Share

02. The Legacy Of Fransiscus De Luca

Lynea sedang mengalami hati yang berbunga. Ia membayangkan sejumlah harta akan diberikan padanya melalui warisan Fransiscus. Tidak hanya uang, namun bisa juga berupa mobil klasik maupun benda berharga lainnya. 

Ia hendak menuruni tangga saat terlihat Alonzo masih ada di belakangnya. Diputuskan untuk menunggu teman satu-satunya di Istana De Luca ini agar bisa turun bersama menuju ruang keluarga. 

“Tuan Enrico, sudah saatnya pembacaan warisan!” panggil Alonzo kemudian mengetuk-ngetuk pintu kamar sang majikan.

Setelah lebih dari lima menit dan tiga puluh ketukan, keluarlah Enrico hanya dengan memakai selembar selimut untuk menutupi area vitalnya.

Entah saking cueknya atau memang Tuan Muda itu tidak cukup pintar untuk menutupi seluruh bokongnya. Lynea dapat melihat sedikit bongkahan kekar diantara lipatan selimut Enrico.

“Suruh saja Paman Romario naik ke kamarku! Biar dia bacakan di sini!” Enrico menolak untuk turun.

“Maaf, Tuan. Hanya saja, seluruh keluarga Anda berada di bawah. Tuan Bernard, Nyonya Belezza dan anak-anak mereka semua telah berkumpul.” Alonzo terus menunduk, tidak berani menatap ke dalam kamar Enrico. Di sana, Gilda masih telentang tanpa tertutup apapun karena selimutnya dipakai Enrico keluar kamar.

“Sialan! Mengganggu saja!” umpat Enrico entah pada siapa.

“Heh! Alonzo! Suruh perawat kampungan itu berhenti menatapku! Katakan padanya untuk cepat pergi! Fransiscus sudah mati!” Begitu kasar ucapan Enrico kepada Alonzo dan Lynea.

“Baik, Tuan Muda,” jawab Alonzo membungkukkan badan.

Lynea memaki dalam hati mendapat umpatan begitu hina dari seorang Enrico De Luca. Ia segera memalingkan wajah dan menuruni tangga menuju ruang pertemuan.

Alonzo kemudian mengekor di belakang Lynea begitu pintu kamar telah ditutup dan dibanting oleh Enrico. Sudah dua puluh tahun ia bekerja untuk keluarga ini. Tugas pertamanya kala itu adalah untuk setiap hari berkeliling rumah sambil memunguti berbagai kotoran serta dedaunan yang jatuh.

Pertama kali ia masuk, Enrico masih berusia sepuluh tahun, sementara dirinya sendiri berusia tujuh belas tahun. Namun, sepertinya pemuda sombong itu telah melupakan semua jasa Alonzo yang pernah  dipanggil “Kakak” saat dirinya masih kecil.

***

“Selamat datang, Nona Stefanson. Silahkan duduk,” sapa Romario, pengacara kepercayaan keluarga De Luca. Masalah hukum apapun, Romario adalah kuncinya. Ia dan Fransiscus telah bersahabat seperempat abad lebih.

Seisi ruangan memandang aneh pada Lynea. Bagaimana tidak? Status sosial mereka seperti Venus dan Mars. Sangat berbeda jauh. Semua yang ada di ruangan ini, menyandang nama De Luca. Bisa dipastikan harga pakaian salah satu dari mereka pasti lebih mahal daripada gaji satu bulan Lynea.

Tidak hanya memandang aneh, namun juga merendahkan dan tentunya berbisik mencibir. Mendapati hal ini, Lynea mulai merasa risih. Keringat dingin mulai terasa membasahi kening. 

“Untuk apa saya di sini, Tuan Romario?” tanya Lynea gugup.

“Mendengar pembacaan warisan, tentunya. Hei, Alonzo! Dimana Enrico?” seru Romario terlihat kesal karena batang hidung yang mancung dari cucu kesayangan almarhum tidak juga muncul.

“Pasti dia sedang berpesta dengan perempuan genit yang baru saja ia kenal di pemakaman tadi,” desis Alessia menyenderkan kepala pada pundak Belezza, sang ibunda.

“Mana ada wanitanya Enrico yang tidak genit?” sambung Bernard menanggapi cibiran Alessia.

Mereka semua adalah anak keturunan dari Fransiscus De Luca. Anak pertamanya, yaitu Inzaghi, meninggal karena kecelakaan mobil bersama sang istri. Merekalah orang tua Enrico.

Setelah Inzaghi, ada Belezza dan yang terakhir adalah Bernard. Semuanya kini sedang duduk tegang menunggu Romario mulai membacakan surat wasiat dari pendiri kerajaan bisnis De Luca.

“Ayo, mulai bacakan!” Tiba-tiba suara Enrico bergema di ruangan. Ia hanya memakai celana panjang kain dengan hem yang terbuka pada bagian kancing depan.

Bulu dadanya tipis namun cukup terlihat, menambah kesan maskulin dan lelaki sejati, pada tubuh atletik yang tinggi tersebut.

“Sudah puas? Berapa ronde?” cibir Viery, kakak Alessia melirik sinis karena melihat begitu banyak tanda merah di dada dan leher sepupunya.

“Sudah puas sekali! Aku bukan kamu, yang tidak bisa mendapatkan perempuan, kecuali kamu keluarkan Lamborghini-mu,” balas Enrico santai.

“Huh! Sombong!” sahut Angelic, anak Bernard, juga sepupu Enrico.

“Semuanya fokus pada suara saya!” perintah Romario mulai menyobek amplop bersegel, membuat seluruh manusia di dalam ruang itu menahan napas.

“Bersama ini saya, Franciscus De Luca, menyatakan bahwa di saat saya telah tiada, seluruh harta dan kekayaan saya akan jatuh kepada …”

Romario berhenti beberapa detik. Sepertinya ia sedang menguatkan diri untuk bisa meneruskan kalimat-kalimat selanjutnya.

“Seluruh harta dan kekayaan saya akan jatuh kepada … Lynea Stefanson!”

“Apaaaa!” seisi ruangan kompak menjerit.

“Warisan diberikan kepada Nona Lynea, dengan berbagai syarat! Dengarkan dulu!” Keras suara pengacara senior itu menenangkan seisi ruangan.

“Kamu perempuan ular! Apa yang kamu lakukan terhadap ayahku? Kamu sihir dia?” maki Belezza mengacungkan telunjuk persis di depan wajah Lynea yang masih kebingungan. Napasnya terengah-engah menahan emosi.

“Duduklah, Tante! Biarkan saja dulu perawat kampungan itu! Kita harus dengarkan kelanjutan warisan kakek!” ucap Enrico terus memanggil Lynea dengan sebutan Perawat Kampungan.

Meskipun terdengar sangat kasar dan menyakitkan, Lynea telah membeku sehingga kalimat apapun tidak bisa menembus ke dalam hatinya.

Suasana kembali hening. Hanya terdengar Alonzo sedang menata beberapa teko teh di atas cofee table sehingga menimbulkan suara dentingan ketika gelas-gelas itu beradu.

“Seluruh harta akan diserahkan kepada Lynea Stefanson, dengan syarat …” Kembali Romario berhenti berucap. Bola matanya melirik pada Enrico sambil tersenyum simpul.

“Ah, ayolah! Apa yang kamu tunggu Paman Roma? Jangan bermain sandiwara seperti ini!” gerutu Enrico mendengus kesal.

“Syaratnya adalah kamu menikah dengan Lynea!” sahut Romario menahan entah tawa atau iba. Dalam hatinya ia mengetahui pernikahan tidak pernah ada dalam kamus hidup Enrico.

“Saya ulangi! Fransiscus ingin, agar Enrico menikahi Lynea. Syarat harta ini jatuh kepada kalian berdua adalah dengan pernikahan,” ucapnya menjelaskan lagi untuk yang kedua kalinya.

Enrico hanya bisa mendelik dan membuat huruf O di mulutnya. “Itu tidak mungkin!” hardiknya pada Romario.

“Ini gila! Ayah sudah gila! Apa-apaan ini?” teriak Bernard melompat berdiri dan berjalan gelisah maju mundur di tengah ruangan. Mata pria berusia lima puluh lima tahun itu menatap Lynea marah.

“Kakek sungguh tidak punya hati! Semua diberikan kepada perawat kotor ini?” Alessia mulai kalap.

Ia mendekati Lynea dengan pandangan mengerikan. Kedua matanya memicing, penuh aura kebencian.

“Pasti dia telah mencuci otak kakek! Wanita brengsek!” sambung Angelic meradang.

Lynea mendengar semua makian yang ditujukan kepadanya dengan samar. Ia tidak lagi mendengar dengan jelas. Telinga dan hatinya justru sedang memutar ulang permintaan Fransiscus agar ia menikah dengan cucunya.

“Diamlah kalian semua! Paman Roma belum selesai!” hardik Enrico membentak seluruh keluarganya.

“Kamu! Perawat Kampungan! Dengarkan semuanya sampai selesai!” lanjutnya membentak Lynea tanpa mau menyebut nama sang perawat.

“Dengarkan semua! Enrico dan Lynea harus menikah untuk mendapatkan harta berupa uang cash sebesar dua triliun, lima buah perusahaan utama beserta seluruh asetnya termasuk hotel dan resort. Lalu, rumah yang sedang kita tempati saat ini dan dua ratus kilogram batangan emas yang tersimpan di safe deposit.”

Lynea melongo mendengar daftar kekayaan Fransiscus. Memang ia tahu bahwa mendiang bosnya itu termasuk salah satu orang terkaya di seluruh penjuru negeri.

Hanya saja seluruh nominal yang telah diucapkan Romario terdengar seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Namun, syarat yang diajukan terlalu berat untuk bisa dipenuhi. Ia tidak mungkin menikah dengan Enrico.

“Jika disetujui, kalian harus menikah paling lambat tiga bulan ke depan. Pernikahan tersebut harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.”

“Selain itu, dalam satu tahun pertama pernikahan kalian, Lynea harus sudah hamil, kecuali dokter menyatakan kondisi yang memang tidak memungkinkan untuk itu.”

“Tua bangka, kamu benar-benar sudah gila!” maki Enrico sambil berdiri tepat di depan lukisan kakeknya. 

Gila! Semua ini makin terasa gila untuk Lynea. Menikah lalu hamil dengan anak Enrico? Lelaki sombong, kasar, manja dan penuh nafsu itu? Membayangkan seranjang dengannya saja sudah memberikan rasa mual pada perut Lynea.

“Untuk yang lain, kalian mendapat tiga ratus milyar dibagi sama rata untuk keluarga Bernard dan Belezza. Koleksi mobil antik Fransiscus, vila pribadi di pantai dan gunung. Tiga mini market dan dua rumah mewah di tengah kota juga akan dibagi kepada kalian berdua. Ketentuan tersebut semuanya ada di sini!”

Beberapa detik suasana kembali menjadi sunyi. Semua saling tatap. Bahkan kali ini Enrico melirik dan menatap Lynea dengan tajam. Tatapan pertamanya setelah setahun saling berdampingan, walau terpisah oleh dinding kamar.

Dengan mengumpulkan segala keberanian, kekuatan, daya dan upaya, Lynea mulai mengutarakan apa yang ada di dalam hatinya.

“Sa-saya menolak se-semua warisan ini, Pak Romario. Saya ti-ti-tidak menginginkannya sama sekali.” Lynea terbata-bata mengucapkan penolakannya. Ia lebih baik hidup apa adanya namun bebas dari keluarga De Luca yang terlihat mengerikan.

“Kalau kamu menolak, semua uang, tanah, aset dan juga emas yang menjadi hakmu dan Enrico, akan diberikan kepada yayasan sosial. Kemudian perusahaan akan dibagi tiga sama rata dengan Enrico, Belleza dan Bernard,” jelas pengacara tersebut menghela napas berat. Warisan sahabatnya ini memang sudah diduga akan menimbulkan konflik berkepanjangan.

“Sungguh sayang bukan, membuang uang dua trilyun begitu saja?” gumamnya menggelengkan kepala.

“Kalian berdua diberi waktu tiga hari untuk memutuskan, apakah bisa saling jatuh cinta dan menikah atau tidak?” lanjut Romario memijit keningnya sendiri. Ia pun merasa pusing dengan semua ini.

“Sudah saya putuskan dan jawabannya tidak! Saya sudah memiliki seorang kekasih dan kami bahagia. Mohon maaf, tapi saya tetap akan menolak,” tegas Lynea berdiri dari kursinya.

“Saya pamit undur diri. Tugas saya di rumah ini sudah selesai. Terima kasih semua. Sampai jumpa lagi.” Lynea segera berdiri dan menggeret koper biru tua besar menuju pintu keluar.

“Alonzo!” teriak Enrico terdengar sangat marah. Sekali lirikan, sang pesuruh sudah paham keinginan tuannya. 

Ia segera menaruh gelas-gelas teh dan berlari mengejar Lynea yang sudah mendekati pintu keluar.

“Nona! Nona Lynea! Dengarkan saya dulu!” kejar Alonzo tergopoh-gopoh.

Lynea menoleh sambil tetap berjalan menuju pagar utama dimana sebuah taksi telah sedari tadi menunggunya.

“Maaf, Nona. Menurut pengalaman saya, sebaiknya anda menyetujui permintaan Tuan Enrico, demi keselamatan anda sendiri,” saran Alonzo menatap kuatir pada Lynea.

“Kamu serius? Bagaimana aku bisa hidup berdampingan dengan makhluk kasar itu? Tidak akan!” tolak Lynea berapi-api.

“Anda belum mengenalnya lebih dalam. Tuan Enrico sebenarnya adalah orang baik,” sanggah Alonzo sedikit terengah-engah.

“Tidak, Tuan Alonzo! Aku tidak mau menikah dengan dia! Maafkan aku, selamat tinggal!”

“Tolonglah, Nona! Jangan pergi! Saya kuatir anda akan mengalami hal yang buruk!” cegah Alonzo menghadang.

“Apa maksudmu?” Lynea mengernyitkan dahi.

“Uang adalah sesuatu yang mengerikan karena bisa mencelakai siapa pun. Kembalilah, Nona. Saya kuatir anda akan terluka,” pinta Alonzo benar-benar serius.

“Aku tidak mengerti! Kamu sebenarnya mau mengatakan apa, Alonzo? Aku tidak takut! Sudah, selamat tinggal!” Lynea berlari sekencang mungkin sambil terus menggeret kopernya menuju pintu gerbang utama jauh di depan. 

"BERSAMBUNG"

(ON NEXT CHAPTER) 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rabiatu Ainulrizqi
nextttt k Rein
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status