Share

06. First Attack

Eddy Milano adalah seorang designer kenamaan yang dipilih Enrico untuk membuat pakaian pertunangan mereka. Nama besarnya sudah terkenal di seluruh penjuru negeri. Hanya orang berlimpah harta saja yang mampu membeli masterpiece darinya. 

Lynea selama ini hanya bisa membayangkan memakai salah satu gaun Eddy Milano untuk acara pernikahannya. Sama sekali ia tidak menyangka, bahwa ia akan berada di sini berbicara langsung dengan sang designer. Terlebih lagi, betapa kehadirannya di situ sangat dihormati. Semua tentu tidak lepas dari keberadaan Enrico De Luca bersamanya. 

“Lumayan,” jawab Enrico singkat, mengomentari tampilan Lynea. 

“Ah, kalau lumayan, maka aku tidak setuju! Ayo kita cari gaun yang lain saja kalau begitu!” sela Eddy Milano tampak kecewa.

“Untuk seorang Enrico De Luca, kecantikan adalah kesempurnaan. Ayo, Sayangku! Mari kita cari gaun lain yang akan digandrungi tunanganmu!” ajak sang designer menggandeng tangan Lynea memasuki studio mewahnya.

“Meskipun aku yakin gaun itu tidak akan lama bertahan di badanmu, begitu acara selesai!” bisiknya lagi kemudian terbahak sambil mencubit pipi Enrico gemas.

Wajah Lynea memerah karena malu. Ia melirik Enrico yang juga sedang memandangnya. Kedua bola mata mereka beradu tatap. Untuk tiga detik kemudian, hanya gemuruh di dada yang bisa dirasakan oleh Lynea. Sungguh, tatapan Enrico begitu tajam namun lembut, membuat ia menjadi salah tingkah.

“Ayo, ikuti saya Lynea!” panggil Eddy Milano menghentikan momen mendebarkan tersebut.

Keduanya berhenti saling tatap dan kembali membuang muka ke arah berlawanan. Tidak ada perubahan apa pun di wajah Enrico. Berbeda halnya dengan Lynea yang masih bersemu merah, karena membayangkan bagaimana rasanya ketika gaun itu dilepas oleh Enrico.

"Bagaimana dengan ini?" Eddy Milano mempersembahkan Lynea dengan sebuah gaun yang lebih simple namun elegan. Berwarna biru langit dan mengkilat. Bentuknya yang ketat sangat rapi menampilkan setiap lekukan dari tubuh sintalnya. 

Pada bagian betis ada belahan rok yang tinggi ke atas sampai dengan lutut. Belahan itu memamerkan betis jenjang dan mulus milik Lynea. Sementara di bagian atas, gaun tersebut memiliki model tanpa lengan dengan belahan dada rendah. Garis pembelah dua bukit di dada Lynea nampak begitu membumbung terkena korset yang kencang. 

"Kamu suka, Enrico?" tanya Lynea malu-malu. 

"Iya, aku suka," gumam Enrico tidak berkedip. Bahkan setitik senyum terlihat di ujung bibirnya. 

"Aaaah! Yeees!" seru Eddy Milano bertepuk tangan. 

"Tunanganmu terlihat cantik dengan gaun ini, bukan?" 

"Ya, Eddy. Dia terlihat ... cantik," jawab Enrico pelan dan terlihat seperti orang kebingungan. 

***

Selesai melakukan fitting gaun, mereka melanjutkan perjalanan menuju sebuah restoran. Selama perjalanan  di dalam mobil berkali-kali Lynea membenarkan rok mininya yang terus menerus tertarik semakin ke atas.

Ia terlihat sangat tidak nyaman menggunakan baju terusan itu. Model tanpa lengan berwarna merah tua memang semakin menonjolkan kulit putih bersih di paha, namun tetap saja ia tidak pernah memakai baju seperti itu untuk keseharian.

Posisi duduknya berubah dan berubah lagi dalam waktu tiga puluh menit bersama Enrico di dalam mobil.

“Bisakah kamu diam? Lama-lama rok itu sobek kalau kamu tarik ke bawah terus!” bentak lelaki itu karena tidak tahan merasakan goyangan di kursinya akibat Lynea terus bergoyang.

“Sebentar lagi kita sampai di restoran. Aku ada perlu. Awas nanti jangan menggangguku!” lanjutnya terus berkata dengan suara meninggi.

“Baju ini menyiksaku! Mulai besok aku tidak mau lagi pakai baju ini!” balas Lynea kesal.

“Kamu itu diangkat derajatnya menjadi wanita kelas atas! Harusnya berterima kasih!” tukas Enrico juga semakin kesal.

“Lain kali bawa aku untuk beli baju! Aku pilih sendiri! Jangan samakan aku dengan perempuan murahan yang kamu biasa bawa setiap malam!”

Enrico terbelalak mendengarnya. Ucapan Lynea lagi-lagi membuatnya merasa dilawan, tidak dituruti. Selama ini, sembilan puluh sembilan persen wanita yang ia kencani, tidak pernah sedikit pun melawan perkataannya.

Apa pun yang Enrico berikan selalu mereka terima dengan bahagia. Tentunya karena barang-barang pemberian tersebut harganya sangat mahal dan merupakan kualitas paling utama.

“Kita sudah sampai, Tuan.” Suara Alonzo menahan Enrico dari membalas perkataan calon istrinya.

Ia hanya mendengus kesal dan membuang wajah ke arah jendela. Lynea bersyukur mereka sudah sampai.Tidak ada lagi perdebatan menjengkelkan dengan salah satu lelaki terkaya di kota itu. 

Alonzo segera membuka pintu dan turun dari mobil. Ia kemudian membuka pintu mobil di sisi Lynea berada. Sementara David yang berada di mobil belakang, juga telah turun dan segera berlari, membuka pintu mobil di sisi Enrico duduk.

“Silahkan, Nona.”

“Tuan Enrico, silahkan turun.”

Alonzo dan David mengucap bersamaan. Keduanya menunduk, benar-benar memberikan hormat. Lynea tidak merasa nyaman dengan penghormatan seperti ini. Ia tidak ingin merasa lebih tinggi dari manusia lain hingga harus diberi hormat seperti ini.

“Ayo masuk! Ikuti aku!” desis Enrico melangkah menuju pintu masuk restoran bernama Bellevue.

Mulai dari penjaga pintu sampai dengan pelayan, semua membungkukkan kepala saat Enrico dan Lynea melintas.

“Kenapa mereka semua menghormatimu?” bisik Lynea sambil berlari kecil berusaha mengikuti langkah kaki lebar milik Enrico.

“Ini adalah restoranku. Aku membangunnya sendiri dari nol. Tua Bangka itu tidak ada hubungannya. Makanya tidak ada di dalam daftar warisan,” jelas Enrico datar. 

Mereka kemudian duduk di sebuah kursi berbentuk setengah lingkaran yang mengelilingi sebuah meja bundar. Di sebelah kanan Enrico, ada Alonzo duduk tenang sambil terus menulis sesuatu di layar tabletnya. Sementara di kiri Lynea telah diduduki David.

“Kenapa tidak ada pengunjung sama sekali?” Kembali Lynea berbisik.

“Sudah aku suruh tutup dari satu jam lalu.”

“Kenapa?”

Enrico tidak menjawab. Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi apa pun. Ia hanya melirik pada Alonzo.

Hati Lynea mulai tidak tenang saat melihat seseorang bertubuh besar dengan banyak bekas luka di wajahnya datang dan membisikkan sesuatu pada Alonzo. Selang beberapa detik, orang kepercayaan keluarga De Luca tersebut membisikkan sesuatu kepada Enrico.

“Bawa sini!” perintah Enrico tegas menanggapi bisikan tersebut.

“Oh ya, dan pesankan Lynea steak buatan Gerald yang terkenal itu. Kamu lapar, kan?” cetus Enrico mendadak memalingkan wajah pada Lynea.

Sontak ia mengangguk. Memang perutnya sudah keroncongan sejak mereka meninggalkan rumah mode Eddy Milano tadi. Hati Lynea sedikit tersanjung ketika Enrico menanyakan apakah ia lapar atau tidak. Secercah perhatian pikirnya, dari sang calon suami.

“Ini orangnya, Tuan!” Lelaki dengan bekas luka di wajahnya kembali datang dengan menyeret seorang pria yang wajahnya sudah babak belur.

“Dia mau bicara, Luigi?” tanya Enrico santai tanpa perasaan apa pun meski melihat tawanan itu sudah hampir tidak sadarkan diri.

“Tidak, Tuan!” jawab lelaki menyeramkan yang ternyata bernama Luigi itu.

“David?” gumam Enrico tetap tenang. Hanya satu kata panggilan saja, namun sudah menjelaskan keinginannya.

“Bawa ke ruang pendingin!” perintah David pada Luigi. Keduanya beserta beberapa orang lain segera menyeret tawanan tersebut ke belakang.

Wajah Lynea seketika pucat pasi saat melihat David mengambil sepucuk senjata api dari dalam jasnya. Dengan gemetar ia bertanya pada Enrico, “A-apa yang ka-kamu lakukan?”

Calon suaminya menyeringai. Ia menoleh pada Lynea dan berkata, “Orang itu tahu dimana The Janitor. Aku tidak mau kamu disakiti orang. Jadi orang itu harus mengatakan dimana aku bisa menemukan The Janitor.”

“Lalu? Kamu akan berbuat apa?” Lynea masih terus mendesak. Hatinya iba melihat lelaki yang sudah penuh dengan bekas pukulan kemudian masih diseret ke belakang.

“Aku sudah bilang tadi, jangan menggangguku. Jangan ikut campur!” hardik Enrico kembali kasar.

Suara letupan terdengar dari ruang dapur di area kamar pendingin. Jeritan seorang lelaki langsung terdengar begitu mengerikan.

“Apa yang kamu lakukan?” Lynea menutup mulut dengan kedua tangannya. Ia sangat terkejut dan juga ketakutan dengan semua ini.

“Apa yang harus aku lakukan,” jawab Enrico santai menyeruput kopi hitam yang baru saja dibawa oleh Alonzo.

Lagi, suara menjerit terdengar dari belakang. Enrico melirik Lynea.  Ia kemudian berkata, “Atau kamu lebih senang kalau The Janitor mendatangimu lagi?”

Wanita itu merasakan mual di dalam perutnya semakin nyata. Ia segera berlari menuju kamar mandi sambil terus menutup mulutnya.

***

Lynea langsung menjatuhkan diri di depan toilet. Ia sudah tidak tahan lagi ingin memuntahkan rasa mual dalam lambungnya.

“Hoeeekkk!” Berkali-kali ia membuka lebar mulutnya dan memuntahkan semua yang ada di dalam lambungnya.

Tubuhnya gemetaran akibat peristiwa barusan. Ini adalah pertama kalinya ia melihat dengan mata kepala sendiri ada orang sedang diinterogasi dengan cara-cara yang diluar kebiasaan.

Lynea terduduk di lantai kamar mandi. Semua yang Alonzo katakan ternyata benar adanya. Calon suaminya memang bisa berbuat apa saja sesukanya. Seketika bayangan adik dan bibinya terlintas. Kemarin saat Enrico menelepon berarti memang adiknya sedang diikuti oleh anak buahnya.

Hatinya terasa sesak dan napasnya semakin memburu. Ia mulai tersengal-sengal dan mengalami serangan kepanikan seperti kemarin malam.

Diantara rintihan tangis dan napas yang tercekat, Lynea bisa mendengar sesseorang berjalan di bilik toilet sebelah. Ia segera menoleh karena tidak menyangka ada orang lain di dalam kamar mandi ini.

Seorang lelaki, bertubuh kecil, berjanggut tebal dan memakai kacamata menatapnya menakutkan. Tangannya mengarahkan senjata api ke arah kepala Lynea. Perlahan ia mendekat sambil membawa sepucuk kain berwarna putih.

“Aa—” Lynea tidak berhasil berteriak karena lelaki itu telah berhasil menutup mulutnya dengan kain tersebut.

Meski mulai merasa pusing, ia mencoba melawan sekuat tenaga. Lynea menendang-nendang sekitar, berusaha agar terlepas dari cengkraman orang asing itu.

Kedua tangan kekar miliknya berhasil menekan pergerakan Lynea yang merasa matanya semakin berat dan mengantuk. Ia masih berusaha untuk terus meronta.

Beruntung ujung kakinya berhasil menendang tong sampah hingga terjatuh dan menimbulkan bunyi yang sangat keras. Lelaki asing itu menjadi panik kemudian mengeluarkan sebilah pisau. Ia hendak menusuk Lynea karena tidak berhasil membawanya pergi.

Enrico dan Alonzo mendengar suara gaduh dari kamar mandi wanita. Keduanya saling memandang heran sebelum sama-sama berlari menuju kamar mandi. Mereka merasa aneh bila  besi terjatuh itu adalah dengan sendirinya.

“Nona Lynea!” seru Alonzo membuka pintu kamar mandi.

Lelaki asing tadi langsung mencabut pisaunya dari lengan Lynea. Wanita itu sudah di akhir kesadarannya saat dia berusaha melawan berbagai serangan pisau kepada tubuhnya. Tidak hanya lengan, namun bagian perutnya juga mengeluarkan darah.

Ia segera melompat keluar melalui jendela kamar mandi. Alonzo mengeluarkan pistol dan membidik, tetapi lawannya terlalu gesit. Secepat kilat lelaki itu melompat dan menaiki sepeda motor yang sudah menunggunya di bawah jendela. Dentum tembakan yang dikeluarkan hanya mengenai kusen jendela.

“Lynea!” Enrico langsung melepas jas mahalnya dan menutupi tubuh calon istrinya yang terluka. 

“David! Ambil mobil Tuan!” teriak Alonzo di pintu kamar mandi.

“Lynea, sadarlah! Lynea!” teriak Enrico mengguncang pundak Lynea. Ia bahkan menepuk-nepuk pipinya. 

Ia segera berlari keluar sambil menggendong tubuh lemah Lynea. David sudah menunggu di balik setir. Alonzo duduk di depan, sementara Enrico dan Lynea berada di kursi belakang. Kepala wanita polos itu ditidurkan di paha Enrico. 

“Rumah sakit! Cepat!” perintahnya sangat takut sesuatu menimpa wanita yang akan segera ia nikahi.

*****

"BERSAMBUNG"

(ON NEXT CHAPTER) 

"“Lynea?” sapa dokter itu memanggil.

Lynea menoleh, wajahnya pun menandakan sebuah rasa kaget melihat sang dokter.

“Gabriel?” pekiknya tertahan. 

Lelaki yang pernah sangat ia gandrungi saat masih di bangku sekolah tiba-tiba muncul di hadapan seperti jawaban atas rasa pedih hatinya.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status