Share

Pernikahan Kedua Suamiku.

Tiga hari setelah mertuaku pulang ke kampung, Mas Satya benar-benar menikah dengan Rena. Penghulu datang dan menikahkan mereka di kontrakan Rena yang hanya berjarak beberapa kamar kontrakan saja dari tempat tinggalku.

Perasaanku? Jangan ditanya, sakitnya Masya Allah tapi aku tetap hadir dan menyaksikan akad antara Mas Satya dan Rena. Sementara anak-anak dititipkan pada Mbak Ivi, aku tidak mau jika Brama ataupun Cantika menyaksikan pernikahan ayah mereka dengan wanita lain.

Sebelum akad dimulai Mas Satya beberapa kali melihatku. Pertama kali tergambar jelas ekspresi kaget di wajahnya. Mungkin dia tidak menyangka jika aku akan menghadiri pernikahan sekaligus pengkhian*tan yang Mas Satya lakukan padaku.

"Sah? Sah?" tanya penghulu.

"Saaaah!" seru para saksi.

Aku segera keluar meninggalkan kontrakan Rena seraya mengucap "Bismillah". Mulai hari ini, aku akan memulai kehidupan baruku. Mejadi Gina yang kuat, single Mom yang akan membesarkan kedua buah hatiku menjadi anak-anak yang sukses dan hebat.

Mereka menikah siri, tanpa rasa bersalah atau minimal malu dengan lingkungan sekitar. Sebaliknya Rena terlihat bangga menjadi istri siri Mas Satya. Kupingnya seolah tuli dan biasa saja dengan gunjing*n para tetangga.

"Mbak Gina, yang sabar ya," ucap salah seorang tetangga. 

Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum dibalik hancurnya palung hatiku yang paling dalam. Banyak yang berempati tapi ya sudahlah, ini semua bagian takdir Allah yang harus tetap kulalui.

Bersyukur disaat aku begitu down, anak-anak sangat anteng. Mereka tidak rewel dan juga tidak menanyakan ayahnya. Semoga mereka cepat terbiasa hidup hanya bertiga denganku.

"Kamu wanita tegar, Mbak. Perempuan lain mana ada yang mau menghadiri pernikahan ke-dua suaminya," puji Mbak Ivi.

"Aku tidak sekuat itu, Mbak Ivi. Semuanya aku lakukan demi anak-anak," elakku.

"Mbak Gina ingat nggak waktu hamil cantika aku pernah mau cerita tentang Mas Satya dan Rena?"

"Iya, aku menolak karena takut kepikiran, stres dan mengganggu kehamilan," jawabku.

"Sebenarnya malam itu ada supervisor di pabrik yang berulang tahun, Mas Satya dan Rena mabuk parah jadi pulang dibonceng Mas Galih bertiga. Motor Mas Satya dititip di kafe, bahaya juga kalau sedang mab*k bawa motor," terang Mbak Ivi.

"Pantas saja malam itu aku sudah melihat motor Mas Galih terparkir di depan kontrakannya sementara motor Mas Satya tidak ada di sekitar kontrakan," batinku.

"Mas Galih mengira jika Mas Satya sudah pulang ke rumah, Mbak. Maaf ... gara-gara itu juga Mas Galih jadi merasa bersalah sama Mbak Gina," jelas Mbak Ivi.

"Mbak Ivi dan Mas Galih gak usah merasa bersalah, semuanya sudah takdir. Aku tidak menyalahkan siapapun, ini sudah jalan-Nya. Sekarang aku hanya berharap, aku dan anak-anak kuat agar bisa menjalani kehidupan yang lebih baik kedepannya," jawabku.

"Di pabrik juga Rena tidak sungkan menunjukan perasaannya pada Mas Satya. Orang yang gak tahu mengira mereka sudah suami istri. Sebagai teman Mas Galih juga sudah mengingatkan Mas Satya agar tidak bermain api tapi Mas Satya tidak terima dan malah menjauhi Mas Galih," papar Mbak Ivi.

"Saat syet*n sedang menguasai seseorang tidak mudah untuk kita mengingatkan. Kita pasti salah dimata mereka karena mereka sudah tidak menggunakan akal sehat lagi. Makasih, Mbak Ivi sudah mau dititipin anak-anak. Maaf merepotkan," pungkasku.

"Sama-sama, Mbak Gina. Jangan sungkan selama bisa bantu aku sama Mas Galih pasti bantu Mbak. Sebagai sesama orang rantau aku sangat merasakan bagaimana berada jauh dari keluarga."

Apa yang Mbak Ivi ceritakan sedikit banyak membuat aku merenung. Namun, semuanya tetap saja percuma karena tidak akan mengembalikan keutuhan rumahtanggaku yang sudah di ujung tanduk. 

Alhamdulillah, masih ada Mbak Ivi dan Mas Galih yang begitu baik dan mau menganggap aku dan anak-anak seperti keluarganya sendiri. Rasa sedihku sedikit terobati, aku tak sendiri, Allah masih mengirim orang-orang terbaik untuk menjadi malaikat penolongku.

*****

Setiap hari aku menguatkan hati, berusaha tegar menyaksikan suamiku bersama istri mudanya yang hanya berjarak beberapa kamar dari kamar kontrakanku. Meskipun sudah tak nyaman aku kasih mengizinkan Mas Satya datang kekontrakan mengajak Brama dan cantika bermain. 

Baik secara agama ataupun secara hukum aku dan Mas Satya memang belum bercerai, tak ada masalah jika kapanpun dia mau menemuiku dan anak-anak. Namun, tetap saja rasa tidak nyaman itu secara alamiah aku rasakan karena kini Mas Satya bukan hanya suamiku tapi suami Rena juga.

Anak sekecil Brama dan Cantika memang belum faham dengan apa yang terjadi antara aku dan Mas Satya. Aku tidak ingin merusak kebahagiaan mereka, berdosa juga jika aku melarang seorang ayah ingin bertemu anak-anaknya. Selama Mas Satya bersedia membahagiakan kedua buah hati kami aku tidak akan melarang mereka bertemu.

Aku sudah tidak mengharap lagi nafkah materi ataupun nafkan batin dari Mas Satya. Dengan modal seadanya aku kembali berjualan camilan homemade yang kujual via aplikasi seperti yang kulakukan saat mengandung Cantika.

Biarpun dengan untung yang tak seberapa yang penting aku punya penghasilan. Hasilnya sebagian untuk makan dan sebagian ditabung untuk bayar kontrakan. Jika Mas Satya memberi uang aku akan simpan untuk anak-anak dan jika tidak aku tidak akan meminta padanya.

Selain dijual online camilan jualanku juga dititip ke Mas Galih dan Mas Ammar. Beberapa orang tetangga juga suka dan berlangganan camilan jualanku. Pentol pedas, ceker lumer dan cireng isi ayam pedas adalah yang paling laris manis.

Saat anak-anak tidur pulas aku membuat stok camilan untuk jualan. Jika pesanan banyak aku jadi tidak keteteran, tinggal mengolah sebentar karena bahan-bahan stok sudah siap dan aku tinggal memberi bumbu hanya beberapa menit saja.

Setiap malam, setiap sujudku, aku berdoa agar bisa sukses dan terlepas dari keterpurukan ini . Semoga nanti bisa punya modal untuk berjualan barang-barang lain yang stoknya awet dan tidak basi. Jujur saja konsekuensi berjualan makanan jika tidak laku ya stok dimakan dan harus cari modal lagi, bukan tidak bersyukur tapi bagiku saat ini mencari modal cukup sulit.

Berbeda jika kita berjualan barang, kita tidak akan khawatir saat barang tidak terjual. Pertama barang tidak akan basi, kedua selama barang masih ada kita tidak perlu memikirkan modal lagi. Barang tidak terjual biasanya bisa ditukar barang lain pada distributor barang sesuai perjanjian awal.

Aku percaya Allah memberiku cobaan seindah ini karena aku mampu melewati semuanya. Aku juga yakin jika Allah akan memberi jalan kemudahan untukku bangkit dari keterpurukan. 

Pintu kebahagiaan sudah Allah siapkan untukku dan anak-anak. Saat aku dan anak-anakku bisa berbahagia, tertawa bersama melewati hari-hari yang indah. Terlepas dari segala penderitaan dan bisa melupakan masa-masa sulit yang pernah kita lalui.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status