Share

Rumah Sakit

Aku terbangun sudah berada di Rumah Sakit dengan jarum infus terpasang di salah satu tangan. Saat mengedarkan pandangan tak ada siapapun di sini, bahkan Mas Satya yang biasanya selalu ada di sampingku tidak ada.

Air mataku luruh saat mengingat kejadian malam kemarin, kenapa Mas Satya berada di kontrakan Rena? Aku menggeleng sendiri, ngeri, dan tak mau membayangkan apa yang sebenarnya terjadi malam itu.

"Mbak, sudah sadar?" tanya Rena.

Aku kaget sekali, "kenapa juga anak ini harus di sini?" gumamku.

Aku membuang muka ke arah tembok, malas sekali rasanya jika harus melihat wajah Rena.

"Mas Satya kerja pagi, Mbak. Kebetulan Rena masuk malam jadi bisa menjaga Mbak di sini," terang Rena.

Ya Allah tega sekali Mas Satya pergi bekerja padahal kondisiku seperti sekarang. Aku semakin tidak tenang memikirkan Brama, dengan siapa anakku di rumah jika Mas Satya bekerja?

"Suster! Apa aku bisa pulang sore ini?" tanyaku pada seorang perawat yang datang mengganti infusan.

"Belum, Bu. Kondisi Ibu lemah, harus bed rest beberapa hari," jawab Suster.

"Aku tidak tenang, anak sulungku di rumah tidak ada yang jaga," jelasku.

"Mbak jangan khawatir Brama dititipkan pada istri Mas Galih," potong Rena.

Aku sama sekali tidak menghiraukan kata-kata Rena. Meliriknyapun malas, jika sanggup malah aku ingin mengusirnya saja dari ruangan perawatan.

"Suster bisa bantu menyuapiku? Sebentar, hanya beberapa suap ... yang penting perutku tidak kosong," pintaku pada Suster.

"Aku saja, Mbak!" tawar Rena.

"Enggak Suster, aku mau Suster yang suapi!" tolakku.

Suster yang berada di ruangan terlihat bingung tapi aku tetap menahannya agar Suster bisa menyuapiku. Alhamdulillah Susternya mau, sampai setengah bubur di mangkuk habis ku makan.

Terlihat ekspresi kesal di wajah Rena, tapi aku tak pedululi dan memilih berzikir dan tidur menyamping agar bisa membelakangi Rena.

"Mbak ... mbak jangan salah faham, malam kemarin Mas Satya hanya membantuku memasang kompor dan tabung gas. Kebetulan sudah gajian jadi aku beli kompor baru," jelas Rena.

"Apakah tidak ada hari esok? Lagi pula kenapa pasang regulator dan gas sampai 3 jam lebih? Kalian juga tidak mengabariku, handphone kalian tidak aktif. Coba kamu pikir apa yang dua orang berlawanan jenis bukan muhrim lakukan di dalam satu ruangan? pintu dan gordeng bahkan tertutup rapat, apa salah jika aku berpikir telah terjadi sesuatu antara kalian?" omelku.

Rena tidak menjawab dia hanya menunduk, sampai Mas Satya datang ke ruangan membawa Brama. Datangnya Brama membuat emosiku sedikit terkendali. Aku memeluk Brama, kasihan dia ... aku sudah semalam di Rumah Sakit, bagaimana makannya, tidurnya? Itu yang mengganggu pikiranku sedari tersadar pagi tadi.

"Ibu ... ayo pulang! Brama gak betah nginep di rumah Om galih. Masa Brama bobo sama Reva dan Tante Ivi? Brama kan cowok, Bu," keluh Brama.

Sejak tiba di ruangan pelukanya begitu erat, Brama bermanja sambil berbaring di sampingku. Brama memang anak yang pintar, jangan sampai dia berubah seperti ayahnya. Sikap baik Mas Satya jungkir balik 360° setelah kehadiran Rena antara kita.

Gemas sekali aku mendengar penuturan polos Brama, padahal Mas Satya kerja pagi kenapa malam Brama di titipkan pada Mbak Ivi? Apa Mas Satya tidur di kontrakan Rena? Aku jadi berpikir kearah sana, ya Allah ... semoga semua hanya dugaanku saja.

"Kamu sudah sehat, Sayang?" Mas Satya mencium keningku sambil mengusap lembut pucuk kepalaku. Aku segera menepis tangan kekar itu, jijik rasanya jika mengingat kejadian malam kemarin.

"Jangan banyak pikiran, kata Dokter kamu jangan setres, harus banyak istirahat."

"Apa peduli, Mas? Tolong suruh Rena keluar! Aku sangat tidak nyaman di jaga olehnya," pintaku.

Tanpa basa-basi Rena seolah mengerti, sebelum Mas Satya menyuruhnya keluar gadis itu segera meninggalkan ruangan.

"Sudah makan, Sayang?" tanyaku.

Brama tidak menjawab, anak itu malah melirik ke arah Mas Satya. 

"Apa anakku belum makan?" gumamku.

Sepertinya benar Brama belum makan sebab saat aku menyuruh Brama menghabiskan lauk dan buah jatah makanku Brama begitu lahap. Setelah makan Mas Satya memberikan handphone-nya pada Brama, ia sengaja mengalihkan fokus Brama ke handphone agar bisa mengobrol denganku.

"Jaga kesehatan demi calon buah hati kita, kalau kamu sakit kasihan bayi kita di dalam," bisik Mas Satya sambil mengelus perutku yang semakin membesar.

"Sedang apa Mas di kontrakan Rena?" tanyaku, ketus.

"Sudahlah jangan bahas ini, kamu harus jaga kondisi," tolaknya.

"Bagaimana aku bisa tenang, Mas? Sebagai istri aku khawatir saat suami telat pulang dan tak ada kabar. Handphone tidak aktif, teman satu pabrik sudah pada pulang tapi kamu belum. Kamu kemana? Ngapain kamu di kontrakan Rena? Motor entah disimpan di mana, pintu dan gordeng di tutup rapat. Kalian ngapain?" cerocosku, emosi. 

Aku tak bisa lagi menahan emosi yang sedari kemarin malam ingin aku luapkan. Sayang sekali semalam aku harus tak sadarkan diri. Beberapa kali Mas Satya menempatkan telunjuk tepat di bibirnya, memberi isyarat agar aku diam dan mengecilkan volume suaraku.

"Dengar, Sayang ... aku hanya membantu Rena memasang kompor dan tabung gas yang baru ia beli," jelas Mas Satya.

"Aku bukan anak kecil yang bisa kaluan bohongi, Mas. Secara logika memasang kompor dan tabung gas tidak akan menghabiskan waktu 3 jam. Mas biasanya pulang kerja jam 11, kemarin malam jam 2 pagi Mas belum pulang," kilahku.

"Regulatornya kendor, pas di pasang ke tabung gas gak klop. Kalau gak pas nanti takutnya bocor kalau kompor menyala dan dipakai memasak."

Mas Satya masih saja membela dirinya padahal aku sudah malas mendengar ocehannya.

"Apa tidak ada hari esok? Memangnya harus dipasang malam itu juga? Ingat kalian bukan muhrim, kenapa juga itu pintu dan gordeng tertutup rapat? Coba Mas pikir, apa yang dipikirkan orang jika kalian berduaan di kontrakan malam-malam?" cerocosku, lagi.

Enak saja, dia pikir aku akan diam saja. Aku tidak akan takut bahkan jika kejadian terburuk sekalipun. Sumpah ... aku paling benci sebuah pengkhiantan dan tidak akan percaya lagi pada orang yang sudah pernah berkhianat kepadaku, termasuk Mas Satya.

Perset*n dengan cinta yang dulu pernah kita miliki. Apa artinya jika dia sudah menodai semuanya. Aku tidak takut meskipun seandainya Mas Satya memilih Rena.

Emosi sepertinya memang sudah terlalu menguasaiku, hingga aku sudah tidak bisa berpikir jernih. Setelah aku mengomel dan menumpahkan seluruh amarahku aku kembali tak sadarkan diri. 

Tengah malam aku kembali tersadar, mencari keberadan Brama tapi ia tidak ada. Sepertinya Brama diantar pulang, lagi pula anak usia di bawah 9 tahun yang sehat tidak diizinkan untuk menginap di Rumah Sakit.

Mas Satya tidur pulas di kursi yang berada tepat di samping ranjang. Tenggorokanku terasa kering tapi aku malas jika harus meminta bantuan Mas Satya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status