Jadwal Ghea praktik hari ini adalah sore saja. Jadi dia bisa menikmati waktu di rumah. Pagi-pagi sekali dia sudah bersiap berolah raga. Dengan sepatu memakai sepatu olah raga dan topi di kepalanya, rencananya dia akan berlari keliling kompleks.
Sambil memasang earphone di telinganya, Ghea berlari menyusuri jalanan kompleks. Sekali pun libur, dia tidak mau hanya berleha-leha saja di rumah. Sambil berlari, dia memerhatikan sekitar. Perumahan memang disusun dengan baik. Banyak sekali fasilitas yang diberikan di perumahan ini. Dekat dengan mal, ada kolam renang, dan terutama ada taman yang dihuni beberapa rusa. Ghea merasa perumahan ini benar-benar paket komplit. Ke depan, dia akan usulkan pada kakaknya perumahan seperti ini.“Sepertinya jika perumahan secantik ini, aku akan sangat betah.” Ghea sudah tidak merasa pindah ke kota ini adalah pilihan yang tepat karena dia tidak pusing mendengar suara sang mommy yang protes kapan dia akan menikah.Tepat saat melihat melintas rumah Gemma, dia memerhatikan rumah anak kecil yang memanggilnya mommy itu. Jarak rumah Ghea dan Gemma memang ternyata tidak terlalu jauh. Mereka berada dalam satu perumahan. Hanya saja perumahan Gemma berada di paling depan. Perumahan yang diisi dengan rumah-rumah megah. Untuk rumah yang disewa Ghea berada di kompleks perumahan paling belakang, karena rumahnya termasuk tipe kecil.“Daddy, tunggu.”Ghea mendengar suara Gemma yang berteriak. Dilihatnya anak itu sedang berlari menuju ke mobil sang daddy. Seragam sekolah yang dipakainya, menandakan jika Gemma sedang akan berangkat sekolah. Daddy Gemma yang berada di dalam mobil, membuat Ghea tidak tahu siapa daddy Gemma.Mobil melintas tepat di depan Ghea. Buru-buru Ghea menunduk. Karena tidak mau Gemma melihatnya. Karena dia memakai topi, pastinya Gemma tidak akan mengenalinya.Mengingat Gemma, rasanya menyisakan perih di hati Ghea. Sebagai anak kecil yang tumbuh tanpa ibu, pasti sangat berat untuk Gemma.“Kenapa aku selalu memikirkan anak itu,” ucap Ghea menyadarkan pikirannya. Kemudian melanjutkan kembali untuk berlari. Menikmati olah raga.⭐⭐⭐Suara tangis terdengar di lobi Klinik. Suara tangis anak-anak itu sudah menjadi hal biasa di klinik. Biasanya, anak-anak menangis karena tidak mau diperiksa oleh dokter. Namun, Raya yang sedang melintas tertarik untuk mendekat karena sedari tadi anak kecil itu menangis memanggil mommy-nya.“Kenapa ini?” tanya Raya yang penasaran pada para perawat.“Ini, Dok, dia mencari mommy-nya.” Perawat menunjukkan anak perempuan yang menangis. “Tapi, asisten rumah tangga ini tidak tahu nama mommy-nya.”Raya yang melihat anak kecil itu begitu penasaran. Dia memiringkan kepalanya untuk dapat menjangkau wajah anak tersebut. Alangkah terkejutnya ketika melihat jika itu adalah anak kecil yang di sekolah TK tempo hari. Yang memanggil Ghea dengan sebutan ‘mommy’.“Aku tahu mommy-nya,” ucap Raya pada perawat.Perawat tersebut pun langsung mengangguk dan menyerahkan anak tersebut pada Raya. Melihat anak kecil di hadapannya, Raya langsung berjongkok. Menyejajarkan tubuhnya dengan tubuh anak kecil.“Hai, siapa nama kamu?” tanya Raya lembut.“Gemma.” Dia masih terisak karena tadi dia tidak menemukan mommy-nya.“Gemma mau bertemu mommy?”Gemma langsung berbinar. “Mau-mau,” jawabnya pasti. Dia begitu senang ketika melihat“Kalau begitu ikut Dokter ke rumah, kita bertemu mommy.” Raya tersenyum. Mengulurkan tangan untuk membawa Gemma ke mobil.Tepat saat di depan mobil, Gemma mengenali jika mobil yang dipakai Raya adalah milik Ghea yang dipakai kemarin. Jadi dia yakin akan bisa bertemu dengan mommy-nya. Raya yang melihat keceriaan itu hanya bisa tersenyum saja. Merasa aneh, tetapi juga merasa bingung.Mobil melaju ke perumahan yang sama dengan perumahan milik Gemma. Di jalan, Gemma menunjukkan belokan ke rumahnya. Raya baru tahu jika ternyata rumah Gemma berada dalam satu kawasan dengannya. Hanya berbeda blok perumahan saja.Saat sampai di rumah, Raya mengajak Gemma untuk masuk ke rumah. Anak kecil itu begitu antusias untuk bertemu dengan mommy-nya. Hingga membuat Raya geleng kepala. Raya yang masuk rumah, tidak mendapati Ghea di ruang tamu. Dia yakin sekali jika temannya itu sedang tidur.“Buka sepatu dulu, lalu Aunty Raya antar ke kamar mommy.”Gemma mengangguk. Dia langsung duduk di kursi dan membuka sepatunya. Asisten rumah tangga pun ikut membantu Gemma membuka sepatunya.Raya mengajak Gemma ke kamar Ghea. Dilihatnya Ghea sedang asyik menikmati tidurnya. Pendingin ruangan dengan suhu minus delapan belas derajat itu membuatnya meringkuk di bawah selimut. Melihat hal itu, Raya ingin mengerjai temannya itu.“Mom—”“Shutt ….” Raya memberikan kode dengan menempelkan telunjuk di depan bibirnya. Meminta Gemma untuk tidak berisik. Dia berjongkok-menyejajarkan tubuhnya pada Gemma. “Gemma naik ke tempat tidur pelan-pelan. Peluk mommy dan tidur bersama mommy.”Gemma dengan semangat mengangguk. Kemudian berjalan pelan-pelan ke tempat tidur Ghea. Raya yang melihat itu, langsung keluar dari kamar. Membiarkan anak dan ibu itu berdua.Gemma naik ke tempat tidur dengan perlahan. Masuk ke dalam selimut yang dipakai oleh Ghea. Tangan mungilnya melingkar di leher Ghea. Bola mata indah milik Gemma pun tak berhenti memandangi wajah cantik Ghea. Dia merasa senang karena mommy-nya begitu cantik. Jauh lebih cantik dari apa yang pernah dia lihat. Satu kecupan mendarat di dahi Ghea. Ungkapan rasa senang Gemma yang akhirnya memiliki ibu.Merasakan bibir menempel di dahinya, Ghea mengerjap. Hal pertama yang dilihatnya pertama kali membuka mata adalah wajah Gemma. Membuatnya begitu terkejut.“Mommy,” panggil Gemma dengan senyuman di wajahnya.Ghea pikir sedang bermimpi, tetapi ternyata dia salah, karena suara Gemma benar ada. Tangan Gemma yang mengeratkan pelukan juga menandakan jika yang terjadi adalah kenyataan.“Kamu di sini, Sayang?” Ghea masih bingung dengan keberadaan Gemma.“Iya, Bu Dokter yang membawa.”Mendengar kata ‘dokter’ Ghea menebak jika itu adalah temannya. Pasti, temannya itu yang membawa Gemma ke rumah dan ke kamarnya.“Tadi aku menangis mencari mommy.” Ghea menceritakan apa yang terjadi tadi.“Kenapa menangis?” Ghea membelai rambut Gemma lembut.“Mommy tidak ada.”Ghea tersenyum. Walaupun usianya baru lima tahun, Gemma sudah lancar berbicara tanpa cadel. Juga pintar untuk ukuran anak seusianya. “Mommy tidak bekerja tadi pagi, jadi tidak ke klinik,” jelasnya, “tetapi, Gemma sudah di sini, jadi jangan menangis.” Ghea memeluk Gemma. Entah kenapa naluri keibuannya muncul begitu saja. Merasa begitu menyayangi Gemma. Tak rela anak itu menangis.“Baiklah, ayo kita bangun.” Ghea melepaskan pelukannya. Menyibak selimut dan mengajak Gemma untuk keluar. Dia juga ingin tahu bagaimana ceritanya temannya itu bisa membawa Gemma ke rumah.Ghea membawa Gemma keluar. Di luar dilihatnya temannya sedang menyiapkan makanan yang diyakininya dipesannya di layanan aplikasi pesan antar. “Ayo, kita makan.” Ghea mengajak Gemma untuk makan bersama. Gemma begitu senang sekali. Dia ikut duduk di samping Ghea. Makan makanan yang disiapkan untuknya. Ghea dengan telaten menyuapi Gemma dengan telaten. Raya yang melihat pemandangan itu hanya tersenyum. Temannya itu sudah seperti ibu satu anak. “Kalau Ghea ke sini apa daddy tidak marah?” Ghea begitu penasaran. “Pak Kavin pulang malam, Bu, jadi Beliau tidak tahu jika kami pergi.” Asisten yang ikut duduk dan makan menjawab. “Tapi, tidak baik, Bi, jika Bibi mengajak tanpa mengatakan pada daddy Gemma. Aku harap Bibi mengatakannya agar tidak menjadi salah paham nanti.” Ghea tidak mau jadi sasaran jika sampai terjadi apa-apa. “Baik, Bu.” Ghea beralih menyuapi Gemma. Melihat Gemma begitu lahap, membuatnya gemas. Sesekali mendaratkan kecupan di pipinya. Mereka sudah seperti ibu dan anak.
Ghea yang selesai praktik pagi, menunggu Gemma di lobi klinik. Sayangnya, setelah lama menunggu, Gemma tak kunjung datang. Padahal mereka sudah membuat janji. Rencananya Ghea akan mengantarkan gadis kecil itu untuk membeli gaun Princes Elsa yang diinginkannya. Selang beberapa saat akhirnya gadis kecil itu datang bersama dengan asisten rumah tangga. “Mommy pikir kamu tidak akan datang, Sayang.” Ghea sudah mulai terbiasa dengan sebutan itu, membuatnya akhirnya lancar menyebut dirinya sendiri seperti itu. “Tadi tukang ojeknya lama, Bu.” Asisten rumah tangga menjelaskan. “Jadi selama ini kalian pulang dengan ojek?” Ghea baru tahu. Dia merasa heran, karena Gemma termasuk anak orang kaya. “Nona Gemma malas jika harus pakai mobil, karena kadang jam pulang sekolah itu macet, jadi membuat kami menunggu lama. Akhirnya Pak Kavin menyewa tukang ojek.” Ghea menganggukkan kepala. Tadinya dia sudah berpikir negatif pada daddy Gemma. Namun, untuk asisten rumah tangga langsung menjelaskan. Palin
Ghea menunggu di dalam mobil anak-anak keluar dari sekolahnya. Pandangannya fokus memerhatikan setiap anak yang pulang. Kemarin dia sudah membuat janji dengan asisten rumah tangga, tetapi sejak tadi dia tidak melihat asisten rumah tangga dan Gemma. Hal itu membuat Ghea khawatir. Rasa penasaran membuatnya akhirnya turun dari mobil. Menemui guru Gemma. Untuk menanyakan keberadaan Gemma. “Permisi, Miss,” ucap Ghea menyapa guru Gemma. “Bu Dokter, ada yang bisa saya bantu?” tanya guru Gemma. “Tadinya saya ingin bertemu dengan Gemma, tetapi tampaknya Gemma tidak ada.” “Gemma, tadi daddy-nya mengabari jika dia tidak masuk hari ini, Bu Dokter.” “Tidak masuk?” Ghea begitu terkejut. “Apa dia sakit?” “Maaf saya kurang tahu, Bu. Daddy Gemma tidak menjelaskan.” Ghea mengangguk. “Terima kasih, Miss. Kalau begitu permisi.” Mendapatkan informasi itu akhirnya, Ghea merasa khawatir. Menebak-nebak apakah Gemma sakit. Untuk menghilangkan pikirannya itu, akhirnya Ghea memilih untuk segera pergi k
Ghea masih menatap tajam pada Rowan. Bisa-bisanya pria itu membohongi anaknya seperti itu. Hal ini jelas akan membuat keruh masalah yang ada. Akan melukai perasaan anak kecil yang tidak tahu apa-apa. “Mommy.” Gemma memeluk Ghea. Ghea tak bisa menolak sama sekali. Tak mau melukai anak kecil yang bersamanya itu. Posisi Gemma yang menghadap ke belakang membuat Ghea dapat menatap Rowan dengan tajam. Dia benar-benar akan membuat perhitungan dengan laki-laki itu. Rowan dengan tenangnya ketika Ghea menatapnya. Merasa jika tak bersalah sama sekali. “Mommy, jangan pergi.” Gemma yang memeluk merasa begitu sedih karena takut kehilangan mommy-nya lagi. “Mommy tidak akan meninggalkanmu.” Ghea membelai lembut punggung Gemma. “Jadi anak cantik jangan menangis.” Ghea melepaskan pelukannya. Kemudian menghapus air mata yang mengalir di wajah Gemma. “Gemma tidak akan menangis.” Gemma ikut menghapus air matanya. Ghea tersenyum. Tangannya membelai lembut pipi Gemma. “Mommy, ayo katanya Mommy m
Enam tahun lalu. Hujan begitu deras mengguyur ibu kota siang itu. Sesekali suara petir terdengar. Beberapa hari ini memang kota sedang dilanda hujan deras. Beberapa pohon tumbang pun sering terjadi karena hujan yang disertai angin kacang terjadi. Ghea duduk menunggu kekasihnya untuk menjemputnya. Tadi, dia sudah bilang pada Dean jika dia akan pulang dengan Rowan. Jadi temannya itu sudah meninggalkannya sendiri di kampus. Kampus Ghea dan Rowan berada dalam satu wilayah, hanya berbeda beberapa blok, karena mereka berbeda jurusan. Rowan mengambil jurusan bisnis management, sedangkan Ghea mengambil kedokteran. Cukup lama Ghea menunggu, tetapi Rowan tak kunjung tiba. Hingga akhirnya dering telepon terdengar. Saat melihat ponselnya, dilihatnya itu adalah Rowan. Dengan segera Ghea mengangkat sambungan telepon. “Halo, Sayang.” Hujan deras membuat Ghea harus berteriak. Agar suaranya terdengar oleh Rowan. “Ghe, aku mau kita putus.” Sekali pun guyuran hujan begitu deras. Ghea jelas mende
Ghea yang mengingat semua kenangan itu hanya bisa menahan sesaknya. Mengingat pria yang meninggalkannya tanpa alasan itu membuatnya begitu sakit. Namun, kini dia harus kembali bertemu dengan pria itu lagi. Lebih sialnya lagi, harus terjebak dalam drama yang dibuat Rowan untuk anaknya. “Sebaiknya aku berhenti menemuinya. Lagi pula, jika aku tidak menemuinya semua akan selesai.” Satu jalan yang dipilih Ghea adalah hal itu. Tak mau terlalu dalam masuk ke dalam drama yang dibuat oleh mantan kekasihnya. Menurutnya, semakin drama berakhir, semakin dia akan terlepas dari semuanya. Ghea pikir pindah ke kota lain memberikannya ketenangan. Nyatanya tidak. Karena pada akhirnya, dia justru terlibat dengan Rowan dan anaknya. Suara ketukan kaca mobil mengalihkan Ghea. Dia yang melihat Raya di sana langsung membuka kaca mobil. “Kamu sudah sampai?” Jam praktik masih sekitar lima belas menit lagi, jadi dia sedikit terkejut ketika melihat temannya sudah datang. “Aku pergi berangkat Ray tadi. Jadi
Siang hari akhirnya El datang juga. Dia tak sendiri saat datang. Ada Freya dan anak-anaknya yang juga ikut datang. Rumah Ghea seketika begitu ramai sekali. Namun, beruntung dia sudah siap. Jadi tak butuh waktu lama dia segera pergi. “Apa kamu betah, Ghe?” Freya yang dalam perjalanan bertanya pada adik iparnya itu. Ghea sendiri bingung. Jika dibilang betah, mungkin dia sangat betah. Namun, dia sedikit terusik ketika bertemu dengan Gemma dan Rowan. “Ghe, kenapa diam?” Ghea tersadar dari pikirannya. “Aku betah, Kak,” jawabnya, “di sini perumahannya begitu asri. Ada taman rusa juga. Kamu harus membuat perumahan seperti ini juga, Kak.” Ghea yang duduk di samping kemudi, menatap sang kakak yang sedang menyetir. “Wah … konsepnya bagus, tapi jika aku buat, aku tidak mau buat taman rusa. Aku mau buat taman gajah saja.” El tertawa menjawab ide adiknya itu. “Dasar menyebalkan sekali!” Ghea membuang muka. Saat membuang muka, dia melihat Gemma dan asisten rumah tangga sedang berjalan kaki.
Suara ketukan pintu yang tak berhenti-henti membuat Ghea yang sedang menikmati tidurnya terbangun. Dia yang masih mengantuk terpaksa bangun. Untuk membuka pintu. Alangkah terkejutnya Ghea ketika keponakannya yang datang mengganggu. “Aunty, ayo kita ke mal.” Kean menarik tangan Ghea. “Astaga, ini masih pagi untuk mengajak Aunty ke mal.” Ghea hanya bisa menggeleng heran. Bisa-bisa keponakannya itu mengajaknya ke mal pagi-pagi. “Aunty ciap-ciap dulu caja.” Lean yang berada di sebelah Kean pun sok dewasa memberitahu Ghea. Ghea hanya bisa mendengus kesal. Niatnya beristirahat justru mendapatkan ajakan ke mal. “Iya, Aunty siap-siap dulu,” ucapnya. “Ye ….” Dua anak laki-laki yang begitu mirip itu bersorak senang. Ghea tersenyum. Hanya pergi ke mal bersamanya saja anak-anak itu begitu senang. “Sudah sana, ke bawah dulu.” Dia mendorong dua anak kecil itu, kemudian berbalik-menutup pintu kamar dan bersiap untuk mandi. Setengah jam kemudian, Ghea selesai. Dia sudah rapi sekali dengan sete