Share

Bab 4 : Wanita Hercules

“Apa asisten Anda baru lagi, Pak?”

Pertanyaan bik Mun dijawab Gama dengan anggukan kepala. Pria yang baru saja pulang dan sedang duduk melepas sepatunya itu mengerutkan kening. Setelahnya Gama balas melempar pertanyaan ke bik Mun sambil meletakkan sepatu ke rak dan berjalan masuk. 

“Bukankah aku sudah memberitahu Bibi? aku sudah mengirim pesan.”

“Kuota saya habis Pak. Belum beli.” Bik Mun tertawa aneh sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.

Mendapati sang majikan bersikap santai seolah tak terjadi apa-apa, Bik Mun pun menceritakan bagaimana kondisi asistennya saat mengantar pulang Maha tadi. Bak pembawa acara gosip, wanita itu menjelaskan penampilan Sabrina yang begitu acak-acakan. Menurut cerita yang dia dapat dari Maha, gadis itu terlibat perkelahian dengan ibu dari teman sang putra yang tiba-tiba saja menarik rambut dan menamparnya. Bik Mun bahkan memperagakan beberapa adegan yang ceritanya dia dapat dari bocah itu.

“Mereka sampai dipisah oleh dua satpam, dua guru dan beberapa orangtua murid lain yang kebetulan menjemput,”ucap Bik Mun dengan sangat menggebu.

“Apa?”

Gama tak percaya. Ia memang tidak bertemu Sabrina lagi setelah gadis itu menjemput Maha. Sabrina memilih menitipkan kunci mobil ke satpam yang berjaga di lobi gedung PG Group, lantas berpamitan via aplikasi berbalas pesan kepadanya. 

“Rambutnya berantakan saya bahkan menawarkan sisir tapi dia tidak mau, cuma itu saja sih Pak, selebihnya dia tidak kenapa-napa kok.”

“Apa?"

Mulut Gama menganga lebar. Tak bisa dia bayangkan bagaimana mungkin Sabrina tidak terluka jika terlibat perkelahian yang lumayan brutal seperti cerita bik Mun barusan. Gama yakin gadis itu pasti mendapatkan memar di beberapa bagian tubuh.

“Enggak Pak, orang mas Maha bilang dia cuma sekali kena tampar setelahnya dia mengunci tangan wanita yang menjambak rambutnya itu, dipelintir, dipanggul kek karung beras lalu hampir dibanting. Untung dicegah banyak orang.”

Bibir Gama kelu, dia sampai menggelengkan kepala agar sadar karena ucapan pembantu sekaligus pengasuh putranya itu sedikit tidak masuk akal.

“Lalu di mana Maha?” tanyanya sambil menaiki anak tangga. Padahal Gama sudah tahu kebiasaan putranya setiap dia pulang kantor pasti sedang menonton kartun di kamar.

“Biasa Pak, sedang nonton Kidi and Pret.”

“Maha!” panggil Gama dengan suara lantang. Ia yakin pasti ada alasan kuat yang mendasari ibu dari teman putranya itu marah, sampai menarik rambut dan berkelahi dengan asisten barunya. 

“Apa yang kamu lakukan sampai mama temanmu memukul asisten Papa?”

Mendengar suara papanya, Maha yang awalnya duduk di atas ranjang menonton langsung berguling dan bersembunyi di dalam selimut. Anak itu memiringkan badan berpura-pura tidak mendengar panggilan dari sang papa.

Gama membuang napas kasar sesaat setelah membuka pintu, begitu juga dengan bik Mun yang melongok dari belakang punggungnya untuk melihat apa yang sedang dilakukan Maha sekarang. Bik Mun memilih berpamitan meninggalkan pasangan ayah dan anak itu. Lagi pula seperti perjanjian, pekerjaannya selesai saat Gama pulang.

“Maha!” panggil Gama lagi. Ia mendekat dan duduk di tepian ranjang di seberang putranya berbaring. Pria itu memukul lembut pantat Maha sambil bertanya lagi. “Apa kamu berkelahi lagi? kenapa bisa? dengan siapa lagi kali ini?”

Maha bergeming. Bocah itu seolah sedang melakukan gerakan tutup mulut yang sukses membuat Gama mengusap muka lalu menyugar rambut.

“Maha, sudah berapa kali Papa bilang bertengkar itu perbuatan jelek. Apa lagi kamu membuat asisten baru Papa dijambak oleh mama temanmu.”

“Dia hanya dijambak sekali,” jawab Maha. 

Bocah itu akhirnya mau membalikkan badan dan menjawab Gama. Ia seolah tidak terima jika papanya menganggap yang terjadi pada Sabrina sangat buruk . 

“Apa maksudmu?” kening Gama sudah berkerut. “Bangun! ceritakan ke Papa,” titahnya.

“Wanita itu, dia dijambak sekali tapi membalas lebih dari dua kali,” celoteh Maha. “Papa, dia kuat. Dia bahkan membuat pak satpam terjengkang.”

“Hah … apa? di-di-dia membuat apa?” Gama terbata-bata, dia bahkan memiringkan kepala menunjukkan telinganya ke arah Maha karena tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh putranya.

“Aku marah ke Kenzo, dia bilang saat acara hari ibu kenapa papa yang datang bukan mama. Lalu saat hari ayah kenapa papa lagi yang datang. Dia mengataiku sungokong yang lahir dari batu karena tidak punya ibu. Aku bahkan tidak tahu apa itu sungokong, apa dia sejenis singkong?” tanya Maha dengan polosnya.

Gama pun bingung harus merespon apa, rasanya antara ingin tertawa atau menangis, hingga dia memilih meraih tubuh Maha dan mendudukkan bocah itu ke pangkuan.

“Lalu kamu apakan Kenzo, hem ...” Gama menyelam jauh ke dua bola mata bening milik Maha, mata polos yang membuatnya tak pernah tega untuk membentak.

“Aku hanya mendorong lalu memukulnya, dia menarik dasiku lalu aku gigit tangannya. Dia menangis tapi aku tidak,” jawab Maha jemawa, seolah siapa yang tidak menangis adalah pemenangnya.

“Maha, kamu tahu ‘kan gara-gara itu mama Kenzo salah sasaran dan marah ke asisten baru Papa? Apa kamu tidak kasihan ke …. “ Gama menjeda kata, dia bingung haruskah memakai kata ‘kak’ atau ‘tante’ untuk menyebut Sabrina.

“Ke … ke wanita Hercules itu?” sambung Maha.

“Hah …. Apa?” Gama cengo, dia bingung dari mana sang putra bisa mendapatkan kata Hercules untuk menyebut Sabrina. 

_

_

Di sisi lain, wanita yang menjadi obyek pembicaraan ayah dan anak itu memilih mengurung diri di kamar setelah sampai di rumah. Sabrina benar-benar takut jika sampai wanita yang hampir dia banting sore tadi melaporkannya dengan tuduhan tindak penganiayaan. Gadis itu meringkuk di bawah selimut meski jam masih menunjukkan pukul enam sore. Beruntung ibunya sedang ada arisan dan dilanjut pengajian rutin bulanan, jika tidak dia pasti sudah habis diwawancara bak artis ternama yang baru saja terlibat skandal perselingkuhan. 

“Beraninya anakmu memukul anakku?”

Teriakan wanita itu terngiang di telinga Sabrina. Bagaimana bisa dirinya yang masih sangat muda dikira ibunda Maha. Apa mukanya begitu boros dan terlihat tua? Sabrina menggeleng lalu menendang selimut sampai teronggok ke lantai. Gadis itu bangun dan bergegas duduk di depan meja riasnya, dia menolehkan muka ke kiri dan kanan untuk memastikan tanda-tanda penuaan di wajah bak iklan produk kecantikan di televisi. 

“Tidak, aku belum keriput. Aku masih dua puluh empat tahun. Sial! wanita itu perlu pakai kacamata kuda sepertinya,” gerutu Sabrina. Ia menepuk kulit pipi secara bergantian bak baru saja memoleskan serum.

Tak berselang lama ponsel Sabrina yang berada di atas nakas pun berbunyi. Dia menoleh berpikir bahwa panggilan itu mungkin saja dari debt collector pinjol yang salah alamat atau penipuan iseng berhadiah miliaran rupiah, tapi karena terus menerus berdering akhirnya Sabrina mendekat untuk melihat siapa yang melakukan panggilan. Gadis itu kaget, matanya membola melihat nama Gama pada layarnya. Sabrina mengerjab bahkan sampai menggosok mata, dia ketakutan berpikir jangan-jangan memang sudah dilaporkan oleh ibu dari teman Maha ke polisi.

Meski ragu perlahan Sabrina menggeser tanda hijau di layar, dia tempelkan benda pipih itu ke telinga dan berujar dengan nada suara yang meresahkan indera pendengaran seorang Lintang Gutama.

“A …. Ah …. pak Gama!”

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Ria Rifantiani
perutku sakit gustiiii... baru bab 4 dah ngakak bnget
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
Kenzo yang salah ya
goodnovel comment avatar
Dewi Setianingrum
Cocok nih Maha sm wanita hercules ,,wkwk siap jadi pelindungmu Maha
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status