Share

Hamba Belum Mati, Paduka!

“Ayo kabur!”

“Jangan kejar kami, Grawira!”

Kedua orang yang tidak kuketahui itu lari terbirit-birit melihat tubuh Grawira berdiri tegap tapi berisi jiwaku, Putra Mahkota Majafie dari Wangsa Mahayana. 

Jiwaku yang telah menyatu dengan raga Grawira, bisa merasakan lapar yang teramat. Mungkin selama mati suri Grawira tidak pernah diberi minum atau makanan apapun.

Karena terbiasa mendapat didikan ketat dan berstandar tinggi istana, aku mengesampingkan rasa lapar lalu menuju kamar mandi untuk membersihkan diri lebih dulu. 

“Aku lupa tidak membawa handuk dan pakaian ganti. Bagaimana ini?” gumamku dengan tubuh segar di dalam kamar mandi. 

Di istana, handuk dan pakaianku selalu disiapkan langsung oleh dayang istana di dalam kamar mandi. Sekarang, mau tidak mau aku harus memakai handuk bersama yang digantung di kamar mandi gubuk ini. Handuk setengah basah dan sedikit bau.

Ini adalah kehidupan rakyat biasa dan aku harus bisa beradaptasi dengan baik.

Siapalah aku jika tanpa raga Grawira.

Hanya pakaian-pakaian lusuh bahkan pudar warnanya yang dimiliki Grawira. Entah pemuda ini tidak pernah membeli pakaian karena tidak memiliki uang atau memang tidak suka menjaga penampilan.

“Ayolah, Majafi. Kamu hanya sebuah jiwa yang meminjam raga Grawira. Jangan bersikap kekanakan," gumamku.

Meski usiaku saat ini baru dua puluh tahun, namun didikan dewasa yang kuterima sejak berusia tiga tahun membuatku bersikap lebih bijak dari pada Pangeran Wikrama. Karena aku digadang-gadang akan menggantikan posisi Paduka Raja Dewasingha, ayahku. Namun, kini takdir berkata lain.

Aku harus mati muda dengan cara yang tidak lazim saat memiliki tanggung jawab besar untuk memakmurkan rakyat Mahayana. 

Dengan badan yang lebih segar, aku melahap makan malam seadanya yang ada di meja menggunakan etika kerajaan. Lalu mengikat rambut dengan karet gelang yang tergeletak di meja. Seluruh lelaki di era ini, memiliki rambut panjang kecuali para pria tua yang telah habis rambutnya.

"Warma! Nala! Buka pintunya!" seru seorang wanita sambil mengentuk pintu. 

Aku membuka pintu gubuk ini meski tidak tahu siapa itu Warma dan Nala. Lalu seorang wanita paruh baya menatapku dengan mata membulat. Mulutnya ternganga bahkan lebah pun bisa masuk. Rambut putihnya disisir sembarang lalu digelung.

"Gra ... Grawira?"

Aku mengangguk ragu.

Wanita itu lalu memelukku erat dengan tangis haru. Aku reflek menjauhkan tubuhnya karena teringat peraturan istana untuk melarang siapa saja memelukku kecuali kedua orang tua, istri, dan anak-anakku. 

"Grawira? Kamu nggak ingat Bibi Tyasih?"

Oh ... namanya Bibi Tiyasih. 

"Ehm ... maaf, Bi. Aku ... banyak lupa."

"Ya Dewa, kasihan sekali kamu, Wira. Mati suri membuat kamu lupa sama Bibi. Tapi Bibi senang kamu sudah siuman."

Kemudian Bibi mengajakku masuk ke dalam gubuk. Menemaniku melanjutkan makan malam. 

"Orang tuamu meninggal satu tahun yang lalu, Wira. Kamu terpukul sekali seperti orang linglung lalu tertabrak bendi hingga tidak sadarkan diri. Hampir dua bulan lamanya."

"Karena tidak punya uang, Bibi hanya bisa memanggil Janggan, tabib murahan untuk memeriksamu. Dia bilang kalau kamu mati suri. Ragamu baik-baik saja tapi jiwamu yang enggan untuk kembali."

Bibi Tyasih memegang kedua tanganku, "Tapi Bibi senang akhirnya kamu mau kembali hidup, Wira. Kamu harus bangkit. Kematian orang tuamu bukan akhir dari segalanya. Masih ada Bibi yang bisa kamu jadikan tempat pulang."

Sosok Bibi Tyasih mengingatkan aku pada Ibunda Ratu. Sikap penuh kasihnya membuat mataku berkaca-kaca sekaligus merindukannya. 

"Kalau begitu apa malam ini aku boleh ikut pulang bersama Bibi?"

"Tentu, Wira. Tentu boleh. Ayo kita pergi sekarang, Wira. Kemasi barang-barangmu."

Bibi Tyasih langsung sibuk di kamar sebelah. Entah apa saja yang ia jatuhkan hingga kamar itu berubah berantakan. 

"Apa yang Bibi lakukan?" tanyaku.

"Mencari surat ladang milik orang tuamu, Wira. Bibi harap itu bisa kamu pegang sendiri."

Dengan cepat, Bibi mencarinya di kamar itu dan menemukannya di bawah kasur kapuk yang telah tipis dan keras. Matanya berbinar lalu menarik tanganku kelaur rumah.

"Wira, dimana pakaianmu?"

"Di kamar, Bi."

"Kamu tidak mengumpulkannya?"

"Aku tidak tahu harus dimasukkan mana, Bi. Tidak ada tempat untuk ---"

Bibi langsung masuk ke dalam kamar Grawira dan tidak lama ia datang dengan membopong satu bungkus besar pakaian Grawira yang dikumpulkan menjadi satu ke dalam sprei kasur setengah bau itu. Keempat ujungnya ditali menjadi satu, mirip nasi bungkusan. 

"Bawa ini, Wira. Ayo kita pergi."

Ini pertama kalinya aku membawa barang seberat ini. Karena selama menjadi Putra Mahkota, dayang-dayang lah yang membawa dan mengurus keperluanku. Sekuat tenaga aku membawa bungkusan kain berisi pakaian Grawira sambil berjalan cepat tanpa menaiki kuda. 

Kuda adalah alat transportasi mahal yang hanya dimiliki kerajaan dan orang-orang kaya tertentu. 

Kini aku bukan seorang Putra Mahkota Majafi lagi, melainkan hanya seorang Grawira. Pemuda biasa sekaligus rakyat biasa dari Wangsa Panunggalan yang jaraknya cukup jauh dari Wangsa Mahayana, tempat tinggalku yang sebenarnya. 

Namun ketika mataku menatap langit malam yang disinari oleh purnama, sosok Sri Dewa, atau malaikat pencabut nyawa yang memalsukan catatan langit tentang kematianku terbang sekilas dengan begitu cepat. 

Apa dia akan mencabut nyawa orang lain? Atau dia sedang mengawasiku?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status