Share

Bisakah Membantu Saya?

Kuda yang kunaiki berlari cepat tanpa tuntunan dariku. Membelah rerimbunan hutan dengan melewati sebuah jalan terabasan. 

Saking kencangnya ia berlari, aku hampir terhuyung ke belakang. Belum lagi dahan pepohonan yang terlalu pendek saat kami melintas. Membuatku siaga dengan segera menunduk tepat di atas punggung kudu atau tubuhku akan tersangkut di dahan raksasa itu. 

Lalu aku tiba di ujung Wangsa Mahaya, tepatnya di sebuah sawah yang dulu pernah kudatangi untuk dibuatkan saluran irigasi. Agar hasil bertanam rakyatku tidak mengalami kebanjiran ketika musim penghujan membawa air terlalu banyak. 

Dari sini, aku paham harus berjalan kemana. Memberi komando pada kuda hitam ini agar berlari tidak kencang, aku melihat orang-orang berjalan berlawanan arah denganku tanpa memberi salam atau menundukkan badan. 

Siapalah aku jika kini berada dalam tubuh Grawira?

Tidak ada yang tahu jika yang berpapasan dengan mereka adalah Putra Mahkota Majafi. Mereka mengira aku ini sama dengan penduduk lainnya. Orang biasa. 

Kuda hitam ini terus membawaku pergi hingga menuju gerbang istana kerajaan. Dari kejauhan, di bawah pohon, aku bisa melihat ada enam prajurit yang menjaga pintu gerbang lengkap dengan pedang masing-masing. 

"Bagaimana aku bisa masuk ke sana? Aku tidak mungkin membuat keonaran dengan mengajak mereka bertarung."

Tidak ada ide yang terlintas dibenakku hingga Sri Dewa kembali muncul tidak jauh dariku. Aku berjingkat kaget ketika dia berdiri tidak jauh dariku.

Penampilannya serba hitam dengan tubuh lebih tinggi dari manusia kebanyakan, membuatnya menjadi sosok yang paling ditakuti. 

"Sri Dewa, kamu membuatku terkejut," ucapku dengan memegangi dada. 

"Akan ada seorang perempuan yang akan memasuki istana. Dia adalah pelayan istana yang biasa mencuci dan membersihkan istana."

"Lalu? Apa hubungannya?"

"Apa kamu tidak perlu bantuan siapapun untuk masuk ke istana, Putra Mahkota?"

Aku mulai paham dengan maksud Sri Dewa. 

"Sebentar lagi dia akan melintas. Entah bagaimana caramu membuatnya agar mau membantumu masuk ke dalam istana."

Otakku segera mencari ide terbaik, lalu Sri Dewa kembali membuka suara. 

"Penobatan Pangeran Wikrama makin dekat, Putra Mahkota. Dan ini adalah bantuan terakhirku untukmu. Aku tidak akan muncul kembali jika itu bukan hari keempat puluh. Hari dimana kamu harus meninggal dan masuk ke alam Rahyanta."

Dari tangan Sri Dewa keluar satu karung kecil keping emas yang masih baru. Dia mengulurkannya padaku kemudian menghilang. 

Tidak berapa lama, dari arah selatan, aku bisa mendengar derap langkah kaki seseorang kemudian menyembunyikan kantong kecil itu ke dalam pakaian tipis ini. Namun ide apa yang bisa kugunakan untuk membuat simpati perempuan pelayan istana ini mau membantuku?

Kuda hitam yang kunaiki tiba-tiba bersuara lalu menggunakan kepalanya untuk membuatku jatuh ke tanah. Begitu aku melihat sekelebat kaki perempuan itu, aku segera menutup mata dan pura-pura pingsan. Kuda itu berjalan mengitariku dengan mengendus-ngendus tubuhku. 

"Ya, Dewa! Minggir! Hei, minggir!" suara terkejut perempuan itu. 

Dia berlari ke arahku kemudian menyuruh kuda itu menepi. 

"Mas! Mas!" dia menggoyang tubuhku dan aku tidak merespon. 

"Bagaimana ini?"

Perempuan yang mengenakan 'kalambi' atau pakaian atas berwarna coklat muda berlengan panjang dilengkapi jarik panjang hitam bermotif batik putih itu, meletakkan wakul bambu di dekatku lalu berlari entah kemana. Sepertinya dia meminta bantuan. 

Benar saja, tidak lama dia kembali dengan membawa mangkuk yang terbuat dari tanah liat berisi air. Tangan kirinya menaikkan sedikit kepalaku lalu tangan kanannya meminumkan sedikit demi sedikit air ke dalam mulutku. 

Lalu aku pura-pura terbatuk dan siuman. 

"Syukurlah, Dewa. Akhirnya Mas siuman juga."

Kemudian aku duduk berhadapan dengan perempuan muda ini. Pakaiannya adalah seragam yang diberikan kerajaan untuk para pelayan. Rambutnya digelung rapi dan wajahnya manis khas perempuan pribumi dengan duduk bersimpu. 

"Terima kasih bantuannya."

Perempuan muda itu mengangguk dan tersenyum. "Mas mau kemana?"

"Saya ... tidak tahu harus kemana. Saya ... melarikan diri dari rumah. Mungkin Mbak bisa membantu saya bertahan hidup di Mahayana."

"Bertahan hidup bagaimana?" tanyanya bingung.

Aku pun segera memutar otak untuk menjawab pertanyaannya.

"Apa ... Mbak bekerja untuk istana?"

Dia menganggukkan kepalanya kemudian secerca harapan itu muncul seperti apa yang dikatakan Sri Dewa tadi.

"Apa ... di istana tidak membutuhkan prajurit baru untuk menjaga istana?"

Dia berpikir sejenak kemudian membuka suara. "Akan saya tanyakan lebih dulu."

Kelegaanku sirna ketikda dia tidak bisa menyanggupi keinginanku untuk bisa masuk ke dalam istana. Padahal waktu yang kumiliki juga tidak banyak lagi.

"Oh ya, nama saya Grawira," aku mengulurkan tangan padanya ketika dia terus menatapku penuh tanya. 

Perempuan itu menjabat tanganku perlahan, "Nama saya Rawati. Bisa dipanggil Wati. Saya masuk ke dalam istana lebih dulu, Mas."

Sebelum Wati benar-benar meninggalkanku tanpa ada keberlanjutan, aku teringat akan ucapan Sri Dewa tadi. Setidaknya aku harus selalu berada di belakang Wati agar bisa memasuki istana.

"Wati, saya punya dua keping emas yang masih baru. Bolehkah saya menumpang hidup di rumahmu untuk beberapa hari ke depan sampai saya mendapat pekerjaan di istana?"

DAUN MUDA

enjoy reading ...

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status