Share

Memangnya Ada Apa Disana?

Tidak ada rotan, akar pun jadi. 

Jika tidak bisa pergi melalui pintu depan maka aku mencoba melalui pintu belakang. Namun sayangnya, pintu dapur ditahan sesuatu dari luar. 

Aku geram setengah mati karena aksi melarikan diri ini masih saja tertahan. 

Andai aku berkata jujur pada Bibi Tyasih dan suaminya, bisa kupastikan mereka akan menertawakanku bak anak kemarin yang baru bermimpi. Padahal, aku benar-benar seorang Putra Mahkota Majafi yang sengaja meminjam raga Grawira, keponakan mereka, untuk satu misi balas dendam dan penyelamatan tahta. 

Menjadi putra mahkota bukan berarti aku tidak dibekali ilmu taktik mencari strategi. Aku bisa membuat taktik meski tidak sehebat para kesatria atau pemimpin pasukan abdi kerajaan yang khusus ditempa untuk bertarung. 

Setelah memutar otak, akhirnya aku memiliki ide luar biasa. 

"Paman, Bibi! Kebakaran! Gubuk kita kebakaran!"

Keduanya langsung bangun berjingkat dan kelabakan kesana kemari begitu melihat nyala api dari dapur. Aku sengaja menghidupkan api dari tumpukan kayu kering dapur sehingga terlihat seperti kebakaran sesungguhnya. 

Aku tersenyum menang begitu keduanya berlari ke dapur untuk memadamkan api. Lalu aku mengambil bungkusan kain berisi pakaian kemudian membuka pintu depan gubuk dan berlari secepat mungkin di bawah keremangan malam. Beruntung, sinar rembulan masih cukup terang menyinari pekatnya kabut yang mulai melingkupi desa ini. 

***

Malam itu, aku sengaja tidur di dalam bendi yang belum ada kudanya. Karena tidak memiliki tujuan lain untuk mengistirahatkan raga. 

Si pemilik bendi cukup terkejut ketika di pagi hari menemukan aku tidur di dalam bendi lalu dengan baik hati ia memberiku sarapan dan meminjamkan kamar mandinya. Tidak berapa lama kemudian, Warma tiba dengan istri dan satu orang anaknya sambil membawa bungkusan kain yang sama denganku.

Ternyata mereka akan Wangsa Mahayana dan menetap disana karena tidak cocok tinggal disini. Namun ada masalah ketika pemilik bendi  merasa tertipu. Warma kemarin tidak mengatakan akan membawa anak istri sehingga ia setuju dibayar empat keping dirham dan sepuluh uang gobog. 

Perseteruan keduanya menimbulkan perkelahian yang tidak terelakkan namun aku justru melihat peluang bagus disini. 

Kuda sudah dipersiapkan di dekat rumah hanya saja belum diikatkan ke bendi. Lalu aku segara mengambil barangku dan berlari menuju kuda. Melepas talinya lalu menaikinya dengan cepat. 

"Hishh!!!"

Aku segera melecut punggung kuda kemudian dia menaikkan kedua kaki depannya lalu melesat cepat. Perkelahian antara Warma dan si pemilik bendi terhenti seketika ketika aku berhasil membawa kudanya pergi menjauh. 

Bahkan teriakan minta tolongnya pada warga sekitar tidak berguna lagi ketika kecepatan kuda yang baru memenuhi isi perutnya dengan rumput ini melaju kencang dengan aku sebagai tuannya. 

Tapi masalahnya, apa benar jalan ini yang akan membawaku menuju Wangsa Mahayana?

***

Waktu berganti waktu, dan hari berganti hari. 

Aku bersama kuda berambut coklat setengah hitam itu menyusuri jalanan yang diyakini menuju Wangsa Mahayana. Berbekal pada informasi setiap orang yang kujumpai selama perjalanan. 

Syukurlah tidak ada tanda-tanda pemilik bendi menyuruh temannya untuk mengejarku hingga dihari ketiga kepergianku. 

Bukannya bersemangat, aku justru putus asa ketika tidak menemukan jalan tercepat menuju Wangsa Mahayana. Rasanya seperti berputar-putar di tempat yang sama. 

Akhirnya aku memutuskan untuk duduk di sebuah batu pipih yang berada di dekat aliran sungai yang jernih. Aku mencoba memusatkan pikiran dan hati pada satu titik, yaitu pada Sang Hyang Nasesa. Sang pemilik bumi ini. 

Dengan duduk seperti tengah bermeditasi dan merapalkan doa-doa serta mantra kebaikan, tiba-tiba kuda yang ada bersamaku berdiri sambil bersuara seperti menyuruhku untuk menatapnya.

"Apa? Apa kamu punya jawaban kita harus kemana?"

Bukannya memberi jawaban, aku hampir terjatuh ke sungai karena melihat Sri Dewa berdiri di bawah pohon dengan jubah hitamnya yang mengerikan. 

"Sr ... Sri Dewa. M ... mau apa kamu kemari?"

"Naiklah ke punggung kudamu, Putra Mahkota."

"Ke ... kenapa?"

"Aku sudah memberitahunya kemana arah Wangsa Mahayana."

"Kenapa kamu tidak mengatakannya dari tiga hari yang lalu, Sri Dewa? Ini sama saja dengan aku membuang waktu!" 

"Siapa dirimu hingga berani mengatur kami para Dewa?"

"Tapi --- "

"Apa kamu tahu apa yang akan kamu dapatkan jika tiba lebih cepat di Istana Vasubandhu?"

"Memangnya ada apa disana?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status