“Anak? Kamu punya anak?”
Bagaskara – ayahanda Naura nampak terkejut dengan apa yang disampaikan oleh putrinya. Pria yang rambutnya sudah hampir putih seluruhnya itu geleng-geleng kepala. Ia menolak apa yang baru saja diucapkan oleh Naura, sedangkan suami putrinya yang bernama Adam hanya bisa duduk dan terdiam.
Naura mengatakan yang sejujurnya pada Adam, dan pria itu tak menujukkan rasa kecewa sama sekali. Hal ini bukan tanpa alasan, karena Adam sangat mencintai Naura, istrinya itu bahkan menangis semalaman karena vonis dari dokter kandungan. Belum lagi Naura juga meratap dan berulang kali menyesali perbuataannya karena sudah membuang anaknya sendiri.
“Apa kamu sudah gila?” Bagaskara berdiri, tajam matanya menatap sang putri yang terus saja menunduk.
“Pa, jangan salahkan Naura. Semuanya sudah terjadi di masa lalu, Papa harus sadar niatan Naura baik. Dia ingin anak itu kembali untuk meneruskan garis keturunan keluarga.” Adam membela, tapi bentakanlah yang dia dapat dari sang mertua.
“Apa kamu secinta itu pada anakku? Aku yang papa kandungnya saja merasa sakit hati dan syok mendengar hal ini, tapi kamu malah tenang seolah hal ini biasa saja, apa kamu menikahinya karena hanya mengincar hartaku?” tuduh Bagaskara.
“Papa!” Naura mengangkat kepala, dia melotot karena tidak suka suaminya dibentak seperti itu.
“Kapan itu terjadi? ha? Ah … pasti saat kamu masih diasuh oleh mamamu itu, kamu benar-benar seperti dia,” hina Bagaskara.
Naura tak bisa berkata apa-apa, kisah hidupnya memang sangat rumit. Hingga sampai akhir pun dia harus tetap mengalami nasib buruk seperti saat ini.
_
_
_
_
“Kamu pergi sama Bik Mun saja ya Maha, nanti Papa titipkan kamu ke Om Rain dan tante Embun. Papa ada urusan penting hari Rabu. Lagi pula aneh sekolahmu mengadakan study wisata di hari kerja.”
Gama mencari baju ganti di lemari sambil menjawab permintaan sang putra. Ia memang sudah tahu soal rencana kegiatan di sekolah Maha. Namun, Gama pikir akan diadakan di hari libur. Ia sudah punya jadwal dan tidak bisa dibatalkan begitu saja.
Maha terdiam, bocah yang sedang duduk di tepian ranjang itu hanya bisa menatap papanya yang kini memutar tumit sambil mengancingkan kemeja. Gurat kesedihan Maha tunjukkan agar Gama merasa iba, terlebih semalam papanya itu memberitahunya bahwa Sabrina hanya asisten, bukan teman apa lagi wanita yang bisa Maha minta menjadi ibunya. Maha paham, terlebih dia sadar apa yang dilakukannya di ruang kepala sekolah tempo hari hanya untuk menyembunyikan gengsinya dari Kenzo belaka.
Maha melompat dari atas ranjang, pundaknya turun dan dia berjalan sambil menunduk keluar dari kamar Gama. Bocah itu membuat sang papa membuang napas panjang lewat mulut. Pemandangan yang biasa, ibarat kata sudah menjadi santapan sehari-hari untuk Gama, tapi ekspresi kekecewaan dari bocah yang baru berumur lima tahun itu, jelas bisa membuat ngilu hati siapa saja yang baru pertama melihatnya.
Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Maha memilih diam dan terus menatap keluar jendela. Ia seolah sibuk menghitung banyaknya pohon yang berada di sisi jalan. Gama sendiri sesekali melirik ke arah bocah itu. Ia hendak mengusap pucuk kepala Maha tapi anak itu menghindar, persis seperti emak-emak yang sedang marah pada suami mereka.
Maha turun dari mobil, bocah itu berpamitan tapi tak mau menjabat dan mencium tangan papanya seperti biasa. Gama bahkan harus sampai membuka kaca jendela, memanggil nama putranya bahkan menawarkan untuk menjemputnya pulang sekolah nanti. Namun, bukan jawaban yang diberikan oleh Maha, tapi hanya lirikan tajam mematikan yang menusuk sampai jantung Gama.
“Ah … anak itu, mirip siapa sih dia,” gerutu Gama. Ia pun memilih untuk pergi dan memikirkan cara mengatasi kemarahan sang putra.
_
_
“Bisa tidak kamu batalkan jadwalku hari Rabu nanti? Aku harus menemani Maha pergi.”
Sabrina bingung dengan ucapan sang atasan, dia sedikit susah membedakan kalimat itu perintah atau permintaan. Sabrina diam sejenak, sebelum bertanya ke Gama , “Bapak ingin saya bagaimana? Kalau harus dibatalkan saya akan batalkan, tapi kalau pertanyaan Bapak tadi meminta pertimbangan, maka saya bisa bilang pemotretan hari Rabu itu sangat penting karena si fotografer tidak memiliki jadwal lain sampai tiga bulan ke depan.”
Gama membuang napas dan menyandarkan punggungnya dengan kasar ke kursi. Ia bergumam dan membuat Sabrina melebarkan bola mata.
“Sepertinya aku harus berhenti menjadi model, aku tidak bisa menjalani dua pekerjaan seperti ini.”
“Lalu saya bagaimana Pak?” semprot Sabrina. Ia memasang ekspresi terkejut, suaranya bahkan membuat Gama sampai mengerjab karena kaget.
“Kalau Anda berhenti jadi model saya lalu harus jadi asisten siapa? semua model di agensi ini sudah punya asisten sendiri, apa saya harus jadi pengangguran lagi? Bapak jangan gegabah membuat keputusan donk Pak, ingat! pikirkan rakyat kecil seperti saya yang butuh sesuap nasi. Kalau Bapak berhenti jadi model, saya juga bisa kehilangan pekerjaan.”
Dari pada marah-marah, ucapan Sabrina tadi malah terdengar seperti curahan hati di telinga Gama. Pria yang gampang merasa tak enak hati itu berniat menolak perkataan sang asisten. Namun, sayangnya Sabrina lebih dulu buka suara kembali.
“Seharusnya sejak awal Anda pikirkan, Anda sudah memiliki anak jadi usahakan semua itu dikomunikasikan ke istri Anda.”
“Aku tidak punya istri,” jawab Gama cepat.
“Ya cari donk!” Sabrina melotot dan langsung mengatupkan bibir. Dia yang sudah susah payah menahan sifat aslinya menyesal karena keceplosan seperti ini.
“Ah … maaf Pak, maaf saya tidak sopan.” Sabirna membungkuk beberapa kali, dia merutuki dirinya sendiri yang terkadang sangat mudah kehilangan kendali.
“Tolong batalkan pemotretan itu untukku, aku harus menemani Maha. Aku tidak bisa melihat anak itu sedih dan … “ Gama menjeda kata, dia tatap wajah Sabrina yang dengan jelas menelan saliva.
“Pak, jangan bilang Anda akan berhenti menjadi model, saya sudah tidak bisa mundur lagi, malu sama tetangga kalau tidak jadi beli Alpansa,” gumam Sabrina di dalam hati.
“Bisakah kamu ikut?” tanya Gama meski dengan suara lirih.
“I-i-ikut? Kenapa saya harus ikut?”
Sabrina melongo. Dia sudah gede rasa, berpikir bahwa Gama ingin menjadikannya ibunda Maha seperti yang diharapkan oleh anak itu. Semalaman dia berpikir, alangkah indahnya bisa menikahi pria seperti Gama, sudah tampan kaya raya. Perbaikan keturunan yang sangat diimpikan nenek moyangnya.
“Kamu ‘kan asistenku, kalau kamu ikut, kamu bisa membantuku membawakan beberapa perlengkapan Maha. Aku tidak pernah pergi berdua dengannya ke tempat seperti itu, biasanya bersama Bik Mun.”
“Lalu kenapa tidak Anda ajak saja Bik Mun, kenapa harus saya Pak?” Sabrina membantah, dia bingung dengan jalan pikiran atasannya, tapi sial baginya Gama malah tersenyum manis membuat Sabrina lagi-lagi tak bisa mengelakkan pesona pria itu.
“Apa sih maksudnya?” bisik Sabrina di dalam hati.
“Kenapa kakak memakai baju seperti ini?”Sabrina yang hari itu datang ke kebun binatang mendapat keluhan dari putra atasannya. Gadis berumur dua puluh empat tahun itu tidak menyangka bahwa meski masih kecil, tapi sebagai anak seorang model, selera fashion Maha sangat tinggi, bahkan jauh di atasnya. Anak itu baru berkomentar bahwa dandanannya lebih mirip pekerja kantoran ketimbang ingin jalan-jalan.Sabrina mencebikkan bibir, dia berharap Gama yang sedang berada di kamar mandi segera datang untuk menyelamatkannya dari Maha yang menurutnya sedikit menyebalkan. Entah kenapa tiba-tiba saja bocah itu tidak seramah beberapa hari yang lalu saat memeluknya dan memanggilnya Mama. Pasti ada sesuatu, Sabrina curiga Gama mengatakan sesuatu yang tidak baik tentangnya.“Harusnya kakak memakai kaos seperti aku dan yang lain.”Karena ucapan Maha, Sabrina pun melihat sekeliling. Matanya tertuju pada orang-orang yang memakai baju berwarna merah muda bertuliskan study wisata dengan logo sekolah internas
Entah berapa kali Sabrina harus mondar-mandir pagi itu. Sebagai asisten Gama dia harus ikut serangkaian pemotretan yang dilakukan bosnya. Ia benar-benar sibuk, bahkan karena berangkat pagi untuk mengejar angkutan yang datang pertama, gadis itu melupakan sarapannya. Sabrina sudah sedikit merasa pusing, tapi dia memilih menenggak air mineral sebanyak-banyaknya. Padahal dia bisa saja meminta izin sebentar keluar mencari roti atau sekadar camilan pengganjal perut di minimarket yang tak jauh dari studio. Namun, pikiran gadis itu memang tidak dia bisa ditebak. Ia memilih duduk lesehan di bagian paling belakang studio sambil melihat bosnya melakukan pemotretan bersama empat model lainnya.Sabrina tersenyum sendiri karena malu. Sepertinya benar kalau melihat orang tampan bisa membuat kenyang. Ia sejenak melupakan perutnya yang keroncongan karena belum sarapan.Sementara itu, Gama nampak sedikit tidak fokus. Beberapa kali fotografer harus mengulangi pengambilan gambar karena pose dan ekspresi
Sabtu pagi, hari di mana Bianca harus dibuat pusing dengan kelakuan kakak iparnya. Felisya mengajaknya untuk datang ke rumah Sabrina. Felisya dengan mudah bisa mendapat alamat gadis itu, tentu saja dibantu oleh orang dalam di agensi tempat Gama bekerja. Bianca mencebik kesal, dia seharusnya bisa tidur dengan nyaman atau sekadar menghabiskan waktu bermesraan dengan suaminya - Skala. Meski tidak bisa dibilang masih muda tapi untuk urusan asmara Bianca masih semangat empat lima, tak kalah saing dengan anak dan menantunya.“Awas kalau sampai ketahuan Gama, aku tidak mau ikut menanggung akibatnya,” ucap Bianca saat Felisya memaksanya masuk ke dalam mobil.“Tenang saja, aku hanya ingin melihat bagaimana keseharian gadis itu, ibunya punya bisnis cucian dan aku ingin berpura-pura mencuci mobil di sana,” kata Feliya dengan santai, dia injak pedal gas untuk melajukan mobil, sudah tak sabar rasanya wanita itu mengorek informasi tentang Sabrina.__“Kamu sepertinya sudah gila, Fel!”Hinaan dari
Mendengar ucapan wanita di depannya, Sabrina limbung. Mulutnya mengaga karena tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Ia menoleh Mirna, dan ibunya itu seketika memutar tumit tak mau melihatnya.“A-a-anda.” Sabrina masih terbata-bata.“Hem … aku ibunya Gama, aku ke sini bukan untuk alasan seperti apa yang ada di dalam pikiranmu, aku ke sini karena ingin bertemu dengan sosok gadis yang sangat disukai oleh cucuku Mahameru.”Penjelasan Felisya membuat Sabrina menelan saliva, Jika bisa memutar waktu beberapa menit ke belakang, tentu dia akan lebih bersikap sopan ke wanita anggun ini. Sabrina pun tersenyum bego, dia menggaruk bagian belakang kepala sebelum menyatukan ke dua telapak tangan di depan dada.“Maaf!” ucapnya dengan mimik muka hampir menangis.__“Dia benar-benar mirip Maha, lihat bentuk matanya,” ujar Felisya saat akan mengantar Bianca pulang ke rumah. Wanita itu benar-benar curiga, tapi untuk mengorek informasi lebih dalam dia tidak bisa karena Sabrina sudah berpiki
“Apa kamu benar akan mencarinya ke Indonesia?”Adam melihat Naura mondar-mandir di dalam kamar, pria berwajah blasteran itu sedikit cemas dengan keputusan sang istri.“Aku tidak akan membiarkan harta papa jatuh ke tangan orang lain, sudah cukup bagiku dulu menderita selama dua puluh tiga tahun, karena dia mencariku waktu itu hidupku menjadi berubah dan aku tidak bisa membuatnya membuangku lagi.” Naura yang memang keras kepala tidak akan mempan digurui, keputusannya memiliki kembali anaknya sudah final.“Lalu apa kamu tahu di mana pria itu dan anakmu tinggal?” tanya Adam lagi.“Gama adalah cucu pengusaha terkenal di Indonesia, dia juga seorang model jadi sangat mudah menemukannya.”Adam terdiam meski khawatir dengan apa yang menjadi pilihan istrinya, dia pun tak bisa melakukan apa-apa. Ia malah meminta maaf karena tidak bisa menemani Naura, ada banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan di sana.“Tenang saja! aku akan membereskan semuanya dengan cepat, aku yakin anak itu pasti akan tet
Sabrina tak bisa berkata-kata. Ia memilih melompat dari atas ranjang lalu meminta Maha lekas memakai sepatu untuk segera diantar pulang. Gadis itu menggenggam tangan kecil putra sang atasan keluar, sepanjang jalan menuju halaman sekolah Maha hanya menunduk menekuri lantai.“Maha, apa kamu mau makan es krim?” bujuk Sabrina, menurutnya tidak masalah mengeluarkan uang lima puluh ribu asalkan anak itu bisa kembali senang.“Tidak mau, aku mau pulang saja!” jawab Maha. Dia melepas tangan Sabrina dan berlari kecil menuju mobil, Maha yang kesal menarik gagang pintu mobil dengan kasar, tapi sayangnya gagal karena Sabrina belum menekan kunci yang berada di tangan. Bocah itu memaksa dan akhirnya terjengkang ke belakang.“Astaga sangat mirip dengan papanya,” cicit Sabrina sebelum berjalan cepat dan membantu Maha bangun. Gadis itu terkesiap mendengar isakan kecil dari bibir bocah itu. “Maha kamu nangis?” tanyanya padahal sudah tahu.Bukanya terdiam setelah ditanya seperti itu, Maha malah semakin k
“Dari mana bapak tahu?” Pipi Sabrina memerah menahan malu. Ia tidak menyangka Gama bisa membahas soal mobil yang dia inginkan. Bahkan membuatnya sebagai alasan.“Brosurnya ada di mejamu, kamu memandanginya terus jadi bagaimana bisa aku tidak tahu.”Sabrina kicep, dia mengangguk lalu menyesap minuman soda yang ada di meja. Baik dia dan Gama terdiam beberapa saat, hingga Gama mengurai tangan yang masih bersedap. Ia akhirnya memilih untuk jujur.“Hanya kamu yang bisa membantu, karena kamu satu-satunya orang yang aku nilai tulus.”__Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Sabrina hanya diam sambil memeluk tasnya. Dia bahkan seperti orang linglung setelah Gama menjelaskan padanya. Untuk pertama kali, Gama jujur dengan asal usul Maha ke orang lain dan itu adalah dirinya.Sabrina mendengkus kasar, dia bahkan harus berjalan satu kilometer karena angkutan umum yang ditumpanginya bablas. Ia tidak turun di halte yang seharusnya dia berhenti.Mirna begitu cemas menunggu putrinya itu datang, dia s
“Papa!”Mendengar panggilan anaknya Gama memilih mematikan panggilan Naura. Ia tidak peduli dengan ancaman wanita itu dan memilih bergegas membuka pintu lalu keluar. Gama kaget karena Maha ternyata tidak sendiri, bocah itu bersama Felisya yang menatapnya dengan raut muka heran.“Kenapa dikunci? Kamu ngapain di dalam?” Felisya menyipit curiga, sedangkan Gama bergegas memasukkan ponsel ke kantung celana pendeknya. Dia tak menjawab pertanyaan sang mama dan lebih memilih menggendong Maha lalu berjalan pergi dari sana.“Dasar, punya anak satu kadang kek kulkas dua pintu,” gerutu Felisya. Wanita itu lantas pergi setelah sejenak memandangi punggung putranya sampai masuk ke dalam kamar.Malam itu Gama memang menginap di kediaman orangtuanya, selain untuk membicarakan perihal lamaran dan pernikahan, sudah menjadi kebiasaan dirinya mengajak Maha menginap di tempat Felisya dan Tama. “Apa tante Sabsab benar-benar mau menjadi mamaku?” pertanyaan dari bibir mungil Maha itu membuat Gama yang sedang