Share

05. Don't Hurt My Family

Suasana di kamar Enrico benar-benar kacau. Bila sebelum ini hanya suara erangan dan desah kenikmatan yang muncul, malam ini telah berganti dengan jerit tangis dan ketakutan. 

Alonzo sangat iba melihat Lynea diperlakukan kasar oleh Tuan Mudanya. Ia ingin melerai dan melarang Enrico agar tidak menyakiti wanita manis itu, tapi ia tidak ada kuasa sama sekali. 

Lynea menjerit sejadi-jadinya. Ia langsung berdiri dan berlindung di balik tubuh besar Alonzo. Namun, Enrico tidak peduli. Ia seperti hewan buas yang terus mengejar mangsa di depan mata.

"Aku tidak mau!" jerit Lynea makin menangis dan ketakutan, “jangan tarik bajuku! Jangan perkosa aku!”

Alonzo akhirnya memberanikan diri untuk melindungi Lynea. Ia sedikit menghalangi gerak Enrico dengan menyembunyikan separuh tubuh wanita itu di belakangnya.

“Maaf, Tuan. Tapi Nona Lynea belum pernah memiliki kekasih sebelumnya,” sela Alonzo mencoba membuat tuannya berhenti dan memahami kondisi Lynea yang sedang shock. 

“Ia tidak pernah berhubungan dengan lelaki, seperti yang Tuan ketahui selama ini. Maafkan dia, Tuan,” pinta Alonzo menunduk, tidak berani menatap wajah tuannya.

Enrico tertegun. Wajahnya terperangah tidak percaya. Seorang wanita usia dua puluh lima tahun tidak pernah memiliki seorang kekasih?

“Bagaimana mungkin kamu tidak pernah memiliki kekasih? Memang berapa umurmu? Apa kamu tidak menyukai lelaki?” Enrico masih terus mengamuk. 

“Aku tidak mau sembarangan memilih lelaki!” seru Lynea sangat jengkel dengan ucapan-ucapan lawan bicaranya. 

“Aku tidak peduli! Pokoknya kamu harus menikah denganku!” 

Ia kemudian mengeluarkan ponsel dari saku bajunya lalu memencet sebuah nomor telepon. 

“Sedang apa Bryant Stefanson saat ini?” Enrico bertanya dengan nada yang sangat dingin. 

“Hentikan!” Lynea berhenti menangis dan segera berlari menuju calon suaminya. 

“Oh, dia sedang mengelap meja. Kamu sudah memastikan sepeda motornya baik-baik saja?” lanjut Enrico tersenyum sinis. 

“Hentikan! Jangan sakiti adikku!” mohon Lynea spontan memukuli dada bidang Enrico. 

Lelaki berambut cokelat keemasan ini menghentikan sambungan telepon. Jemarinya sigap merengkuh kedua tangan Lynea yang sedang beradu dengan dadanya. 

“Aku tidak ingin mendengar alasan pembatalan dalam bentuk apa pun darimu!” tegasnya. 

Kedua bola mata mereka beradu pandang. Dalam sekian detik itu, perasaan Lynea terhanyut ke dalam sebuah hamparan tanah tepi pantai tanpa batas. Seperti itulah warna mata Enrico yang cokelat terang. Begitu indah untuk dilihat, tetapi begitu kejam untuk dikagumi. 

“Alonzo! Siapkan pesta pertunangan!” serunya masih terus merengkuh kedua tangan Lynea di dadanya.

 

“Pesta pertunangan?” Lynea tak mengerti. 

“Bukankah sebelum pernikahan, ada pertunangan? Apa kamu hidup di planet Mars selama ini?” geram Enrico menggelengkan kepala. 

Lynea hanya bisa membatin, mengira-ngira apakah urat bahagia lelaki ini sudah putus? Sejak tadi yang ia lakukan hanyalah berteriak dan marah-marah saja. Dengan perangai seperti ini mengapa begitu banyak wanita luluh dan mau saja diajak tidur meski hanya semalam? 

“Aku kira kita akan langsung menikah?” 

“Tidak! Aku ingin meyakinkan Paman Roma bahwa kamu dan aku, telah jatuh cinta.”

“Untuk apa?”

“Tidakkah kamu dengar, dia tadi berkata akan memantau pernikahan kita? Demi Jupiter! Berapa IQ-mu? Apakah kamu tidak bisa berpikir sedikit saja?” 

Lynea terdiam. Ia sudah pasrah akan semua keinginan Tuan Muda sang pangeran kerajaan De Luca.

Jengah dimaki dan dihina, ia menarik tangannya dari genggaman jemari Enrico. Jantung Lynea berdetak cepat ketika jemari itu ternyata menolak untuk melepaskan. 

“Semua ini akan berakhir dengan cepat, tanpa kamu sadari. Sampai saat itu, jangan membuat aku susah. Mengerti?” ucap Enrico bernada sedikit mengancam sambil perlahan melepas tangan Lynea. 

“Saya yakin Nona Lynea mengerti, Tuan. Sekedar saran, mungkin mulai saat ini Tuan dan Nona bisa saling memanggil layaknya sepasang kekasih?” Tiba-tiba Alonzo menyela dan memberikan ide yang kemudian disetujui oleh Enrico.

 

“Kalau begitu, bisakah dimulai dengan memanggilku dengan benar? Namaku Lynea, Tuan.” 

“Ah, susah sekali diucapkan!” gerutu Enrico mendengus. 

“Ly-nea? Benar?” 

Lynea mengangguk, sedikit tersenyum. Kini giliran Enrico yang menentukan seperti apa ia akan dipanggil. 

“Kamu boleh panggil aku ... Enrico,” gumamnya menghela napas. 

“Demi apa aku membiarkan seseorang seperti kamu memanggilku hanya dengan Enrico. Aku bersumpah, Kakek! Di akherat nanti aku akan mencarimu!” lanjutnya kembali mengumpat pada udara kosong. 

Demikian rendahnya seorang Lynea di hadapan Enrico sehingga ia terus mengutuk dan melampiaskan kekesalannya dengan beragam caci maki. 

Alonzo masih tetap berdiri di belakang kedua pasangan itu. Senyuman kecil terbit di ujung bibirnya melihat Enrico akan segera menikahi Lynea. 

***

Jam weker berbunyi dari ponsel Lynea. Wanita yang tengah dirundung nestapa dan hilang kebebasannya ini membuka mata. Ia memalingkan wajah ke kanan, melihat sedikit cahaya matahari mulai menyapa masuk sedikit melalui celah tirai tebal.

Pikirannya kembali memastikan bahwa ini semua bukanlah mimpi. Bahwa ia harus menikah dan mengandung anak dari seorang Enrico De Luca, atau merasakan kepedihan kehilangan anggota keluarga. 

Dengan malas ia mengangkat tangan, meregangkan tubuh lalu duduk di atas kasur. Kepalanya sedikit pening karena stress yang mulai merasuk. Istana ini begitu megah, namun begitu menyesakkan dada.

Hari ini, Lynea harus pergi bersama Enrico untuk mengukur baju pertunangan mereka di Eddy Milano. Sebuah designer gaun pengantin yang sangat terkenal di seluruh negeri. 

Bunyi ketukan pintu tetiba terdengar dengan nyaring.

“Nona, ini saya, Alonzo. Boleh saya masuk?” 

“Ya! Masuklah!” Kedua kaki Lynea mulai menapaki lantai kamar.

Gaun tidur tipis transparan dipadu sinar mentari pagi membuat siluet badannya terlihat memukau dengan segala lekukan indah. Senyum ramahnya muncul menyapa rekan sejawat yang selalu menjadi pelindung di hadapan calon suami playboy-nya. 

Alonzo menundukkan kepala melihat calon istri majikannya begitu mempesona meskipun baru saja bangun dari tidurnya.

“Tuan Enrico menginginkan Anda untuk mendatangi kamarnya,” ucapnya terus menunduk. 

Lynea menghela napas, membuang segenggam rasa berat di setiap tarikan napas. Ia mengambil jubah tidur, mengikatkan pada pinggang lalu melangkah keluar. 

“Tuan mencariku?” segera ia bertanya begitu menginjakkan kaki di kamar Enrico. 

“Baju yang kupesan untukmu sudah datang. Pakai ini kalau kamu pergi denganku,” jawab lelaki itu tanpa menoleh sama sekali. Ia hanya menunjuk ke pojok ruangan. 

"Aku tidak ingin ditertawakan orang karena akan menikahi perempuan desa dan kampungan sepertimu," lanjutnya ketus. 

Mata Lynea memandang arah telunjuk Enrico menunjuk ke pojok kamar. Di sana ada begitu banyak tumpukan baju mewah dan seksi untuk ia pakai. Keningnya berkerut karena perasaan risih harus memakai baju dengan belahan dada terbuka. Belum lagi panjang rok yang semuanya sepuluh atau lima belas centimeter di atas lutut. 

“Aku harus memakai ini? Tapi, mereka terlalu seksi untukku. Aku tidak mau,” tolaknya cepat dan segera membalikkan badan, ingin cepat meninggalkan ruangan. 

“Alonzo!” seru Enrico kesal tapi masih tidak melihat sama sekali pada Lynea. 

Alonzo segera memasang badan di depan langkah Lynea. 

“Nona, Anda akan tetap cantik menggunakan gaun tersebut. Mereka berasal dari designer ternama. Ada Valentino, Versace, Gucci dan lain sebagainya,” bujuk Alonzo mencegah kepergian Lynea. 

Wajahnya menegaskan bahwa ia tidak ada pilihan selain menerimanya. 

“Ambil semua baju itu, lalu siap jam sembilan. Kita akan berangkat mengukur pakaian pertunangan. Paham?” tegas Enrico, kali ini sedikit menoleh pada Lynea. 

Jubah tidur wanita perawat kakeknya itu terbuka lebar di daerah dada. Mata nakal Enrico tak kuasa menolak. Keduanya berhenti, mulai menikmati sembulan kenyal yang hanya tertutup kain mengkilat juga tipis. 

Lynea mengetahui kemana lirikan calon suaminya, dan ia merasa risih dengan hal itu.

Ia tidak ingin tubuhnya disapu dengan pandangan Enrico yang menghadirkan rasa mual. Segera ia menutup dadanya yang memang lebih besar dari wanita pada umumnya. Ia kencangkan ikatan di pinggang sehingga jubah tidurnya kini tertarik ke kanan dan ke kiri, menjadikan dadanya tertutup lebih banyak.

Jemari lentik Lynea kemudian mengambil tumpukan pakaian baru tersebut. Alonzo segera membantu begitu melihat ia kesulitan membawa semua.

“Jangan lupa jam sembilan sudah siap di depan pintuku,” gumam Enrico tenang, membuang tatap ke layar ponsel.

“Iya, Enrico!” jawab Lynea sengaja meninggikan suaranya karena jengkel.

“Kamu panggil aku apa barusan?” Tuan Muda gagah itu langsung berdiri dan berjalan mendekati Lynea.

Mata yang dalam dan tajam menatapnya seakan hendak menyerang melalui pandangan.

“Kemarin aku bo-boleh memanggilmu Enrico, bu-bukan?” jelas Lynea membela diri sambil sedikit takut. 

Kedua tangannya masih penuh dengan tumpukan pakaian, membuatnya kadang hilang keseimbangan. Lelaki di depannya diam saja melihat Lynea beberapa kali hampir hilang keseimbangan lalu terombang-ambing ke kanan dan ke kiri.

Mendengar jawaban itu, Enrico langsung menghentikan langkahnya. Ia baru saja ingat, memang benar kalau sekarang Lynea diperbolehkan memanggilnya hanya berdasarkan nama.

Meskipun demikan, tetap saja Enrico tidak menyukainya. 

“Kalau begitu, sebaiknya kita tidak usah sering berbicara. Aku tidak suka mendengar kamu memanggilku tanpa kata tuan!” sinisnya begitu sombong dan angkuh. 

Lynea hanya tetap berdiri dengan tumpukan baju di kedua tangannya. Mendengar ucapan Enrico yang terus saja merendahkan, seperti telah menjadi kebiasaan baru. Ia tidak menjawab apa pun.

Sementara itu, Alonzo yang sudah selesai membawa beberapa baju ke dalam kamar, kembali lagi untuk mengambil seluruh tumpukan baju di tangan Lynea.

“Saya bawakan, Nona,” ucapnya pelan.

“Terima kasih, Tuan Alonzo. Kamu memang sangat gentleman,” puji Lynea menyindir seseorang.

Kata Tuan dengan sengaja ia pertegas dengan suara keras pula. Usahanya membuahkan hasil. 

“Heh? Kamu panggil Alonzo dengan kata Tuan? Apa-apaan? Tidak boleh! Dia bukan Tuan! Dia hanya orang suruhan! Jangan merendahkan aku!” protes Enrico kembali berjalan mendekati Lynea. 

Kini tubuh tinggi dan tegap itu berada persis di hadapan Lynea. Deru napas Enrico terdengar memburu karena emosi. Membuat sang wanita keheranan. Hanya karena sebuah kata sapaan yaitu Tuan, darahnya sudah memanas. 

Kembali aroma parfum Enrico melesat masuk ke dalam khayalan Lynea. Imajinasinya berdebar, membayangkan apa saja yang selama ini telah dilakukan oleh lelaki itu di atas ranjang. 

Alonzo yang mengetahui Tuan Mudanya sedang emosi kembali berusaha menenangkan suasana.

“Nona Lynea hanya asal bicara, Tuan. Kebiasaannya dahulu memanggil saya seperti itu. Setelah ini, saya yakin beliau tidak akan memanggil lagi seperti itu. Benar begitu, Nona Lynea?” ucapnya meredakan emosi Enrico. 

“Ya, terserah saja,” gumam Lynea malas berdebat dan melangkah mundur lalu membalikkan badan, menuju kamarnya kembali. 

Enrico memandangi tubuh sintal Lynea dari belakang. Mata lelaki itu mengetahui ada sebuah keseksian dari calon istrinya.

Dada yang membusung besar, demikian pula dengan bongkahan padat di bawah pinggangnya. Namun, tetap saja baginya wanita itu tidak sepadan dengan keberadaannya sebagai Tuan Muda kerajaan De Luca. 

***

“Wah! Luar biasa cantik tunangan Anda!” seru Eddy Milano bertepuk tangan saat Lynea keluar dari kamar ganti.

Enrico tidak menjawab, ia hanya tajam memandangi calon istrinya. Gaun berwarna keemasan terang seperti cahaya mentari pagi, begitu sempurna melekat pada tubuh Lynea.

Memakai aksen klasik seperti putri raja dengan bordiran renda di ujung bagian kaki, menjadikan keanggunan pemakainya semakin nampak jelas. Bagian bawah gaun agak mengembang dan memberikan kesan mewah. Dipadu dengan gaun tersebut adalah rambut hitam lebat Lynea yang digulung ke atas, memamerkan leher jenjang miliknya.

 

“Kamu menyukainya, Enrico?” tanya Lynea sengaja membuka percakapan dengan kembali memanggil nama sang Tuan Muda. 

“Lumayan,” jawab Enrico singkat. 

Untuk pertama kalinya sorot mata Enrico terlihat lembut, tidak tajam dan menakutkan. 

Lynea tersipu ditatap seperti itu. Debaran jantungnya mendadak meningkat pesat. 

"BERSAMBUNG"

(ON NEXT CHAPTER) 

Wajah Lynea seketika pucat pasi saat melihat David mengambil sepucuk senjata api dari dalam jasnya. Dengan gemetar ia bertanya pada Enrico, “A-apa yang ka-kamu lakukan?”

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status