Hamba Belum Mati, Paduka!

Hamba Belum Mati, Paduka!

Oleh:  DAUN MUDA  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
0 Peringkat
18Bab
409Dibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

"Aku tidak akan membiarkan kamu mengambil tahtaku, Wikrama!" "Memangnya kamu siapa berani menghentikan penobatanku sebagai Putra Mahkota yang baru, heh?!" Rohku memiliki kesempatan kedua masuk ke dalam tubuh Grawira. Namun wajah dan raga kami berbeda. Untuk menghentikan penobatan adikku yang akan mengambil tahtaku, akankah semua orang percaya bahwa yang kini berdiri dihadapan mereka adalah Putra Mahkota Majafi yang sebenarnya? Atau aku justru dianggap orang gila yang dianggap mengacaukan penobatannya?

Lihat lebih banyak
Hamba Belum Mati, Paduka! Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
18 Bab
Tolong Tangguhkan Kematianku
Akhirnya, Pedang Tapak Sepuluh yang pernah kubaca dalam kitab kerohanian istana, benar-benar membelah jiwaku menjadi dua bagian lalu terhempas ke tanah. Sedang Sri Dewa, sang malaikat pencabut nyawa, tetap berdiri gagah dan garang sambil membawa pedang tersebut.Janji para dewa itu sungguh nyata!Bahwa manusia diciptakan melalui rahim ibunya, kemudian lahir dan mengemban apa yang menjadi tugasnya seperti yang tertulis di buku langit, sembari menunggu ajal tiba. Dan kini aku benar-benar merasakannya. Tentang bagaimana sakitnya Pedang Tapak Sepuluh membelah jiwa ini. Pedang yang bertugas memisahkan roh dari ragaku. "Sri Dewa, kenapa ... kamu tega melakukan ini padaku?" tanyaku dengan tubuh terbelah tak berdaya di atas tanah. Pedang Tapak Sepuluh tidak lagi memancarkan cahaya karena tertutupi oleh goresan jiwaku. "Sudah menjadi catatan langit jika hari ini aku memiliki tugas untuk mencabut nyawamu, Putra Mahkota Majafi.""Tapi, aku belum menyelesaikan tugasku sebagai Putra Mahkota. B
Baca selengkapnya
Roh Yang Berkelana
Setelah jiwaku menyatu jadi satu dan dapat berdiri di hadapan Sri Dewa yang lebih tinggi, besar, dan gagah, aku kembali bersuara. "Apa syaratnya agar kematianku ditangguhkan, Sri Dewa?""Kamu hanya bisa memasuki satu tubuh lelaki yang bernasib sama denganmu, Putra Mahkota.""Sama-sama mengalami mati suri begitukah maksudnya?""Ya. Carilah di seluruh pelosok negeri ini dan itu tidak sulit. Karena setiap jiwa yang mengalami mati suri pasti memancarkan sinar putih yang menembus langit. Hanya saja tergantung dirimu bersedia masuk ke dalam raga itu atau tidak.""Maksudnya?""Sebelum engkau lahir, Ratu Ghiya begitu patuh pada protokol kerajaan tentang tata cara menjaga kehamilannya. Terlebih ketika kehamilannya memasuki bulan kelima dan mendapati janin yang dikandung berjenis kelamin laki-laki. Kamu diperlakukan dengan begitu mulia bahkan plasentamu sengaja diabadikan di puncak Gunung Kaung yang dingin dan agung.""Lalu sekarang, ketika aku menangguhkan kematianmu, dan memberimu kesempatan
Baca selengkapnya
Putra Mahkota Dalam Raga Grawira
"Paduka Raja, Putra Mahkota Majafi itu putra pertama anda. Mengapa anda berkata seolah-olah dia bukan putra anda? Dia adalah penerus anda! Calon Raja di Wangsa Mahayana!""Penerus? Lalu apa yang bisa kulakukan jika penerusku sakit? Bahkan hampir menemui ajalnya?""Apa anda bilang?" tanya Ibunda Ratu dengan nada tidak percaya. "Ratu, sebenarnya aku tidak mau membahas masalah kesehatan Putra Mahkota Majafi disini. Apalagi banyak patih yang mendengarnya.""Katakan saja, Paduka," tantang Ibunda Ratu tanpa rasa gentar. "Tugas Putra Mahkota Majafi banyak yang terbengkalai karena kondisinya saat ini. Jika aku tidak segera mencari penggantinya, maka bukan tidak mungkin urusan kerajaan makin tidak terurus. Oleh karena itu, aku mengutus Pangeran Wikrama secara sepihak untuk menggantikan posisi Putra Mahkota.""Tapi Putra Mahkota Majafi masih bisa sembuh, Paduka! Dia masih ada harapan! Pangeran Wikrama cukup membantu anda meringankan tugas Putra Mahkota! Bukan menggantikanyya!" Ibunda Ratu ter
Baca selengkapnya
Hamba Belum Mati, Paduka!
“Ayo kabur!”“Jangan kejar kami, Grawira!”Kedua orang yang tidak kuketahui itu lari terbirit-birit melihat tubuh Grawira berdiri tegap tapi berisi jiwaku, Putra Mahkota Majafie dari Wangsa Mahayana. Jiwaku yang telah menyatu dengan raga Grawira, bisa merasakan lapar yang teramat. Mungkin selama mati suri Grawira tidak pernah diberi minum atau makanan apapun.Karena terbiasa mendapat didikan ketat dan berstandar tinggi istana, aku mengesampingkan rasa lapar lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri lebih dulu. “Aku lupa tidak membawa handuk dan pakaian ganti. Bagaimana ini?” gumamku dengan tubuh segar di dalam kamar mandi. Di istana, handuk dan pakaianku selalu disiapkan langsung oleh dayang istana di dalam kamar mandi. Sekarang, mau tidak mau aku harus memakai handuk bersama yang digantung di kamar mandi gubuk ini. Handuk setengah basah dan sedikit bau.Ini adalah kehidupan rakyat biasa dan aku harus bisa beradaptasi dengan baik.Siapalah aku jika tanpa raga Grawira.Hanya p
Baca selengkapnya
Bagaimana Caraku Kembali?
Akhirnya aku tiba di sebuah gubuk bambu yang disinari dua lampu minyak saja. Sedang bagian luar gubuk dibiarkan gelap gulita. Suami Bibi Tyasih hampir jantungan melihat Grawira yang sudah sehat sepenuhnya. Padahal, aku lah yang mengendalikan raga pemuda malang ini. Aku meluruskan kedua kaki dengan rapat sambil bersandar di tiang gubuk. Karena kelelahan membawa bungkusan pakaian sambil berjalan cepat mengimbangi langkah Bibi Tyasih. "Wira, dudukmu seperti orang priyayi saja," celetuknya.Karena terbiasa dengan didikan ketat kerajaan, aku terbiasa bersikap sopan dan santun dalam berbagai kondisi. Meski aku tahu bagaimana cara duduk para rakyat, namun aku tidak bisa melakukannya meski telah berada dalam raga Grawira. "Ini air hangat untukmu, Wira. Maaf, Bibi hanya punya itu."Sebuah gelas dari tanah liat berbentuk cembung berisi air putih hangat. Berbeda dengan yang ada di istana. Gelas-gelas itu terbuat dari perunggu. Aku meneguk air hangat itu dengan etika yang diajarkan istana da
Baca selengkapnya
Waktu Yang Semakin Tergerus
Aku menggelar semua keris lelaki yang bernama Warma di 'peken' atau pasar yang berada di tengah-tengah Desa Sojo. Kebetulan hari masih belum terlalu siang, pengunjung pasar juga masih berlalu lalang membeli kebutuhan, dan ada sebuah meja kayu tak bertuan yang kuangkat ke tengah pasar. Menjual keris-keris ini tidak jauh berbeda dengan ilmu negosiasi yang kupelajari saat di istana. Dan targetnya, aku harus bisa menjual beberapa keris Warma untuk ongkos menuju Wangsa Mahayana. "Bantu aku, Dewa. Bantu aku," gumamku kemudian mengambil dua keris yang terlihat paling menarik perhatian. Aku menghampiri seorang lelaki bertubuh gagah yang hanya memakai celana pendek sebatas lutut berwarna coklat tanpa baju. Kedua lengannya berotot dan rambutnya ditata rapi dengan sedikit gelungan di atasnya. Dan memakai alas kaki dari kulit hewan.Dia pasti orang terpandang atau memiliki jabatan di Wangsa Canggal, tempatku berada saat ini. "Tuan, ada keris baru! Ini dari Wangsa Mahayana! Ini buatan Empu Dha
Baca selengkapnya
Memangnya Ada Apa Disana?
Tidak ada rotan, akar pun jadi. Jika tidak bisa pergi melalui pintu depan maka aku mencoba melalui pintu belakang. Namun sayangnya, pintu dapur ditahan sesuatu dari luar. Aku geram setengah mati karena aksi melarikan diri ini masih saja tertahan. Andai aku berkata jujur pada Bibi Tyasih dan suaminya, bisa kupastikan mereka akan menertawakanku bak anak kemarin yang baru bermimpi. Padahal, aku benar-benar seorang Putra Mahkota Majafi yang sengaja meminjam raga Grawira, keponakan mereka, untuk satu misi balas dendam dan penyelamatan tahta. Menjadi putra mahkota bukan berarti aku tidak dibekali ilmu taktik mencari strategi. Aku bisa membuat taktik meski tidak sehebat para kesatria atau pemimpin pasukan abdi kerajaan yang khusus ditempa untuk bertarung. Setelah memutar otak, akhirnya aku memiliki ide luar biasa. "Paman, Bibi! Kebakaran! Gubuk kita kebakaran!"Keduanya langsung bangun berjingkat dan kelabakan kesana kemari begitu melihat nyala api dari dapur. Aku sengaja menghidupkan
Baca selengkapnya
Bisakah Membantu Saya?
Kuda yang kunaiki berlari cepat tanpa tuntunan dariku. Membelah rerimbunan hutan dengan melewati sebuah jalan terabasan. Saking kencangnya ia berlari, aku hampir terhuyung ke belakang. Belum lagi dahan pepohonan yang terlalu pendek saat kami melintas. Membuatku siaga dengan segera menunduk tepat di atas punggung kudu atau tubuhku akan tersangkut di dahan raksasa itu. Lalu aku tiba di ujung Wangsa Mahaya, tepatnya di sebuah sawah yang dulu pernah kudatangi untuk dibuatkan saluran irigasi. Agar hasil bertanam rakyatku tidak mengalami kebanjiran ketika musim penghujan membawa air terlalu banyak. Dari sini, aku paham harus berjalan kemana. Memberi komando pada kuda hitam ini agar berlari tidak kencang, aku melihat orang-orang berjalan berlawanan arah denganku tanpa memberi salam atau menundukkan badan. Siapalah aku jika kini berada dalam tubuh Grawira? Tidak ada yang tahu jika yang berpapasan dengan mereka adalah Putra Mahkota Majafi. Mereka mengira aku ini sama dengan penduduk la
Baca selengkapnya
Ambillah Sebagai Upah Kebaikanmu
Kabar buruk! Rawati tidak bisa menampungku untuk tinggal bersama keluarganya di gubuknya. Apa yang orang pikirkan jika kami tinggal dalam satu atap yang sama namun tidak memiliki hubungan kekerabatan atau pernikahan? Selain itu, Rawati baru mengenalku dan bodohnya aku melanggar norma kesopanan yang ada di masyarakat demi ambisiku. Bukankah aku ini putra mahkota? Bagaimana bisa melupakan adat istiadat Wangsa Mahayana? "Maaf, Wati. Aku tidak bermaksud melukai harga dirimu. Aku hanya ... tidak tahu harus kemana. Aku tidak memiliki sanak saudara di sini dan baru tiba," ucapku dengan nada penyesalan. Wati kemudian berpikir sejenak sambil menekuk kedua bibir indahnya ke dalam mulut. Lalu matanya berbinar menatapku. "Tinggal lah di gubuk nenekku yang tidak jauh dari gubukku, Grawira. Kebetulan nenek tinggal seorang diri disana. Jika ada yang bertanya, bilang saja kamu adalah putra dari saudara jauh nenek." "Baiklah, tapi ... aku membutuhkan pekerjaan, Wati. Aku bisa bertarung. Kemampu
Baca selengkapnya
Apa Tujuanmu Sebenarnya?
Keluarga Priyayi? Tidak! Tidak! Rawati tidak boleh tahu jika aku ini dari keluarga kerajaan! Akhirnya dengan berat hati, aku mengambil satu tangan neneknya dan mencium sekilas tangan itu untuk pertama kalinya sepanjang hidupku sebagai seorang Putra Mahkota Majafi. Di gubuk neneknya Rawati, otakku terus merangkai rencana bagaimana caranya agar bisa masuk ke dalam istana. Karena Rawati berkata jika ... "Grawira, maaf. Aku tidak mengenal baik orang yang bekerja di departemen keamaan kerajaan." Aku yang kala itu sedang duduk di saung sawah belakang rumah neneknya pun menghela nafas panjang membayangkan satu pintu besar memasuki istana akhirnya gagal. Rawati yang masih memakai seragam sederhana dari istana itu pun terlihat tidak enak hati karena tempo hari sudah berjanji padaku akan membantuku mencari pekerjaan. "Tapi kalau mau, aku bisa mengenalkanmu pada seorang pemilik kedai agar bisa bekerja sebagai pelayanan disana. Bagaimana?" Aku melihat binar ketulusan di mata Rawati tapi
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status