Entah berapa kali Sabrina harus mondar-mandir pagi itu. Sebagai asisten Gama dia harus ikut serangkaian pemotretan yang dilakukan bosnya. Ia benar-benar sibuk, bahkan karena berangkat pagi untuk mengejar angkutan yang datang pertama, gadis itu melupakan sarapannya. Sabrina sudah sedikit merasa pusing, tapi dia memilih menenggak air mineral sebanyak-banyaknya. Padahal dia bisa saja meminta izin sebentar keluar mencari roti atau sekadar camilan pengganjal perut di minimarket yang tak jauh dari studio. Namun, pikiran gadis itu memang tidak dia bisa ditebak. Ia memilih duduk lesehan di bagian paling belakang studio sambil melihat bosnya melakukan pemotretan bersama empat model lainnya.Sabrina tersenyum sendiri karena malu. Sepertinya benar kalau melihat orang tampan bisa membuat kenyang. Ia sejenak melupakan perutnya yang keroncongan karena belum sarapan.Sementara itu, Gama nampak sedikit tidak fokus. Beberapa kali fotografer harus mengulangi pengambilan gambar karena pose dan ekspresi
Sabtu pagi, hari di mana Bianca harus dibuat pusing dengan kelakuan kakak iparnya. Felisya mengajaknya untuk datang ke rumah Sabrina. Felisya dengan mudah bisa mendapat alamat gadis itu, tentu saja dibantu oleh orang dalam di agensi tempat Gama bekerja. Bianca mencebik kesal, dia seharusnya bisa tidur dengan nyaman atau sekadar menghabiskan waktu bermesraan dengan suaminya - Skala. Meski tidak bisa dibilang masih muda tapi untuk urusan asmara Bianca masih semangat empat lima, tak kalah saing dengan anak dan menantunya.“Awas kalau sampai ketahuan Gama, aku tidak mau ikut menanggung akibatnya,” ucap Bianca saat Felisya memaksanya masuk ke dalam mobil.“Tenang saja, aku hanya ingin melihat bagaimana keseharian gadis itu, ibunya punya bisnis cucian dan aku ingin berpura-pura mencuci mobil di sana,” kata Feliya dengan santai, dia injak pedal gas untuk melajukan mobil, sudah tak sabar rasanya wanita itu mengorek informasi tentang Sabrina.__“Kamu sepertinya sudah gila, Fel!”Hinaan dari
Mendengar ucapan wanita di depannya, Sabrina limbung. Mulutnya mengaga karena tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Ia menoleh Mirna, dan ibunya itu seketika memutar tumit tak mau melihatnya.“A-a-anda.” Sabrina masih terbata-bata.“Hem … aku ibunya Gama, aku ke sini bukan untuk alasan seperti apa yang ada di dalam pikiranmu, aku ke sini karena ingin bertemu dengan sosok gadis yang sangat disukai oleh cucuku Mahameru.”Penjelasan Felisya membuat Sabrina menelan saliva, Jika bisa memutar waktu beberapa menit ke belakang, tentu dia akan lebih bersikap sopan ke wanita anggun ini. Sabrina pun tersenyum bego, dia menggaruk bagian belakang kepala sebelum menyatukan ke dua telapak tangan di depan dada.“Maaf!” ucapnya dengan mimik muka hampir menangis.__“Dia benar-benar mirip Maha, lihat bentuk matanya,” ujar Felisya saat akan mengantar Bianca pulang ke rumah. Wanita itu benar-benar curiga, tapi untuk mengorek informasi lebih dalam dia tidak bisa karena Sabrina sudah berpiki
“Apa kamu benar akan mencarinya ke Indonesia?”Adam melihat Naura mondar-mandir di dalam kamar, pria berwajah blasteran itu sedikit cemas dengan keputusan sang istri.“Aku tidak akan membiarkan harta papa jatuh ke tangan orang lain, sudah cukup bagiku dulu menderita selama dua puluh tiga tahun, karena dia mencariku waktu itu hidupku menjadi berubah dan aku tidak bisa membuatnya membuangku lagi.” Naura yang memang keras kepala tidak akan mempan digurui, keputusannya memiliki kembali anaknya sudah final.“Lalu apa kamu tahu di mana pria itu dan anakmu tinggal?” tanya Adam lagi.“Gama adalah cucu pengusaha terkenal di Indonesia, dia juga seorang model jadi sangat mudah menemukannya.”Adam terdiam meski khawatir dengan apa yang menjadi pilihan istrinya, dia pun tak bisa melakukan apa-apa. Ia malah meminta maaf karena tidak bisa menemani Naura, ada banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan di sana.“Tenang saja! aku akan membereskan semuanya dengan cepat, aku yakin anak itu pasti akan tet
Sabrina tak bisa berkata-kata. Ia memilih melompat dari atas ranjang lalu meminta Maha lekas memakai sepatu untuk segera diantar pulang. Gadis itu menggenggam tangan kecil putra sang atasan keluar, sepanjang jalan menuju halaman sekolah Maha hanya menunduk menekuri lantai.“Maha, apa kamu mau makan es krim?” bujuk Sabrina, menurutnya tidak masalah mengeluarkan uang lima puluh ribu asalkan anak itu bisa kembali senang.“Tidak mau, aku mau pulang saja!” jawab Maha. Dia melepas tangan Sabrina dan berlari kecil menuju mobil, Maha yang kesal menarik gagang pintu mobil dengan kasar, tapi sayangnya gagal karena Sabrina belum menekan kunci yang berada di tangan. Bocah itu memaksa dan akhirnya terjengkang ke belakang.“Astaga sangat mirip dengan papanya,” cicit Sabrina sebelum berjalan cepat dan membantu Maha bangun. Gadis itu terkesiap mendengar isakan kecil dari bibir bocah itu. “Maha kamu nangis?” tanyanya padahal sudah tahu.Bukanya terdiam setelah ditanya seperti itu, Maha malah semakin k
“Dari mana bapak tahu?” Pipi Sabrina memerah menahan malu. Ia tidak menyangka Gama bisa membahas soal mobil yang dia inginkan. Bahkan membuatnya sebagai alasan.“Brosurnya ada di mejamu, kamu memandanginya terus jadi bagaimana bisa aku tidak tahu.”Sabrina kicep, dia mengangguk lalu menyesap minuman soda yang ada di meja. Baik dia dan Gama terdiam beberapa saat, hingga Gama mengurai tangan yang masih bersedap. Ia akhirnya memilih untuk jujur.“Hanya kamu yang bisa membantu, karena kamu satu-satunya orang yang aku nilai tulus.”__Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Sabrina hanya diam sambil memeluk tasnya. Dia bahkan seperti orang linglung setelah Gama menjelaskan padanya. Untuk pertama kali, Gama jujur dengan asal usul Maha ke orang lain dan itu adalah dirinya.Sabrina mendengkus kasar, dia bahkan harus berjalan satu kilometer karena angkutan umum yang ditumpanginya bablas. Ia tidak turun di halte yang seharusnya dia berhenti.Mirna begitu cemas menunggu putrinya itu datang, dia s
“Papa!”Mendengar panggilan anaknya Gama memilih mematikan panggilan Naura. Ia tidak peduli dengan ancaman wanita itu dan memilih bergegas membuka pintu lalu keluar. Gama kaget karena Maha ternyata tidak sendiri, bocah itu bersama Felisya yang menatapnya dengan raut muka heran.“Kenapa dikunci? Kamu ngapain di dalam?” Felisya menyipit curiga, sedangkan Gama bergegas memasukkan ponsel ke kantung celana pendeknya. Dia tak menjawab pertanyaan sang mama dan lebih memilih menggendong Maha lalu berjalan pergi dari sana.“Dasar, punya anak satu kadang kek kulkas dua pintu,” gerutu Felisya. Wanita itu lantas pergi setelah sejenak memandangi punggung putranya sampai masuk ke dalam kamar.Malam itu Gama memang menginap di kediaman orangtuanya, selain untuk membicarakan perihal lamaran dan pernikahan, sudah menjadi kebiasaan dirinya mengajak Maha menginap di tempat Felisya dan Tama. “Apa tante Sabsab benar-benar mau menjadi mamaku?” pertanyaan dari bibir mungil Maha itu membuat Gama yang sedang
“Kamu sudah datang ke butik ‘kan?”Acara lamaran besok dan Sabrina malah menggeleng menjawab pertanyaan Gama, terang saja pria itu melipat kening. Ia heran kenapa Sabrina bersikap seperti ini, Gama dengan rasa kesal berucap-“Sudahlah Sab, kalau kamu memang tidak ingin membantu. Lupakan saja! aku tidak bisa memaksa orang untuk bersikap baik dan menuruti kemauanku, aku akan bilang ke keluargaku bahwa acara besok batal!” Tepat setelah berkata seperti itu Gama meninggalkan Sabrina masuk ke ruangannya, sedangkan gadis itu terdiam membeku sambil memainkan kunci mobil Gama yang ada di tangan, seperti biasa setelah mengantar pria itu waktunya dia menjemput Maha ke sekolah.Sabrina memutar tumit pergi menjauh, bahkan dia tidak peduli dengan tatapan Leo yang berpapasan dengannya di lift, sebenarnya Sabrina masih bingung dengan apa yang akan dia lakukan, tidak ada hitam di atas putih antara dirinya dan Gama, terang saja sebagai seorang individu dewasa dia merasa tak aman.“Apa dia marah karena