Mendengar ucapan wanita di depannya, Sabrina limbung. Mulutnya mengaga karena tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Ia menoleh Mirna, dan ibunya itu seketika memutar tumit tak mau melihatnya.“A-a-anda.” Sabrina masih terbata-bata.“Hem … aku ibunya Gama, aku ke sini bukan untuk alasan seperti apa yang ada di dalam pikiranmu, aku ke sini karena ingin bertemu dengan sosok gadis yang sangat disukai oleh cucuku Mahameru.”Penjelasan Felisya membuat Sabrina menelan saliva, Jika bisa memutar waktu beberapa menit ke belakang, tentu dia akan lebih bersikap sopan ke wanita anggun ini. Sabrina pun tersenyum bego, dia menggaruk bagian belakang kepala sebelum menyatukan ke dua telapak tangan di depan dada.“Maaf!” ucapnya dengan mimik muka hampir menangis.__“Dia benar-benar mirip Maha, lihat bentuk matanya,” ujar Felisya saat akan mengantar Bianca pulang ke rumah. Wanita itu benar-benar curiga, tapi untuk mengorek informasi lebih dalam dia tidak bisa karena Sabrina sudah berpiki
“Apa kamu benar akan mencarinya ke Indonesia?”Adam melihat Naura mondar-mandir di dalam kamar, pria berwajah blasteran itu sedikit cemas dengan keputusan sang istri.“Aku tidak akan membiarkan harta papa jatuh ke tangan orang lain, sudah cukup bagiku dulu menderita selama dua puluh tiga tahun, karena dia mencariku waktu itu hidupku menjadi berubah dan aku tidak bisa membuatnya membuangku lagi.” Naura yang memang keras kepala tidak akan mempan digurui, keputusannya memiliki kembali anaknya sudah final.“Lalu apa kamu tahu di mana pria itu dan anakmu tinggal?” tanya Adam lagi.“Gama adalah cucu pengusaha terkenal di Indonesia, dia juga seorang model jadi sangat mudah menemukannya.”Adam terdiam meski khawatir dengan apa yang menjadi pilihan istrinya, dia pun tak bisa melakukan apa-apa. Ia malah meminta maaf karena tidak bisa menemani Naura, ada banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan di sana.“Tenang saja! aku akan membereskan semuanya dengan cepat, aku yakin anak itu pasti akan tet
Sabrina tak bisa berkata-kata. Ia memilih melompat dari atas ranjang lalu meminta Maha lekas memakai sepatu untuk segera diantar pulang. Gadis itu menggenggam tangan kecil putra sang atasan keluar, sepanjang jalan menuju halaman sekolah Maha hanya menunduk menekuri lantai.“Maha, apa kamu mau makan es krim?” bujuk Sabrina, menurutnya tidak masalah mengeluarkan uang lima puluh ribu asalkan anak itu bisa kembali senang.“Tidak mau, aku mau pulang saja!” jawab Maha. Dia melepas tangan Sabrina dan berlari kecil menuju mobil, Maha yang kesal menarik gagang pintu mobil dengan kasar, tapi sayangnya gagal karena Sabrina belum menekan kunci yang berada di tangan. Bocah itu memaksa dan akhirnya terjengkang ke belakang.“Astaga sangat mirip dengan papanya,” cicit Sabrina sebelum berjalan cepat dan membantu Maha bangun. Gadis itu terkesiap mendengar isakan kecil dari bibir bocah itu. “Maha kamu nangis?” tanyanya padahal sudah tahu.Bukanya terdiam setelah ditanya seperti itu, Maha malah semakin k
“Dari mana bapak tahu?” Pipi Sabrina memerah menahan malu. Ia tidak menyangka Gama bisa membahas soal mobil yang dia inginkan. Bahkan membuatnya sebagai alasan.“Brosurnya ada di mejamu, kamu memandanginya terus jadi bagaimana bisa aku tidak tahu.”Sabrina kicep, dia mengangguk lalu menyesap minuman soda yang ada di meja. Baik dia dan Gama terdiam beberapa saat, hingga Gama mengurai tangan yang masih bersedap. Ia akhirnya memilih untuk jujur.“Hanya kamu yang bisa membantu, karena kamu satu-satunya orang yang aku nilai tulus.”__Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Sabrina hanya diam sambil memeluk tasnya. Dia bahkan seperti orang linglung setelah Gama menjelaskan padanya. Untuk pertama kali, Gama jujur dengan asal usul Maha ke orang lain dan itu adalah dirinya.Sabrina mendengkus kasar, dia bahkan harus berjalan satu kilometer karena angkutan umum yang ditumpanginya bablas. Ia tidak turun di halte yang seharusnya dia berhenti.Mirna begitu cemas menunggu putrinya itu datang, dia s
“Papa!”Mendengar panggilan anaknya Gama memilih mematikan panggilan Naura. Ia tidak peduli dengan ancaman wanita itu dan memilih bergegas membuka pintu lalu keluar. Gama kaget karena Maha ternyata tidak sendiri, bocah itu bersama Felisya yang menatapnya dengan raut muka heran.“Kenapa dikunci? Kamu ngapain di dalam?” Felisya menyipit curiga, sedangkan Gama bergegas memasukkan ponsel ke kantung celana pendeknya. Dia tak menjawab pertanyaan sang mama dan lebih memilih menggendong Maha lalu berjalan pergi dari sana.“Dasar, punya anak satu kadang kek kulkas dua pintu,” gerutu Felisya. Wanita itu lantas pergi setelah sejenak memandangi punggung putranya sampai masuk ke dalam kamar.Malam itu Gama memang menginap di kediaman orangtuanya, selain untuk membicarakan perihal lamaran dan pernikahan, sudah menjadi kebiasaan dirinya mengajak Maha menginap di tempat Felisya dan Tama. “Apa tante Sabsab benar-benar mau menjadi mamaku?” pertanyaan dari bibir mungil Maha itu membuat Gama yang sedang
“Kamu sudah datang ke butik ‘kan?”Acara lamaran besok dan Sabrina malah menggeleng menjawab pertanyaan Gama, terang saja pria itu melipat kening. Ia heran kenapa Sabrina bersikap seperti ini, Gama dengan rasa kesal berucap-“Sudahlah Sab, kalau kamu memang tidak ingin membantu. Lupakan saja! aku tidak bisa memaksa orang untuk bersikap baik dan menuruti kemauanku, aku akan bilang ke keluargaku bahwa acara besok batal!” Tepat setelah berkata seperti itu Gama meninggalkan Sabrina masuk ke ruangannya, sedangkan gadis itu terdiam membeku sambil memainkan kunci mobil Gama yang ada di tangan, seperti biasa setelah mengantar pria itu waktunya dia menjemput Maha ke sekolah.Sabrina memutar tumit pergi menjauh, bahkan dia tidak peduli dengan tatapan Leo yang berpapasan dengannya di lift, sebenarnya Sabrina masih bingung dengan apa yang akan dia lakukan, tidak ada hitam di atas putih antara dirinya dan Gama, terang saja sebagai seorang individu dewasa dia merasa tak aman.“Apa dia marah karena
Terlepas dari gunjingan para tetangga yang tahu bahwa calon suami Sabrina sudah memiliki anak, acara lamaran itu tetap berlangsung. Sabrina lebih banyak diam, dia malu karena tahu keluarga Gama saat ini sedang memerhatikannya. Ia lebih memilih berbicara dengan Maha untuk mengikis kesalahtingkahan. Bocah itu bahkan meminta duduk di sebelahnya sejak acara dimulai.Keluarga Gama tahu bahwa Sabrina sudah tidak memiliki ayah, sehingga Mirna sendiri yang berhadapan dengan Tama saat pria itu mengutarakan niatan Gama untuk melamar Sabrina.Dada Sabrina merasa tergelitik. Alangkah indah begitu pikirnya, jika semua ini nyata adanya. Siapa wanita yang tidak ingin mendapat pendamping yang tampan dan juga kaya raya. Selama menjadi asisten Gama, dia juga tahu kalau pria itu berhati baik. Gama tidak pernah pergi ke klub malam atau berpesta bersama teman-temannya sesama model. Haruskah Sabrina membuat pria itu jatuh hati padanya? Dia menilai dirinya juga tidak terlalu buruk. Mereka sama-sama anak tun
“Hah …. “ Sabrina cengo. Ekspresinya yang kebingungan membuat wajahnya terlihat sangat menggemaskan di mata sang lawan bicara. “Sudah tidak perlu dipikirkan, kalau aku jelaskan nanti bisa panjang seperti sinetron di saluran burung berenang,” ujar Embun diikuti tawa dari Bening dan juga Gama.“Ah … apa ini Tabebe yang sering Maha ceritakan?” Sabrina menoleh Gama, pria itu mengangguk pelan untuk menjawab pertanyaannya.“Sekarang dia tidak akan lagi memintaku menjadi ibunya, dia akan punya ibu sendiri yang sangat baik dan jauh lebih cantik,” puji Bening.Kini sorot mata Sabrina turun ke bagian perut wanita itu, dia yakin Bening pasti sedang hamil. Dengan senyuman lebar dan sedikit berbasa-basi Sabrina bertanya umur kandungan wanita itu. Bening pun menjawab diikuti sebuah doa yang membuat Gama berdehem dan pipi Sabrina merona.“Aku doakan semoga kalian juga segera mendapat adik untuk Maha setelah menikah.”__Acara lamaran itu akhirnya selesai, pihak Gama berpamitan untuk pulang setela