Share

Melahirkan Tanpa Suami

Manusia memang hanya bisa berencana selebihnya memang benar sekali Tuhan yang menentukan. Menurut perhitungan Bidan tempat aku diperiksa perkiraan lahir besok tapi malam ini perutku sudah tidak enak.

Aku tidak lantas pergi ke Bidan, sambil menunggu frekuensi mulas semakin sering aku membenahi barang-barang yang akan dibawa ke Bidan. Semua memang sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari aku hanya memeriksa takutnya ada barang yang terlewat dan belum masuk tas.

Sudah jam tiga pagi mulesnya semakin sering terpaksa Brama aku bangunkan. Khawatir jika ditinggalkan sendiri di kontrakan lagi pula aku akan sangat merasa tenang jika Brama tetap bersamaku.

Di sekitar kontrakan jam tiga pagi memang mulai ramai. Ada yang sudah mencuci, beres-beres dan yang  berjualan sudah berangkat ke pasar. Aku tidak was-was meskipun harus berangkat ke Bidan berdua bersama Brama karena sudah banyak orang beraktivitas.

"Kita mau ke Bidan, Bu? Tunggu Ibu duduk disini, Brama mau minta tolong Om Ammar." Aku dituntunnya agar duduk di teras kontrakan.

Sebelum Mbak Ivi pergi berlibur dia sudah mewanti-wanti Brama untuk minta tolong pada Ammar. Anakku memang pintar dia menyimak dengan benar apa yang Mbak Ivi pesan.

Ammar seorang sopir taksi online yang juga mengontrak di tempatku mengontrak. Alhamdulillah tidak lama Ammar datang bersama Brama, akupun diantar ke Bidan.

"Maaf ya Mas Ammar aku merepotkan," ucapku.

" Enggak repot, Mbak. Orang sama tetangga ini gak usah sungkan. Mas Satya kok bisa sih kerja keluar kota padahal istri sudah hamil besar."

"Iya, Mas. Pekerjaannya penting dan gak bisa ditinggal soalnya."

Jarak dari kontrakan ke Bidan memang tidak terlalu jauh, hanya lima belas menit kami sudah sampai. Sebelum masuk ruang persalinan aku sudah mengirim pesan beberapa kali pada Mas Satya dan tak lupa menyuruh Brama untuk terus menelpon Mas Satya. Sejak dari kontrakan sudah di telepin berulang-ulang tapi tak ada jawaban.

Alhamdulillah ketika sampai di Bidan sudah bukaan enam tidak membutuhkan waktu lama untuk proses persalinan. Anak keduaku perempuan cantik yang lahir dengan begitu lancar melalalui proses persalinan normal.

"Pak Satyanya kapan datang, Bu?" tanya Bu Bidan.

"Mungkin sore atau malam, Bu Bidan. Tadi pagi Mas Satya baru saja berangkat ke luar kota, ada pekerjaan yang tidak bisa di wakilkan," jawabku.

"Tak apa, Bu ... yang penting adeknya sudah lahir dengan selamat, cantik, sehat dan sempurna tanpa kekurangan apapun."

"Terima kasih, Bu Bidan," ucapku.

Brama senang sekali mrlihat adik perempuannya. Sejak diizinkan masuk keruang persalinan ia tak mau beranjak dari samping adiknya. Wajah adiknya ia amati satu-persatu. Sesekali Brama bilang adiknya mirip Mas Satya beberapa menir berikutnya bilang mirip denganku.

Terlatih hidup dengan segala kesulitan yang beberapa waktu ini kami alami, Brama tumbuh menjadi lebih bijaksana dibanding umurnya yang baru saja berusia tujuh tahun.

"Nunggu ayah lama, Dek! Kak Brama saja yang azani, kakak sudah pintar bisa azan dan ikomah," ujarnya.

Perawat yang sedang mengganti pernel adiknya tersenyum. Brama diajak mendekat dan diarahkan bisa meng-azani adik mungilnya.

Aku terharu dan bangga sekali sampai tak bisa menahan tangis. Sekecil itu rasa tanggung jawab Brama terhadap Ibu dan adiknya sudah sangat terlihat.

Mencoba menghubungi Mas Satya lagi, tetap tidak bisa. Kemudian aku mengabari mertua dan kedua orangtuaku di kampung. Mereka semua sangat gembira dan me gucap syukur atas kelahiran cucunya.

"Bu ... Brama lapar," bisik Brama tepat di telingaku.

"Ah iya, Sayang. Ibu belum dapat makan dari suster. Tadi ibu bawa roti, ada di tas. Mau roti?" tawarku.

Brama mengangguk, anak tampanku memakan dua buah roti dwngan lahapnya setelah itu dia baru tertidur pulas di sofa tepat di sebrang tempat tidurku.

Aku menatap Brama yang tidur begitu pulas lalu menatap bayi yang ada dalam dekapanku. Sedih rasanya, sakit yang teramat untukku .... Hanya bertiga dengan anak-anak, di rantau tak punya saudara, orangtua jauh di kampung, suami sudah tak peduli.

Dalam hati aku berdoa, semoga kuat menjalani semuanya. Mudah-mudahan kelak kesakitan yang aku alami bersama anak-anak hari ini berubah menjadi kebahagiaan yang tak terhingga.

Penderitaan ini cukup saja aku yang alami jangan anak-anak. Masa depan mereka masih panjang, masa kecil mereka harus bahagia. Semoga kedua buah hatiku bahagia dan tak kekurangan apapun meski akhirnya mungkin hanya memiliki kasih sayang dariku saja IBUNYA.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status