Acara liburan di pantai menjadi hari terakhir Adam mendengar Naura bicara dan tersenyum. Setelah itu kondisi sang istri terus saja melemah hingga terbaring koma. Adam seorang diri menjaga Naura, bagaimana tidak? bahkan saat dikabari, Bagaskara acuh kepada kondisi putri kandungnya.“Aku sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi, setidaknya sebelum koma dia bahagia karena Maha mau berinteraksi dengannya, meski anak itu belum mau memanggilnya Mama.”Gama duduk bersisian dengan Adam. Mendengarkan setiap curahan hati pria itu. Gama tahu Adam pasti sangat hancur, baru saja dia menemani pria itu mendengar penjelasan dokter yang bertanggungjawab pada kondisi Naura. Gelang pasien di pergelangan tangan kiri Naura sudah diganti menjadi warna ungu yang artinya harapan hidup pasien sangat kecil. Jika semua alat penunjang kehidupan Naura dilepas, maka wanita itu akan pergi untuk selamanya.“Aku tidak ingin menyetujui saran dokter, jika harus pergi biarlah dia pergi saat jiwanya sudah ikhlas,” lirih
Duka masih menyelimuti hati Gama dan Sabrina, perasaan benci yang berubah menjadi simpati membuat ke duanya merasa sangat kehilangan Naura. Masih tak mereka sangka Naura harus pergi di saat hati Maha mulai terbuka, di saat semua orang bisa menerima kehadirannya dan memaafkan kesalahannya.Gama dan Sabrina menatap Maha yang terlelap tidur di ranjang mereka, belakangan anak itu seolah tahu bahwa wanita yang melahirkannya telah tiada, banyak yang Maha tanyakan salah satunya kenapa Naura pergi, ke mana dan akankah mereka bisa bertemu dengan wanita itu lagi suatu saat nanti.Awalnya Sabrina kebingungan. Menjelaskan secara rinci ke Maha jelas tidak mungkin dia lakukan, hingga sebuah kalimat paling mudah dia ucapkan. Bahwa Naura sakit, tapi kini sudah sembuh dan pergi ke surga bertemu dengan orang yang paling dikasihi.“Kemungkinan keputusan pengadilan akan dipercepat,” bisik Gama, dia peluk Sabrina dari belakang dan mengusap lengan istrinya yang terus menatap Maha.“Itu menjadi kabar baik d
Diwakili oleh pengacaranya, Bagaskara hari itu harus menelan rasa kecewa karena hakim pengadilan memutuskan bahwa hak asuh Maha jatuh ke tangan Gama. Menimbang segala bukti dan dikuatkan dengan surat permohonan Naura, membuat hakim yakin jika anak itu lebih baik berada di bawah pengasuhan Gama. "Maha, bilang terima kasih ke Pak hakim!" perintah Gama ke Maha yang hari itu ikut ke pengadilan bersamanya. Gurat bahagia terpatri jelas di wajah Gama juga Sabrina, akhirnya perjuangan untuk mendapatkan dokumen legal sebagai orangtua Maha sudah ada di tangan mereka. "Terima kasih," ucap Maha sambil memberikan hormat, kepalanya mengangguk kecil dan berhasil membuat hakim tersenyum. Hakim ketua mengusap kepala anak itu lembut, dia tahu Naura sudah meninggal. Agak teriris batinnya membayangkan anak sepolos Maha kehilangan ibu kandung dan bahkan tidak tahu siapa ayah kandungnya. Tak jauh dari tempat Sabrina dan Gama berdiri, Rudi berbincang dengan pengacara Bagaskara. Wajah pengacara itu
Lima bulan kemudianGama bingung dan cemas, sejak tadi dia mondar-mandir kamar inap Sabrina. Istrinya itu sedang kesakitan menahan gelombang cinta dahsyat yang diberikan bayi mereka. Di sela kontraksi yang mendera tubuh, Sabrina dibuat pusing dengan kelakuan Gama.“Duduk lah, apa kamu tidak capek?” tanya Sabrina sambil berusaha mencari posisi yang nyaman, ini sudah delapan belas jam, dan bayi berjenis kelamin laki-laki buah cintanya dan Gama masih sibuk mencari jalan lahir.“Sab, aku panggil dokter ya, kita lakukan operasi saja,” kata Gama. Mungkin sudah yang ke sembilan kali dia mengatakan hal ini, tapi jawaban Sabrina tetap sama.“Tidak mau, aku sudah merasakan sakitnya berjam-jam, aku bisa menahannya lebih lama.”“Jangan berbohong! kamu kesakitan Sab. Lihat apa yang kamu tinggalkan di lenganku!” kata Gama sambil menunjuk bagian tubuhnya itu. Sabrina malah tertawa mengamati bekas lecet yang dia buat, lengan Gama beberapa kali dijadikannya pegangan saat kontraksi terjadi, hingga kuk
Maha masih memeluk Sabrina, anak itu mengusap perut ibunya dengan lembut hingga tiba-tiba saja wanita itu mundur sambil mendorong Maha menjauh. Sabrina merasakan ada air yang merembes deras di antara pahanya.“Ibu!” panggil Sabrina ke Mirna.Wanita itu pun mendekat, dan Maha ditarik mundur oleh Gama. Suasana kamar sedikit kacau, beruntung perawat yang mengantar Maha dan Olla tadi belum terlalu jauh pergi. Embun buru-buru memanggilnya kembali.Sabrina seperti ketakutan, dia berusaha bernapas dengan mulut hingga tanpa sadar mengejan. Sabrina memasukkan tangan ke balik baju pasien yang dikenakan dan manarik pantiesnya ke bawah.“Ibu, kepala bayiku,” pekik Sabrina setelah sadar ada yang keluar dari jalan lahir.“Hah! kepala?”Mirna dan Felisya kalang kabut, mereka berteriak memanggil dokter atau pun perawat. Beruntung Perawat tadi langsung berjongkok di dekat Sabrina. Tanganya mengadah di antara dua kaki Sabrina. Ia memberikan instruksi agar Sabrina mendorong lagi. Sabrina membuka lebar k
~ Happy Reading ~“Maha sudah berapa kali Papa bilang, tante Bening itu istri Om Glass. Tidak boleh bilang begitu lagi ya, Nak!”Pria bernama lengkap Lintang Gutama itu entah sudah berapa kali membujuk putranya yang beberapa minggu lagi berumur lima tahun. Bukan tanpa alasan Gama melakukan ini. Ia hampir saja terlibat adu jotos dengan Glassio, suami dari wanita bernama Bening yang ingin dijadikan ibu oleh Mahameru – putranya.“Mama itu bukan mainan Maha, tidak bisa diminta sembarangan,” imbuhnya.“Semua temanku punya mama, tapi kenapa aku tidak punya? Mereka selalu diantar dan dijemput mama sama papa, bahkan Olla juga dijemput mommy dan daddy-nya, tapi kenapa aku selalu tidak? Aku mau tante Bening, aku mau dia jadi mamaku!”Maha, bocah itu memalingkan badan dan bersedekap dada. Dia demam dan tidak mau sedikitpun makan dan minum. Pembantunya yang biasa mengurus hanya bisa diam melihat pemandangan itu dari dekat pintu kamar.“Maha, Papa tidak tahu dari mana diturunkannya sifat keras kep
“Masih tidak mau turun? Papa sudah terlambat pergi bekerja Maha,” ucap Gama ke putranya yang masih tak mau beranjak dari kursi penumpang.Sebagai seorang pria tak berpengalaman seperti Gama, mengurus anak seorang diri sampai sejauh ini bukanlah perkara mudah. Dia pernah frustrasi dan nyaris menyerah, tapi setiap kali perasaan itu muncul hati kecilnya selalu berkata, bahwa Maha hanya memiliki dirinya. Gama pun tak tega ke bocah yang kini sudah mulai banyak maunya itu.Maha diam bak patung, matanya terus menatap dashboard mobil tanpa mau menoleh ke arah pria yang mengajaknya bicara. Bukan pertama kali ini saja Maha malas-malasan pergi ke sekolah. Setiap kali keinginannya tidak dipenuhi, maka anak itu pasti akan merajuk dan hal ini membuat Gama tidak bisa melakukan apa-apa.“Maha, Tabebe tidak mungkin bisa menjadi ibumu, Nak. Jadi Papa tegaskan sekali lagi, Tabebe tidak akan jadi ibu Mahameru Gutama.Titik.”Mendengar ucapan sang papa Maha merasa sedih, bibirnya yang mengerucut sudah berg
“Sab, Sabrina! Kamu bisa bawa mobil ‘kan?”Gama menyembulkan kepala dari pintu ruangannya, sedangkan Sabrina masih duduk termenung membayangkan harus berkata apa pada mas Dodot tetangganya yang bekerja di sebuah dealer mobil.Beginilah akibatnya jika terlalu gegabah dan tidak membaca kontrak dengan baik. Awalnya Sabrina pikir pekerjaan menjadi asisten Gama sangat mudah, tapi membayangkan harus berurusan dengan putra pria itu membuatnya ketar-ketir.“Sabrina!” panggil Gama untuk yang ketiga kali. Meski dia tahu bahwa asistennya diwajibkan bisa mengendarai mobil, tapi tetap saja Gama ingin memastikan. Jangan sampai SIM yang dijadikan data pendukung Sabrina ternyata hasil nembak.“Sab!”“Iya Pak!” Sabrina akhirnya bangkit dari kursi. Ia bergegas menghampiri Gama yang sedikit heran dengan tingkahnya. “Bagaimana Pak?” tanyanya kemudian.“Sudah saatnya aku pergi ke PG Group, jam tiga nanti kamu tolong jemput putraku Maha dan antar dia ke rumah, di sana sudah ada Bik Mun yang menunggu, sete