Share

Bab 5 - Donor Darah

“Ada di sini.” Teriak Niko lantang dengan tangan kanan terangkat lurus ke atas, sontak semua orang yang ada di sana menengok ke tempatnya berdiri.

Sementara itu Aspen yang berdiri di sisi kanan Niko terlihat pucat, dia paham dengan apa yang dilakukan Niko.

Niko lalu menatapnya saat tangannya sudah kembali turun dan seorang perawat dengan sedikit berlari mendekat ke arah mereka.

“Niko ...” gigi Aspen bergemeretak saat itu juga dia sadar kalau yang dimaksud oleh Niko adalah dirinya sendiri.

“Hey, jangan bilang kau masih takut dengan jarum suntik Aspen Larsen.” Goda Niko menyeringai saat mendapati perubahan wajah Aspen, pucat pasi.

Niko menahan senyum melihat Aspen gugup.

“Permisi, jadi siapa di antara kalian yang akan menjadi pendonornya?” tanya si perawat saat dia sudah berdiri di depan mereka.

Dengan cepat Niko menunjuk ke arah Aspen dengan wajah menunduk, Niko pun membetulkan topinya. Dia tidak ingin orang tahu siapa dia sebenarnya.

“Mn ...” hanya itu yang keluar dari mulut Aspen dengan kedua kakinya yang lemas.

Aspen baru sadar sudah hampir puluhan tahun dia tidak bersentuhan dengan benda yang namanya jarum suntik. Insiden pada saat kelas enam sekolah dasar membuatnya trauma.

Itu mengapa dia selalu menjaga kesehatan karena dia tidak ingin sakit dan menghindari untuk datang ke rumah sakit.

Aspen melotot pada Niko saat itu juga, Niko hanya tersenyum terlihat dari kedua bola matanya.

“Kalau begitu mari ikut dengan saya untuk melakukan pemeriksaan.” Kata si perawat tanpa sedikit pun curiga dengan penampilan Niko yang mengenakan masker dan topi.

“Oh ya, apakah pasien yang membutuhkan darah adalah seorang gadis yang punya luka tembak di punggungnya?” tanya Niko pada si perawat.

“Ah, iya betul. Apa kalian mengenalnya?”

“Kami ... kami ...” Niko agak ragu saat menjawab.

“Kami temannya.” Jawab Aspen dengan cepat.

“Ahm begitu. Kalau begitu silahkan ikuti saya.” Si perawat membawa keduanya berjalan lebih dalam ke ruangan rumah sakit.

Saat di dalam sebuah ruangan Aspen sudah duduk di kursi dengan wajah masih pucat sementara Niko tengah menunggu di luar ruangan dengan gelisah.

“Sebelum kita mulai, silahkan untuk mengisi form ini terlebih dahulu.” Seorang perawat lainnya memberikan selembar kertas kosong pada Aspen.

Dengan cepat juga Aspen mengisi form tersebut setelahnya ia berikan kembali pada si perawat.

“Sudah siap?” tanya si perawat yang pertama kali bertemu dengan Aspen.

Perawat itu paham sekali kalau si pendonor darah di depannya ini memiliki trauma pada jarum suntik.

“Bisa lebih santai. Kami sudah memeriksa semuanya dan kebetulan sekali kamu punya tubuh yang sehat dan bagus. Sungguh beruntung gadis itu dengan cepat mendapatkan donor darah karena biasanya golongan darah ini sangat langkah.”

Aspen tidak sama sekali bisa fokus mendengar apa yang dikatakan si perawat, jantungnya berdebar kencang.

“Hei ... apa kau baik-baik saja?”

“Hm … sebenarnya, aku … aku ... takut dengan jarum suntik.” Pada akhirnya Aspen mengatakannya dengan wajah memerah dan pucat bercampur menjadi satu.

Si Perawat tersenyum menatap Aspen, dia sudah terbiasa menemui pasien seperti Aspen.

“Baiklah! Jadi apa yang kau lakukan sebelumnya? Apa kau suka sekali berolahraga dan menjaga pola makan? Karena sungguh tidak ada satu pun penyakit dalam tubuhmu.” Perlahan si perawat mengajak ngobrol Aspen.

Aspen ragu untuk menjawab, akan tetapi saat dia menatap si perawat, Aspen akhirnya menjawab, “Iya, aku memang suka berolahraga dan menjaga pola makan agar aku tidak sakit dan … mn ... kau pasti tahu alasannya.” Sudut bibir Aspen terangkat, dia menahan senyumnya.

“Oh seperti itu, jarang sekali pemuda sekarang yang punya tubuh sehat, yah kau tahu sendiri kuliner sekarang sangat menggiurkan.” Si perawat berusaha tersenyum dan mengajak Aspen mengobrol agar dia tidak tegang dengan begitu si perawat akan mudah menyuntikkan jarumnya.

“Ok, kita tunggu beberapa saat kau bisa tidur dulu.”

“Apa ... maksudmu ...” Aspen melirik ke lengan tangannya yang sudah tertancap jarum suntik.

Dia menatap si perawat merasa dikelabui dan tetapi itu tidak sesakit yang pernah dia alami dulu.

“Hm ... kau berhasil melaluinya Tuan Aspen Larsen.” Kata si perawat dengan wajah penuh senyuman.

“Saya tinggal dulu untuk beberapa saat biarkan kami mengambil darahmu.” Kata si perawat dijawab dengan anggukan oleh Aspen.

Saat si perawat keluar ruangan, Niko tengah mondar mandir di lorong saat itu juga dia berhenti melihat si perawat sudah keluar dari ruangan.

“Bagaimana? Apa kau berhasil membujuknya?” tanya Niko dengan wajah khawatir dan panik.

Si perawat menjawab dengan tersenyum.

“Ah ... Aspen akhirnya. Syukurlah ... kupikir ...”

“Kau tenang saja, temanmu sungguh baik-baik saja. Tunggu beberapa saat sampai kami mendapatkan darah yang kami butuhkan.” Kata si perawat.

Niko mengangguk, setelahnya si perawat meninggalkan Niko sendirian.

Dari kaca bening pintu Niko bisa melihat Aspen tengah terbaring dengan lengan tangannya tertancap jarum suntik dan darah mengalir dari selang yang terpasang.

Kau berhasil bajingan kecil Aspen Larsen.

Gumam Niko dengan tersenyum.

Tepat saat itu juga dua orang perawat, seorang laki-laki dan perempuan lainnya berjalan bergegas ke arahnya. Lalu kemudian melewatinya, mereka menerobos pintu.

Niko terlihat panik saat pintu terbuka dan keduanya dengan panik mendorong brankar Aspen dengan cepat.

“Hei, ada apa ini?” tanya Niko.

“Kami membutuhkannya sekarang juga, pasien tengah kritis saat ini.”

Jawab si perawat lelaki dengan wajah cemas dan panik.

Aspen yang terbaring hanya diam menatap kedua perawat itu dan juga Niko.

Dengan cepat Niko pun akhirnya membantu mereka mendorong brankar.

Jantung Niko berdebar kencang, apa yang sebenarnya terjadi pada gadis yang sudah menolongnya itu.

Mungkinkah dia tidak bisa diselamatkan …

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status