di TV kan gitu, Bu. Rama suka lihat kalau sekolah hari pertama itu biasanya siswa baru pada diantar ayahnya," rengek Br
Sehebat apapun sekarang Mas Satya berpura-pura, sekuat tenaga aku menutup mulutku untuk tidak berbicara tapi aku tidak dapat menutup mulut dan mata orang-orang di sekitar kontrakan.Belum sehari datang ke tempatku, Bapak tidak sengaja mendengar obrolan tetangga tentang pernikahan Mas Satya untuk yang ke-dua kali. Sepulang dari warung bersama Brama, dari raut muka bapak sudah terbaca jika ada yang tidak beres."Kenapa kamu diam saja, Nak? Kenapa tidak pulang saja ke kampung? Bapak dan mama masih sanggup membiayai kamu dan anak-anak," ujar bapak."Gina baik-baik saja, Pak. Lagi pula Mas Satya tidak menceraikan Gina, Gina masih istrinya masa harus pergi begitu saja, Pak." sahutku."Keterlaluan, istri baru melahirkan dia menikah lagi. Bapak tidak akan diam, bapak tidak ridho. Kalau begini caranya sama saja dia menyakit*mu perlahan, sudah menikah lagi itu perempyan kenapa juga harus tinggal dekat sini? Pokoknya Satya harus mencer*ikanmu kalau dia tidak m
Namaku Satya Anggara, sudah tiga tahun aku merantau di kota bersama istriku Gina dan anak laki-lakiku Brama. Meskipun kami hidup mengontrak, kami tetap bertahan karena aku dan istriku bertekad untuk merubah nasib.Orangtua kami di kampung semuanya petani tak ada salahnya jika aku dan istri ingin bekerja di bidang lain untuk memperbaiki perekonomian keluarga kearah yang lebih baik.Pekerjaanku hanya sebagai karyawan pabrik biasa di sebuah perusahaan elektronik yang bekerja sama denga perusahaan milik orang China. Dengan ketekunan dan keuletanku selama beberapa tahun sedikit demi sedikit gajiku meningkat. Tidak hanya bisa memenuhi kebutuhan keluarga tapi juga bisa memberi uang jajan untuk kedua orangtua kami setiap bulan.Tahun ketiga ini Alhamdulillah, naik jabatan. Aku sudah tidak mengawasi lagi bagian gudang tapi pindah ke gedung utama sebagai staff. Dengan naiknya jabatan ini berarti naik juga
Aku hanya seorang gadis kampung Misk*n yang ingin merubah nasib keluargaku. Aku anak yatim, bapak sudah meninggal 4 tahun lalu. Sebagai anak sulung aku harus lebih bekerja keras agar bisa membantu ibu membiayai ketiga adikku.Berbekal ijazah SMA aku nekad pergi ke kota, meski menjadi seorang karyawan pabrik akan kujalani yang terpenting aku dapat uang halal untuk menafkahi keluargaku.Dengan bekal seadanya aku menyewa sebuah kamar kontrakan untuk tinggal selama bekerja di kota. Jujur saja aku harus banyak berhemat karena uang bekalku yang pas-pasan. Rizki anak sholeha, saat sedang beres-beres pakaian seseorang datang memberikan nasi berkat."Assalamuallaikum!" ucap seorang laki-laki yang menurutku, sangat tampan.Aku muncul dari dalam rumah kontrakan saat mendengar ia mengucapkan salam."Maaf, Mbak ini ada nasi berkat." Dia memberik
Setelah tahun ajaran baru dimulai kegiatanku cukup sibuk karena dari jam 7 sampai jam 10 pagi harus standby menunggu Brama di Sekolah. Waktu berjualan sedikit terpangkas, aku hanya bisa berjualan dari siang sampai Maghrib saja. Dengan berkurangnya waktu jualan berkurang juga penghasilanku.Selesai shalat Shubuh aku menyempatkan mengolah stok jualan yang ada di lemari es."Assalamualaikum!""Walaikumsallam," jawabku.Begitu jelas jika yang mengucapkan salam adalah Mas Satya, aku segera mencuci tangan yang penuh dengan adonan tepung lalu membuka kunci pintu."Brama sudah bangun?" tanya Mas Satya."Barusan, tidur lagi. Setelah shalat Shubuh kelihatannya Brama masih mengantuk," jawabku."Ini uang gajianku bulan ini, seadanya. Terserah mau kamu pakai buat apa. Sudah kubagi u
Ya Amupun, Mbak kenapa bawa galon sama gas sendiri? Ini berat, sini aku bantu!" tawar Mas Ammar.Mas Ammar menghampiriku saat beristirahat di dekat teras tetangga."Gak usah, Mas. Sekarang aku sudah biasa, kok," tolakku.Mas Ammar tidak menghiraukan penolakanku, dia langsung mengangkat galon di pundaknya dan menjinjing tabung gas milikku di tangan kanannya."Mbak, mbak Gina itu perempuan jangan maksain ngangkat-ngangkat begini. Ini gas sama galon berat, loh! Di kontrakan kan banyak cowok, minta tolong saja daripada nanti pinggang Mbak kecengklak! Kalau mbak sakit siapa yang nanti jaga anak-anak?" cerocos Mas Ammar."Tabung gasnya biar aku saja yang bawa, Mas!" pintaku."Tidak usah, Mbak jalan duluan saja nanti Cantika keburu nangis."Tanpa sadar aku mengikuti perintah Mas Ammar unt